Ada yang Mau Jadi “Hantu” Perjanjian Giyanti, Tiap Tahun Gentayangan Mengganggu (seri 2 – habis)

  • Post author:
  • Post published:February 5, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Ada yang Mau Jadi “Hantu” Perjanjian Giyanti, Tiap Tahun Gentayangan Mengganggu (seri 2 – habis)
KRATON MEMBANGGAKAN : Walau semakin didera berbagai persoalan dan "sengaja dibiarkan menderita", Kraton Mataram Surakarta tetap membanggakan publik secara luas. Apalagi punya tokoh Sinuhun PB III, Raja yang "Lembah Manah" dan "Welas Asih" kepada Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Hasil Penelitian Sejarah dan Kajian Dr Purwadi, “Mirip Tapi Beda”

IMNEWS.ID – PRO-KONTRA soal “Perjanjian Giyanti” yang hingga kini masih berlanjut karena dianggap belum ada data baru hasil penelitian mutakhir yang bisa sama-sama dipahami, diakui dan dimaklumi, rupanya masih akan berbuntut panjang. Tetapi, ekspresi pembelaan masing-masing pihak kini semakin seimbang dibanding waktu-waktu sebelumnya yang berat sebelah.

Banyak data, judul buku hasil penelitian dan artikel sejarah “Perjanjian Giyanti” selalu dilukiskan tentang pembagian wilayah kekuasaan, kebudayaan dan sebagainya yang disebut dengan “palihan nagari” di satu sisi. Di sisi lain, banyak opini tentang berbagai hal di luar “Perjanjian Giyanti” diciptakan, untuk menggenapi upaya mengalahkan “lawan”.

Kraton Mataram Surakarta yang selama 200 tahun (1745-1945) sudah menjadi sebuah “negara” (monarki) dan melepaskan status lembaga negaranya pada peristiwa Proklamasi Kemerdekaan RI, mungkin terlalu besar dalam segala hal. Termasuk mendominasi warna dan tata kehidupan sosial-budaya sebuah bangsa di Nusantara, bahkan tata pemerintahan negara yang kemudian lahir.

TOKOH PEMBELA : Gusti Moeng, adalah satu-satunya tokoh wanita yang muncul dari Dinasti Mataram, yang rela “berjuang habis” untuk membela Kraton Mataram Islam Surakarta, menyelamatkannya dari “jurang kehancuran”, hingga detik ini. Termasuk menghadapi para “hantu” Perjanjian Giyanti. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Mungkin karena hal-hal inilah, segala cara terkesan “dihalalkan” untuk membuat Kraton Mataram Surakarta “tak ada artinya” bagi bangsa, negara dan kehidupan peradaban sepanjang zaman. Segala upaya terkesan “dihalalkan” untuk membuat kraton penuh dengan “noda, cela dan salah”, serta membuat warga peradaban tidak meneladani dan menjadikannya contoh ideal/baik.

Upaya Kraton Mataram Surakarta membela diri dengan mengungkap kebenaran data dan fakta sejarah serta segala stigma buruk yang dituduhkan selama ini, memang dirasa sudah cukup dalam keterbatasannya. Tetapi, dibanding “para hantu” yang dibiayai dengan dana besar dari “negara”, kini terus bergentayangan “mengganggu” dan terkesan berkekuatan lebih untuk menggilas.  

“Pembelaan” itu termasuk yang dilakukan untuk meluruskan segala “kesan berkebalikan” dalam peristiwa “Perjanjian Giyanti”. Termasuk, pernyataan tandas dan tegas GKR Wandansari (Pengageng Sasana Wilapa/Pengageng LDA), bahwa Kraton Mataram Surakarta tidak “punya urusan” dengan “Perjanjian Giyanti”, oleh sebab itu tidak punya naskah dokumen soal itu.

KARYA AKSELERASI : Dr Purwadi yang menyusun buku “Eksiklopedi Pabrik Gula”, adalah seorang tokoh “kontroversi” dalam soal eksistensi sejarah Kraton Mataram Islam khususnya Surakarta. Meskipun, dalam soal Perjanjian Giyanti, dia berusaha memberi akselerasi yang akomodatif dan edukatif. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tetapi, peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja, Dr Purwadi, yang melakukan kajian termasuk “Perjanjian Giyanti”, punya paparan yang lebih lengkap dan bisa diasumsikan “berimbang” karena akomodatif. Karena ada “data dan fakta” yang diadopsi “mirip” dari karya ilmiah/pendapat/kajian lain, tetapi ada pula karya/pendapat/kajian dan analisis “berbeda”.

