Banyak Leluhur Dinasti Mataram di Sekitar Gunung Muria, Selalu Terjaga Harum Namanya (seri 2-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:October 10, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Banyak Leluhur Dinasti Mataram di Sekitar Gunung Muria, Selalu Terjaga Harum Namanya (seri 2-bersambung)
MENATA BARISAN : Ketua Pakasa Cabang Kudus, KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro ikut menata barisan kirab budaya "Muludan" yang digelar di kediamannya, Lembah Pedangkungan, Majelis Taklim, Desa Singocandi, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Minggu (8/10) yang juga diikuti warga pakasa "Tiga Serangkai". (foto : iMNews.id/dok)

Perlu Berhati-hati, Ada Bentuk Baru Penyimpangan Tujuan yang Bisa Melahirkan Stigma Negatif

IMNEWS.ID – DENGAN terbentuknya kepengurusan Pakasa Cabang di Kabupaten Jepara, Pati dan Kabupaten Kudus atau tiga daerah di sekitar Gunung Muria, beberapa tahun lalu, kini menunjukkan arah perkembangan organisasi yang positif. Meskipun, ada tata-laksana operasional antara kepengurusan organisasi itu, dengan ikatan persaudaraan di antara masyarakat adat juru-kunci makam yang belum mendapatkan format ideal. Namun, keberadaan organisasi Pakasa cabang semakin melancarkan berbagai kegiatan seni budaya dan spiritual religi sekaligus, yang bisa melahirkan sinergi positif di antara banyak pihak terkait.

Perkembangan tiga daerah di sekitar Gunung Muria yang kemudian disebut “Tiga Serangkai” itu, kini semakin menampakkan semangat kalangan abdi-dalem Pakasa yang ideal, punya solidaritas tinggi untuk saling berkunjung dan mendukung, punya kebersamaan ketika melegitimasi setiap Kraton Mataram Surakarta menggelar upacara adat dan punya kesadaran untuk saling melegitimasi antar sesama cabang, bahkan saling melegitimasi dengan kraton. Bahkan, di antara “Tiga Serangkai” Pakasa cabang itu, ada yang sudah membuktikan punya lompatan jauh sampai ke luar wilayah provinsi, seperti yang dilakukan Pakasa Cabang Jepara di Jatim dan Jabar.

BERDIALOG AKRAB : Putra mahkota KGPH Hangabehi tampak berdialog akrab dengan salah seorang habib yang ikut mengisi acara pada puncak ritual haul Kyai Ageng Ngerang I, di kompleks makam Desa Trimulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, belum lama ini. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Penyelenggaraan ritual haul Kyai Ageng Wot Sinom di Desa Sinom Widodo, Kecamatan Tambakromo dan Kyai Ageng Ngerang di Desa Trimulyo, Kecamatan Juwana secara berurutan dalam sehari, Rabu (4/10), menjadi contoh dan teladan yang baik bagi kalangan masyarakat adat yang terwadahi dalam Pakasa cabang di berbagai daerah. Karena, dari pengalaman yang sudah berjalan selama ini tampak ideal sekali dan selalu jauh dari penilaian negatif dan jauh dari penyimpangan yang bisa melahirkan stigma negatif, seperti yang selama ini belum bisa dibersihkan secara total dari tokoh Panembahan Senapati, Sultan Agung Hanyakrakusuma, Sinuhun Amangkurat Agung dan sebagainya.

Kehadiran Gusti Moeng dan beberapa saudara perempuan serta rombongan pada beberapa tahun silam selalu dinanti-nantikan di antara warga Pakasa “Tiga Serangkai” itu, hingga tali silaturahmi antara masyarakat adat setempat dengan kraton semakin terikat erat dan semakin melegitimasi dengan kuat. Dan, Rabu (4/10/2023) lalu, menjadi babak sejarah baru karena tidak terasa sudah terjadi proses regenerasi yang begitu halus, ketika putra mahkota KGPH Hangabehi bersama rombongan beberapa elemen dari kraton, menghadiri puncak ritual haul yang digelar di kompleks makam dua tokoh leluhur Dinas Mataram di dua desa terpisah itu.

MEMBERI SAMBUTAN : Di depan KPH Adipati Sangkoyo Mangunkusumo dan peserta ritual haul Kyai Ageng Wot Sinom, putra mahkota KGPH Hangabehi menyampaikan pidato sambutan mewakili Lembaga Dewan Adat dan Kraton Mataram Surakarta, di Desa Wotsinom, Kecamatan Tambakromo, belum lama ini. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Putra mahkota KGPH Mangkubumi yang datang selalu dikawan sang adik, KRMH Suryo Manikmoyo, memberi isyarat bahwa di antara generasi muda kraton atau generasi wayah-dalem Sinuhun PB XII, pelan-pelan mulai menggantikan estafet kepemimpinan di kraton, untuk meneruskan upaya pelestarian seni budaya Jawa yang bersumber dari kraton dan kerja adat menjaga kelangsungan Kraton Mataram Surakarta. Secara pelan-pelan dan natural, para tokoh muda calon pemimpin di kraton itu mulai mengenalkan diri dan menyambung tali silaturahmi, meneruskan rintisan salah satu seniornya, misalnya Sang Bibi, GKR Wandansari Koes Moertiyah.

