Wujud Kebebasan Para Kawula “Berserikat” dan Sarana Pergerakan Merintis Kemerdekaan RI
IMNEWS.ID – TIDAK lama lagi, tepatnya pada tanggal 29 November tahun 2024 ini, organisasi Paguyuban Kawula Karaton Surakarta (Pakasa) akan genap berusia 93 tahun. Kraton Mataram Surakarta dan segenap elemennya terutama Pakasa dari Punjer sampai di berbagai cabang, akan memperingati organisasi yang didirikan Snuhun PB X pada 29 November 1931 itu.
Kegiatan persiapan berupa pertemuan pengurus yang sifatnya koordinatif sudah beberapa kali dilakukan, baik secara langsung maupun melalui daring atau zoom virtual. Rangkaian kegiatan pengisi peringatan hingga puncaknya, sedang dalam penyusunan panitia di punjer dan cabang. Bahkan, akan ada Festival Budaya Kraton Nusantara MAKN yang mengaksentuasinya.
Di sisi lain, ada pemandangan Pakasa berada pada situasi dan kondisi serta berbagai unsur “kebetulan”, yang menjadi saat baik untuk merefleksi diri. Termasuk menelusur bagaimana latar-belakang Pakasa dilahirkan, dan bagaimana kemampaun menembus ruang waktu sampai 93 tahun itu. Eksistensinya sebagai “Pakasa New Reborn” di abad 21, penting untuk dipahami.
Dalam kerangka persiapan menggelar hajad peringatan Hari Jadinya yang ke-93 tahun, pengurus Pakasa Punjer masih mengakumulasikan dan mengakselerasikan jadwal agenda kegiatan, karena ada elemen lain yaitu Majlis Adat Kraton Mataram (MAKN) yang punya event dan dipindahkan ke Surakarta, hendak dipadukan dengan perayaan dan peringatan Hari Jadi Pakasa.
Memang butuh pemikiran keras untuk memadukan dua event dari dua elemen organisasi berbeda, yang dipimpin KPH Edy Wirabhumi selaku Pangarsa Pakasa Punjer dan Ketua Umum DPP Makan itu. Mungkin karena waktu pelaksanaan event peringatan Hari Jadi Pakasa (29/11) dan event Festival Budaya Kraton Nusantara MAKN (13-15/12) berdekatan, ingin dipadukan.
Pemaduan dua event itu diharapkan agar ada unsur kekuatan legitimatif dan saling mendukung, agar dua event yang sama-sama punya “back-ground” kultur itu, bisa menampilkan perpaduan keindahan multi kultur seperti indahnya taman bunga kebhinekaan Nusantara. Ini merupakan konsep pemikiran yang akan menjadi contoh operasional ideal membumi ke depan.
Peristiwa pemaduan Hari Jadi Pakasa dan Festival Budaya Kraton Nusantara MAKN ini akan menjadi “test case” sekaligus contoh kolaborasi dua elemen, bagi organisasi Pakasa, MAKN dan bagi kalangan anggota MAKN yang jumlah sekitar 50 kraton, kesultanan, kedatuan dan pelingsir adat itu. Karena, event ini adalah pertama bagi Pakasa dan Kraton Mataram Surakarta.
Event perpaduan dua elemen itu, juga tang pertama bagi MAKN dan kalangan anggotanya. Karena, sepertinya hanya Kraton Mataram Surakarta satu-satunya yang memiliki elemen organisasi wadah para kawula atau rakyatnya. Sementara, lembaga masyarakat adat anggota MAKN lainnya rata-rata punya rakyat yang bebas tak terikat dan tak berserikat seperti Pakasa.
Oleh sebab itu, keberadaan organisasi Pakasa kini justru semakin tampak menjadi fenomena unik tetapi positif, prospektif dan futuristik yang muncul akibat akan adanya peristiwa peringatan Hari Jadi Pakasa dan Festival Budaya Kraton Nusantara MAKN. Peristiwa itu akan melahirkan fenomena menarik, Pakasa yang kini hadir adalah wajah Pakasa baru, “Reborn”.
Karena wajah Pakasa masa kini adalah wajah baru atau Pakasa yang lahir kembali (Reborn), maka visi dan misi gerak organisasinya mungkin sudah jauh berbeda dengan wajah Pakasa, misalnya yang bertahan sampai periode 1945-1965. Apalagi ketika dibandingkan dengan wajah Pakasa yang dilahirkan Sinuhun PB X (1893-1939) atau pada periode sebelum 1945.