Hal yang bisa disebut sebagai bentuk “perimbangan” karena akomodatif dari karya di “Blog” pribadinya, 1 Januari 2021 berjudul “Perjanjian Giyanti” itu, adalah pembuatan narasi yang melukiskan proses terjadinya “Perjanjian Giyanti”. Juga ilustrasi latarbelakang Sinuhun PB III, “melakukan” perjanjian pada Kamis Kliwon, 13 Februari 1755 (29 Rabiulakir 1680).

Dalam penulisan “Blog” ini, Dr Purwadi mengeksplorasi segala informasi yang berkiat dengan sisi manusiawi Sinuhun PB III. Raja ke-10 Mataram Surakarta (1749-1788) itu dilukiskan sebagai seorang yang “lembah-manah”, wicaksana dan “welas-asih”. Sehingga, “Perjanjian Giyanti” dilakukan penuh kebijaksanaan, untuk menghindari peperangan, karena dirinya cinta damai.

ULTAHNYA DIPERINGATI : Bagi pihak yang merasa sangat berkepentingan untuk memperjuangkan “kehormatannya”, Perjanjian Giyanti bisa saja diperingati ultahnya dalam sebuah resepsi yang digelar di sebuah desa di wilayah Kabupaten Karanganyar, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ilustrasi latar-belakang sisi kebijaksanaan dan kemanusiaan Sinuhun PB III, dilukiskan Dr Purwadi dengan kegemaran dan sisi kemanusiaan sang Raja yang mengedepankan “dialog/komunikasi”. Yaitu yang diwujudkan dengan perenungan, asketisme intelektual (meditasi) setelah membaca berbagai pengetahuan dari sejumlah “literatur” perjalanan hidup para leluhurnya.

Raja yang lahir Sabtu Wage, 26 Ruwah atau 24 Februari 1732 itu, banyak belajar dari kitab Mahabharata, Ramayana, Adiparwa hingga karya para empu dari Empu Kanwa hingga Empu Prapanca. Pencerahan dari para “Cendekiawan” itu, menjadi imajinasi estetis yang memperkaya wawasan Sinuhun PB III, apalagi melakukan “studi banding” pada karya-karya Hindu dan Budha.

Selain mengisi kapasitas diri dengan belajar pada literatur dan karya-karya yang “beragam”, Sinuhun PB III juga mendapatkan “ilmu” dan “ngelmu” dari forum dialog/komunikasi yang kini menjadi simbol demokratisasi. Diskusi kali pertama dilakukan secara terbatas di Desa Candi, (kini Kecamatan) Ampel, (Kabupaten) Boyolali) pada 24 Maret 1753.

TIDAK PUNYA : Gusti Moeng saat menerima kunjungan para dosen dari IAIN Ponorogo (Jatim) di Sasana Pustaka Kraton Mataram Surakarta, beberapa waktu lalu. Perpustakaan pusat di kraton itu, disebut Gusti Moeng tidak punya naskah dokumen Perjanjian Giyanti, karena peristiwa itu bukan “kepentingan kraton”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Diskusi kedua terjadi dalam sarasehan yang digelar di Pesanggrahan Deles, (kini Desa) Sidorejo, (Kecamatan) Kemalang, (Kabupaten) Klaten pada 20 Juli 1753. Kalau sarasehan pertama yang diundang para “pakar” politik, sejarah, sosiologi, antropoligi, hukum, teknik, kedokteran, farmasi dan sebagainya, pada sarasehan kedua diundang para tokoh penting “negara”.

Tokoh penting itu misalnya Pangeran Wijil Kadilangu, Pangeran Aneh, Ngabehi Sastrawijaya dan Kyai Jasadipoera I (penulis Serat Cebolek, 1746). Sarasehan ketiga digelar Sinuhun PB III di Pesanggrahan Langenharja pada 24 April 1754. Atas usul RT Widya Pratignya, seorang Wedana di (Kabupaten) Sragen, sarasehan keempat digelar di Sragen pada 5 September 1754.

Mungkin proses-proses seperti itulah, yang mendasari Sinuhun PB III “melakukan” Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1955 dengan Pangeran Mangkubumi, tanpa disebut lokasi desa peristiwanya. Dan Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 yang juga tidak disebut lokasi peristiwanya. Dr Purwadi juga menyajikan kutipan “Tractaat van Reconciliatie” dalam Bahasa Belanda. (Won Poerwono – habis/i1)