Menjadi “Tombol Aktivasi” Cahaya Seni Budaya Jawa, Kembali Bersinar Menerangi Masyarakat Peradaban
IMNEWS.ID – LAHIRNYA hari tari dunia (HTD) 18 tahun lalu, dalam beberapa makna menjadi catatan besar bagi bangsa Indonesia, khususnya kalangan masyarakat adat anggota DPP Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN) yang berkantor pusat di Denpasar, Bali dan juga Forum Komunikasi dan Informasi Kraton Nusanatara (FKIKN) yang berkantor pusat di Surakarta.
DPP MAKN yang memiliki badan hukum dan anggota di sejumlah provinsi yang lahir sekitar tahun 2019 dan FKIKN yang berbentuk paguyuban telah lahir di Surakarta sekitar tahun 1994 silam, bila digabung memiliki anggota sekitar 100 lembaga kraton, kesultanan, kedatuan dan pelingsir adat. Mereka yang tersisa dari jumlah 250-an setelah ada peristiwa 17 Agustus 1945.
Sebelum ada atau lahir NKRI atau sebelum peristiwa 17 Agustus 1945, sekitar 250-an “kesatuan pemerintahan masyarakat adat” itu sudah “mewarnai” negeri Nusantara ini dengan berbagai macam-ragam seni budaya yang masing-masing berbeda. Tetapi, ketika dilihat secara lengkap, mirip sebuah taman bunga berwarna-warni yang kemudian dikenal dengan Bhineka Tunggal Ika.
Pasang-surut pemandangan taman bunga “Bhineka Tunggal Ika” yang menghias negeri Nusantara sejak zaman Kraton Kalingga (abad 6), Kraton Kediri (abad 12), Kraton Majapahir (abad 14), Kraton Demak dan Pajang (abad 15-16), Mataram Kutha Gedhe-Kartasura (abad 16-17) hingga Mataram Surakarta (abad 17-19), adalah hal biasa karena berlangsung secara natural.
Ketika dicermati, itu berarti selama berabad-abad ada puncak-puncak kebudayaan tersebar merata di masing-masing wilayah “taman Bhineka Tunggal Ika” di seantero negeri Nusantara ini, yang terus tumbuh berkembang atau mengalami pasang-surut hingga tahun 1945. Selama berabad-abad itulah, wilayah-wilayah geografis di Nusantara itu memancarkan “sinar budaya”.
Pancaran “sinar seni budaya” dari kraton-kraton berabad-abad itu, telah mewarnai dan menjadikan wilayah-wilayah geografis di negeri Nusantara itu juga menjadi bersinar warna-warni, mirip bahkan sama dengan yang dari sumber aslinya, yaitu kraton-kraton yang dulu jumlahnya 250-an itu. Itu tidak aneh, karena daerah-daerah itu adalah wilayah kedaulatan kraton.
Pancaran “sinar seni budaya” masyarakat di wilayah-wilayah yang dulu pernah menjadi bagian kedaulatan kesatuan kraton-kraton itu, memang banyak yang redup bahkan “mati” di sekitar peristiwa 17 Agustus 1945. Karena, banyak sekali kraton yang menjadi sumber cahayanya, lebih separo dalam keadaan “mati total”, “mati sepertiga”, “mati separo” atau hanya berkedip.
Kraton Mataram Surakarta termasuk sebagai “sumber cahaya” seni budaya yang kuat dan hingga datang peristiwa 17 Agustus 1945, bersinar kuat terang-benderang. Karena, Mataram Surakarta adalah kraton terakhir terbesar karena “cadangan minyak” atau BBM di “tangkinya” penuh berlimpah di masa Sinuhun PB X, sebelum datang “musibah” besar peristiwa 17/8/1945.
Selain Surakarta, memang ada beberapa kraton yang “tangki BBMnya” pas-pasan atau mepet dan cahayanya meredup sampai pasca-17 Agustus 1945. Tetapi karena kraton itu berbendera “Merah Putih Biru” saat peristiwa 17 Agustus 1945, justru “gampang ditekuk” untuk dijadikan kembali dan terus bercahaya, walau cahayanya bias dan tidak “mewarnai sekelilingnya”.
Jadi, ketika diilustrasikan kira-kira seperti itu awal-mula kejadian atau asal-usul cahaya seni budaya kraton dan wilayah atau daerah yang pernah memenuhi taman indah “Bhineka Tunggal Ika” itu. Dan, kira-kira gambaran ilustrasinya “nasib” sejumlah cahaya seni budaya seperti itulah, antara mati, redup dan tak beraturan, mirip yang dialami Mataram Surakarta.
Tetapi, karena ada bantuan “obat dan vitamin” dari kekuasaan yang bisa mengembalikan “kekuatan dan stamina”, walau “semu dan instan” bahkan mirip racun yang mematikan sejak zaman rezim Orde Baru hingga kini, banyak kraton-kraton dan daerah-daerah di lingkungan wilayahnya seakan-akan “hidup kembali” atau bercahaya kembali sinar seni budayanya.
Beberapa gambaran ilustrasi di atas bisa digunakan untuk mengidentifikasi gerakan awal-mula kemunculan HTD, 18 tahun lalu. Kemudian, juga ikut memberi dorongan semangat dan motivasi bagi daerah-daerah di wilayah bekas, atau yang masih dekat dengan kraton-kraton sebagai sumber cahaya seni budaya itu, untuk ikut menyemarakkan seperti yang terjadi, belum lama ini.