Dari uraian di atas jelas terpetakan periodisasi wajah Pakasa saat dilahirkan pada 29 November 1931, ketika dibanding wajah Pakasa periode awal republik (1945) sampai periode peristiwa 1965, dan wajah Pakasa pada periode “Reborn” atau “New Pakasa” mulai 2004 hingga kini. Setidaknya ada tiga periode besar yang dialami selama 93 tahun perjalanan Pakasa.
Seperti diungkap peneliti sejarah yang juga Ketua Lokantara Pusat di Jogja, Dr Purwadi, Pakasa pada periode kelahiran hingga perjalanannya menjadi organisasi di zaman kerajaan Mataram Surakarta, adalah identik wadah pergerakan para tokoh perintis kemerdekaan RI. Bahkan, Pakasa bisa besar bersama organisasi “Boedi Oetomo”, walau berbeda ciri fundamentalnya.
Kedua organisasi itu ada kemiripan, terutama dari sisi tujuan yaitu wadah pergerakan para tokoh perintis kemerdekaan RI. Pakasa diisi oleh para tokoh Kraton Mataram Surakarta yang menjadi pemimpinnya, dan anggotanya dari para kawula atau abdi-dalem. Sementara Boedi Oetomo, hampir semua isinya dari luar kraton, kecuali pimpinannya ada yang dari kraton.
Adalah Pepatih-dalem KRMT Wuryaningrat yang “diizinkan” Sinuhun PB X menjadi Ketua ke-6 pergerakan “Boedi Oetomo” yang juga memegang Ketua pertama “PKS” atau Pakasa sejak dilahirkan tahun 1931. Oleh sebab itu, Pakasa yang berbasis “kawula kraton”, tetapi ikut menjadi organisasi pergerakan merintis kemerdekaan karena faktor figur KRMT Wuryaningrat.
“Jadi, Pakasa itu lahir karena beberapa faktor, salah satunya ikut menjadi wadah pergerakan merintis kemerdekaan. KRMT Wuryaningrat dari kraton, eksis di Pakasa dan menjadi Ketua ke-6 Boedi Oetomo. Sedangkan dr Sutomo itu Ketua ke-7, setelah KRMT Wuryaningrat. Jadi, keliru besar kalau selama ini disebar-luaskan dr Sutomo ketua pertama Boedi Oetomo”.
Penjelasan Dr Purwadi saat dimintai konfirmasi iMNews.id siang tadi, selebihnya mengungkapkan, sebagai salah satu organisasi yang lahir di masa-masa pergerakan merintis kemerdekaan, ada kemiripan dengan “Boedi Oetomo”. Tetapi tentang “Boedi Oetomo”, penulis lebih 100 judul buku berbasis Budaya Jawa dan Mataram Surakarta itu punya pandangan berbeda.
Berbeda perspektif cara pandangnya, salah satunya banyak memberi sudut penampilan yang berbeda dari karya penulisan orang lain, dari dalam dan luar negeri, yang hampir semuanya bersikap memusuhi dengan stigma negatif dan berusaha menenggelamkan atau meniadakan Kraton Mataram Surakarta dan produk-produk budayanya. Dia termasuk sejarawan langka.
Meski belum banyak kajian khusus soal Pakasa dilakukan, tetapi peneliti sejarah yang juga anggota Pakasa Cabang Jogja itu banyak berpartisipasi langsung dalam membangun wajah Pakasa baru. Dengan ber-“solo carier” di luar struktur, dia banyak membagi energi positif ke sejumlah cabang Pakasa khusus di wilayah Surakarta, hingga banyak yang kini eksis.
Terlepas dari itu, ketika menelusuri asal-usul Pakasa yang didirikan Sinuhun PB X pada tahun 1931, dari aspek sosiologi politik adalah akibat dari pengaruh geo-sosial dan geo-politik terutama dari bangsa-bangsa di Eropa. Perang dunia (PD) I dan II yang banyak terjadi di Eropa, membawa angin perubahan di Asia, termasuk di Nusantara dan dialami Mataram Surakarta.
Perubahan sosial politik itu sampai pada merubah dan memperbarui strata sosial, memperngaruhi sikap dan cara pandang, termasuk kebebasan berserikat, berkumpul dan berekspresi. Lahirnya organisasi Pakasa, Putri Narpa Wandawa dan Narpa Wandawa adalah respon positif Sinuhun PB X dalam menyikapi angin perubahan tatan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.
Respon positif Sinuhun PB X inilah yang patut diapresiasi, karena dorongan dan dukungan yang berwujud apa saja terutama materi dan politik, justru diberikan Sinuhun PB X yang notabene seorang Raja dan pemimpin “negara” (monarki) Mataram Surakarta. Aspek positif seperti ini yang seharusnya dipandang, dihargai dan menempatkannya lebih layak di NKRI ini. (Won Poerwono – bersambung/i1)