Pengalaman Abdi-dalem Dalang Ki RT Purnama Carita Adipura Suwita di Kraton
IMNEWS.ID – MENJADI abdi-dalem di bagian karawitan dan pedalangan yang masuk otoritas Bebadan Kantor Pengageng Mandra Budaya, tak semudah menjadi abdi-dalem dari jalur lain di luar proses secara fisik, dalam waktu cukup lama dan jauh dari orientasi mengejar gelar-kepangkatan saja. Ada sebuah proses yang secara fisik dan secara spiritual kebatinan yang benar-benar, sehingga sering kali ada hal-hal yang dialami tetapi sulit sekali diukur dengan akal sehat.

Bagi abdidalem Ki RT Purnama Carita Adipura (48), justru pengalaman selama pengabdian yang dirasakan secara fisik dan secara nonfisik itulah yang hingga kini membekas, bahkan diyakini tak akan hilang sampai akhir hayat nanti. Cucu seorang dalang profesional di sebuah desa di Kecamatan Jogonalan, Klaten ini, di tahun 2004 mulai “suwita” di Kraton Mataram Surakarta sesuai bidangnya, berkecimpung di bidang karawitan. Kebetulan, saat itu Sinuhun PB XIII baru saja jumeneng nata, dan Gusti Moeng memulai bertugas di otoritas Pengageng Sasana Wilapa.

Pengabdian lulusan STSI Surakarta (kini ISI-Red) yang sudah menjadi dalang profesional itu, tidak melalui jalur lembaga Sanggar Pawiyatan Dalang Kraton Surakarta yang memang secara khusus menjadi tempat kursus seni pedalangan. Seniman yang terlahir dengan nama Gatot Purnama itu juga tidak bisa memilih mengabdi secara khusus di bidang seni pedalangan, atau bidang yang sesuai keinginan/kemampuannya, meskipun Bebadan Kantor Pengageng Mandra Budaya punya bidang itu.

Mungkin saja seperti yang dialami semua yang “magang suwita” di kraton sampai 2004 atau bahkan jauh sebelum itu, Gatot Purnama juga memulai dari abdi-dalem karawitan yang tugasnya “menabuh” gamelan. Bila kraton sedang menggelar upacara yang hampir semuanya menggunakan instrumen gamelan dalam berbagai fungsi sesuai jenis upacaranya, lulusan SMKI tahun 1996 itu mendampingi abdi-dalem yang bertugas menabuh, yang mungkin menggantikannya bila diperlukan.

“Pengalaman pertama saya, mematahkan wilahan Saron gamelan Sekaten, Kanjeng Kiai (KK) Guntur Sari. Itu jelas di luar dugaan. Dan saya tadinya selalu yakin, wilahan Saron gamelan Sekaten tidak mungkin patah. Karena wilahannya tebal sekali. Seperti ukuran rata-rata secara umum gamelan Sekaten, pasti di atas rata-rata. Baik ketebalan wilahannya (saron, demung-Red) maupun ukuran besar lingkarannya (gong, kenong, bonang dsb-Red). La kok bisa patah. Saya takut setengah mati,” tutur Ki Gatot Purnomo yang mendapat gelar RT Purnama Carita Adipura pada tahun 2018.

Pengalaman pertama yang sulit diterima akal sehat itu, terjadi di tahun 2013, saat Kraton Mataram Surakarta menggelar upacara adat Sekaten dan Ki RT Purnama Carita Adipura menjadi salah seorang penabuh gamelan KK Guntur Sari yang selalu ditempatkan di Bangsal Pradangga, halaman Masjid Agung. Mematahkan wilahan atau bilah gamelan Saron, tentu masuk kategori merusakkan, dan “kerusakan” itulah yang ditakutinya.

Pengalaman pertama itu, bukan berujung datangnya hukuman, melainkan datangnya sesuatu yang membanggakan dan menggembirakan. Karena, beberapa hari sesudah bertugas di ritual hajad-dalem Garebeg Mulud itu, dirinya dipanggil KGPH Puger, yang waktu itu aktif sebagai Pengageng Sasana Pustaka dan Pengageng Museum-Pariwisata, merangkap Pengageng Kusuma Wandawa. Ki Gatot Purnama tidak mendapat marah, melainkan diberi “hadiah” berupa batu permata.

Ki Gatot Purnama yang tinggal bersama dua anak dan istri di Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres sejak awal tahun 2000-an, sebelumnya pernah “suwita” di Pasinaon Dalang Mangkunegaran (PDMN). Karenanya dia pernah diminta untuk pentas pakeliran dua kali, semuanya di Pendapa Agung “Kadipaten” Mangkunegaran. Pertama menerima “dhawuh” KGPAA Mangkunagoro (MN) IX di tahun 2019, yang kedua beberapa hari setelah penobatan KGPAA MN X di tahun 2022.