Awal yang sangat baik dan tepat dilakukan putra mahkota KGPH Hangabehi, hadir bersama rombongan khususnya korsik Bregada Prajurit Tamtama yang menjadi pemandu kirab budaya di puncak ritual haul di kompleks makam kedua tokoh leluhur Dinasti Mataram itu. Disaksikan lebih dari 5 ribu orang yang mengikuti peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW terutama yang mengikuti  haul wafat Kyai Ageng Ngerang di Kecamatan Juwana, KGPH Hangabehi memulai bersosialisasi, menjalin tali silaturahmi dan memulai mempererat hubungan legitimasi, yang salah satunya sangat berguna untuk keperluan “menuju puncak” (iMNews.id, 8/9/2023).

LEBIH LIMA RIBU : Lebih lima ribu peziarah dan peserta peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW mengikuti haul wafat Kyai Ageng Ngerang I, yang digelar panitia bersama Pakasa Cabang Pati di kompleks makam di Desa Trimulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, belum lama ini. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Berbagai manfaat yang bisa muncul dari sinergi berbagai pihak khususnya peran Pakasa cabang dan putra mahkota KGPH Hangabehi, sudah mulai tampak di setiap ritual haul itu digelar, setidaknya seperti doa dan harapan putra mahkota itu ketika memberi sambutan di dua acara terpisah itu. Meski tampak lancar-lancar saja dan sukses, bukan berarti jalan menuju ke depan terutama “menuju puncak”, akan seterusnya aman tanpa gangguan bagi KGPH Hangabehi. Begitu pula akan lancar, aman dan tanpa gangguan bagi Pakasa cabang setempat dan sinergitas yang sudah terbentuk dalam kepanitiaan dan sebagainya.

Di semua titik lokasi yang menggelar upacara adat itu, memiliki potensi lahirnya gangguan di internal kepanitiaan yang bisa mengarah pada friksi, seperti gelagat awal yang sudah dirasakan Ketua Pakasa Cabang Pati, KRAT Mulyadi Puspopustoko. Karena, selama dirinya dipercaya Pangarsa Pakasa Punjer untuk memimpin para abdi-dalem warga Pakasa cabang, termasuk di antaranya para abdi-dalem jurukunci di seluruh wilayah Kabupaten Pati, selalu ada upaya untuk menghadang dirinya berperan aktif sesuai “tupoksi” dan kapasitasnya selaku pemimpin organisasi yang berisikan semua abdi-dalem Pakasa cabang di upacara-upacara tersebut.

“TIGA SERANGKAI” : Pakasa Cabang Jepara sebagai anggota “Tiga Serangkai” Pakasa di sekitar Gunung Muria, saat bersama panitia menggelar haul dan ziarah di makam Bupati I Jepara, Ratu Kalinyamat, beberapa tahun lalu. Nama harum para leluhur Dinasti Mataram selalu terjaga di sini. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Saya sudah lama merasakan itu. Jadi, ada yang merasa terganggu atau menjadi canggung dengan kehadiran saya menjalankan tugas sebagai Ketua Pakasa Cabang yang harus mengkoordinasikan panitia dengan banyak pihak. Tetapi, enggak apa-apa. Mudah-mudahan seiring waktu, mereka sadar dengan sendirinya dan mengikuti irama tugas dan pekerjaan di bidang pelestarian adat tradisi ini. Karena, organisasi Pakasa memang hal yang baru dari yang sebelumnya sudah berjalan lama tidak ada kepengurusan Pakasa. Kebetulan, saya sendiri juga juru kunci makam Kyai Ageng Ngerang I, yang dipercaya mengemban tugas sebagai ketua Pakasa,” jelas KRAT Mulyadi Puspopustoko saat ngobrol dengan iMNewas.id dalam beberapa kali, sebelumnya.

Potensi gangguan yang bisa mengurangi kelancaran penyelenggaraan upacara adat dan jalannya kepengurusan organisasi Pakasa, adalah satu persoalan tersendiri di antara potensi masalah yang muncul di Pakasa cabang yang sumbernya dari lingkungan abdi-dalem jurukunci. Karena, belakangan ada di antara abdi-dalem jurukunci yang didukung pihak tertentu menginisiasi keberadaan makam seorang tokoh yang diyakini berkaitan dengan sejarah para leluhur Dinasti Mataram lainnya, bertujuan untuk “mengoperasionalkan” makam itu sebaga destinasi wisata spiritual baru agar mendatangkan “income”. (Won Poerwono-bersambung/i1).