Ketika dianalisis, keikut-sertaan Kraton Mataram Surakarta bergerak menyambut peringatan HTD ke-18 pada 29 April lalu, lebih karena alasan sikap lembaga masyarakat adat Mataram Surakarta yang sudah diakui punya nama besar sebagai sumber cahaya seni budaya tidak hanya masyarakat peradaban nasional, tetapi sampai mendunia.
Keikut-sertaan Kraton Mataram Surakarta dalam kancah peringatan HTD ke-18 itu, karena lembaga masyarakat adat ini sudah terbukti memberi banyak manfaat bagi kehidupan peradaban secara luas. Itu juga membuktikan bahwa masyarakat peradaban yang sudah merasakan manfaat “cahaya” seni budaya itu, secara tulus dan ikhlas rela “menjaga” tangki BBM selalu berisi cukup.
Maka, dengan keikut-sertaan Kraton Mataram Surakarta menyemarakkan HTD sampai yang ke-18 tahun 2024 ini, bisa dipandang sebagai ekspresi isi hati dan niat yang tulus dan ikhlas. Karena bagi masyarakat adat Mataram Surakarta, memperingati HTD sama halnya atau sama dengan memperingati eksistensi cahaya seni budaya yang bersumber dari kraton itu sendiri.
Memperingati keberadaan “cahaya seni budaya” yang bersumber dari Mataram Surakarta, itu sama saja memperingati hari besar keberadaan budaya Jawa sebagai induk segala jenis kesenian atau cabang-cabangnya. Oleh sebab itu, peringatan HTD bagi Mataram Surakarta, adalah memperingati “Hari Besar Budaya Jawa”, sejak mulai diperkenalkan hingga kini dan selamanya.
Oleh sebab itu, ketika panitia penyelenggara HTD di Tanah Air yang dipusatkan di lingkungan kampus ISI dan TBS Kentingan, Jebres itu memutuskan peringatan HTD bisa dilakukan di lingkungan masing-masing, maka menjadi “sempurnalah” sudah “side effect” yang terjadi kemudian. Karena, kraton menjadi menemukan “serba keberuntungannya”, semua bisa dilakukan di kraton.
Serba keberuntungan yang ditemukan itu adalah, bisa menggelar karya-karya para leluhurnya sendiri, di panggung yang ada di tempat/lokasi sendiri dan bisa dinikmati masyarakat adatnya sendiri, bahkan bisa mengakomodasi keinginan publik dari luar kraton yang ingin menikmati HTD dengan sensasi tersendiri dan lebih prestisius.
Selain mendapatkan “serba keberuntungan” itu, Kraton Mataram Surakarta seakan mendapatkan kembali jalan (cara) lain untuk menyebarkan cahaya seni budayanya lebih kuat suhu kehangatannya, semakin jauh jangkauan sinarnya dan semakin luas wilayah sebarannya. Setidaknya, sebagai bentuk aktivasi “tombol pencahayaan” yang telah lama “off” atau tidak berfungsi baik.
Aktivasi “tombol pencahayaan” sinar seni budaya kraton dalam peristiwa-peristiwa peringatan HTD ke depan bisa dirancang lebih baik dan lebih efektif, dalam rangka pelestarian budaya Jawa yang bersumber dari kraton dan demi kelangsungan Kraton Mataram Surakarta. Dalam kerja inilah, Pakasa Cabang yang tersebar di wilayah luas, juga bisa menjadi tombol “aktivasi”.
Tombol “aktivasi” itu menjadi satu dalam tubuh organisasi Pakasa cabang sebagai elemen Lembaga Dewan Adat (LDA), yang sekaligus bisa diaktifkan sebagai “mesin penggerak” pelestarian. Karena “tombol aktivasi” dan “mesin penggerak” itu, yang bisa memancarkan cahaya seni budaya Jawa lebih cepat, lebih luas, lebih jauh dan lebih merata jangkauannya.
Persoalan ada “gangguan” yang muncul di luar perhitungan yaitu siaran langsung pertandingan sepak-bola Piala Asia, Timnas RI melawan Timnas Korsel di saat Kraton Mataram Surakarta menggelar pentas peringatan HTD, itu memang problem dilematis saat ini, bahkan sejak adanya NKRI, yang juga dihadapi berbagai pihak lain terutama kalangan anggota MAKN dan FKIKN.
“Gangguan” itu adalah catatan besar kedua yang menjadi problem lanjutan catatan besar pertama, yaitu problem realitas yang melatar-belakangi sekitar lahirnya HTD itu sendiri. Karena menurut Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat-Jogja), peneliti yang membuat kajian sejarah Mataram Surakarta, catatan besar itu bermuara saat NKRI lahir atas “dukungan” kapitalis liberal.
“Para penganut dan praktisi ekonomi sebagai tangan panjang para kapitalis liberal (AS), bersamaan dengan masuknya para pelaku penganut dan praktisi komunis sosial di sekitar tahun 1945, yang membuat kraton-kraton dilumpuhkan. Padahal di dalamnya ada masyarakat agraris tradisional dan berbagai kesenian tradisinal,” tandas Dr Purwadi. (Won Poerwono-bersambung/i1)