“Saya mendapat dhawuh untuk mayang di kraton (Kraton Mataram Surakarta-Red), malah sudah 4 kali. Di Sitinggil Lor tiga kali dan di Sitinggil Kidul sekali. Karena kotak wayang yang dikeluarkan untuk empat kali pentas itu KK Mangu dan Kiai Pramukanya, saya selalu didampingi oleh Gusti (KGPH) Puger. Ya itu, saat mayang di Sitinggil Lor, saat baru ‘nyimping’ wayang Kiai Pramukanya, kelingking kaki saya disengat tawon. Untuk ngeprak semalam-suntuk tidak terasa sakit. Tepai besoknya, terasa sekali, senut-senut di jari yang habis disengat tawon,” ujar pengasuh Sanggar Pedalangan Sekar Mas, Mojosongo itu.

Sengatan tawon lumayan besar yang hingga kini selalu terlintas di benak untuk mencari kejelasan dari mana asal-usulnya itu, akhirnya dipupus sebagai sebuah ujian bagi pengabdiannya. Dan kalau dirangkai dengan “kesalahan” berujung hadiah dari KGPH Puger itu, dia simpulkan bahwa “pasuwitannya” di kraton sudah diterima. Sebab, tiga rekan dalang setim yaitu Ki KRT Dr Bambang Suwarno, Ki Suluh Juniarsah dan Ki Rudy Wiratama yang sama-sama “suwita” di bidang seni pedalangan, selama bertugas di kraton sama sekali belum pernah mengalami keanehan seperti itu.

Pengalaman fisik dan secara spiritual kebatinan yang aneh berikutnya, adalah ketika ditugasi KGPH Puger mayang atau mendalang di Pendapa Sitinggil Kidul dalam rangka ritual hajad-dalem Garebeg Mulud di tahun 2013. Belum sempat “ndhodhog” kotak untuk memulai “bedhol kayon” tanda pentas dimulai, pandangannya sekilas dalam hitungan detik hilang, yang dilihat dan didengar hanya ombak samudera bergemuruh. Tetapi, kesadaran cepat kembali, dan dalam perasaan yang masih agak takut, pentas dengan wayang Kiai Pramukanya malam itu, bisa dilanjutkan hingga berakhir, pagi.

Pengalaman pribadi Ki Gatot Purnama brikutnya, adalah ketika mendalang di Pendapa Sitinggil Lor dalam rangka menyambut bulan Sura di tahun antara 2014 atau 2015. Pentas atas permintaan KGPH Puger yang mengeluarkan sekotak wayang Kiai Pramukanya dengan lakon “Semar Boyong” itu, tiba-tiba tokoh wayang Jaya Anggada yang sudah disiapkan “ketelisut” (menghilang-Red). Sempat membingungkan, tetapi ia segera mengambil tokoh Patih Subali untuk menggantikan. Anehnya, esok ketika sedang berkemas-kemas, Jaya Angga muncul di atas “eblek” (sekat) yang sejak awal disiapkan.

“Berbagai pengalaman itu memang sangat pribadi. Nyaris tidak diketahui orang lain saat terjadi. Mungkin saja yang mendengar cerita saya ini tidak akan percaya. Karena, orang lain, termasuk tiga sahabat saya yang sama-sama suwita, mungkin belum pernah mengalami. Dan mungkin saja, juga tidak percaya terhadap apa yang saya alami. Bahkan bisa menyebut takhayul. Tapi memang, siapapun boleh tidak percaya. Kalau saya tetap setuju dengan pesan bijak di kraton, sekalipun tidak percaya, tetapi jangan maido,” ujar dalang profesional yang kini mulai kembali mendapat job pentas wayang di berbagai tempat itu.

Pengalaman secara fisik dalam bentuk lain selama suwita di kraton, juga pernah dialami dalang yang selama pandemi Corona bahkan mulai sebelumnya, sedang bersungguh-sungguh membimbing dalang profesional dari usia remaja di sanggarnya itu. Yaitu ketika bertugas menabuh gamelan Sekaten di Bangsal Pradangga Masjid Agung di tahun 2017-2018, setelah ada “insiden mirip operasi militer” pada April 2017. Ketika sedang menabuh gamelan, semua pengrawit termasuk dirinya “diusir” oleh orang-orang yang mengaku “utusan Sinuhun PB XIII”. “Itu kenangan yang tak akan terlupakan”. (Won Poerwono-i1)