Patuhi Prokes, Hanya Keluarga yang Boleh Mengantar
SOLO, iMNews.id – Besok Minggu (15/8) pagi sekitar pukul 09.00 WIB, jenazah Pengageng Pura KGPAA Mangkunagoro IX akan dilepas dalam sebuah upacara adat dari Pendapa Pura Mangkunegaran. Tetapi sesuai prokes Covid 19, prosesi keberangkatan jenazah hanya boleh diantar kalangan keluarga terbatas dan sentana serta abdidalem yang bertugas dalam pemakaman di kompleks makam Dinasti Mangkunegaran, Astana Giri Layu, Matesih, Karanganyar.
”Betul, upacara pelepasannya sederhana. Karena sebenarnya ‘kan todak boleh dilayat, sesuai prokes Covid 19. Yang mengantar ke Giri Layu besokpun, hanya keluarga dan para petugas pemakaman di sana,” ujar Pengageng Mandrapura KRT Supriyanto Waluyo, menjawab pertanyaan para awak media di Pendapa Agung Pura Mangkunegaran, tadi siang.
Sampai siang, suasana di tempat duka yang dipusatkan di Pendapa Agung Pura Mangkunegaran, hanya terlihat beberapa orang saja, kecuali para awak media. Karena, sesuai prokes di masa pandemi, kegiatan yang mengundang kerumunan seperti halnya ”layatan” harus dihindari. Oleh sebab itu, ruang pendapa dan halaman yang begitu luas yang biasanya menjadi pusat berkumpulnya ribuan manusia seperti saat kirab pusaka menyambut 1 Sura sebelum 2020, kemarin dan hari ini sampai siang tadi boleh dikatakan cukup sepi.

Meski begitu, jenazah KGPAA Mangkunagoro IX yang akrab disapa Gusti Mangku, sudah berada dalam peti yang diletakkan di depan krobongan ndalem ageng masih terbuka. Dari foto yang beredar di medsos, jenazah Gusti Mangku didandani dengan busana adat secara lengkap sebagai seorang pemimpin adat, yang menurut KRT Supriyanto Waluyo merupakan tatacara adat Mataram untuk ”ngrukti layon” (mengurus jenazah) seorang pemimpin adat atau raja di lingkungan Dinasti Mataram.
Sementara, hiasan bunga yang secara adat sebagai tanda Pura Mangkunegaran sedang berkabung serta karangan bunga sebagai ucapan duka cita dari berbagai kalangan, sudah tampak ditata berjejer rapat memenuhi sekeliling pendapa, halaman dan kanan-kiri jalan masuk dari gapura depan menuju pendapa. Salah satu karangan bunga ucapan duka cita itu, bertuliskan Presiden Jokowi beserta keluarga besar, Kapolri Jendral Pol Listyo Sigit, Menhan Prabowo Subiyanto, Kemen PAN Cahyo Kumolo, keraton-keraton anggota Catur Sagatra dan berbagai kalangan sudah tampak di pendapa agung dan sekelilingnya.
Selain Pengageng Mandrapura, nyaris tak ada seorangpun yang mewakili sentana atau keluarga yang nampak atau bisa dimintai keterangan oleh para awak media. Namun memang, sepeninggal Gusti Mangku, hanya tersisa tiga wanita saudara kandungnya yaitu GRAy Retno Satuti, GRAy Retno Roosati dan GRAy Putri Retno Astrini. Permaisuri GK Putri Mangkunagoro dan empat anak dari dua ibu berbeda, masing-masing GPH Paudra Karna Jiwanagara (40-an), BRAy Menur Sunituti (35-an), GRA Ancila Syura (25-an) dan GRM Bhre Wira Cakra Hutama (20-an) juga tidak tampak.

Dari penuturan kerabat setempat, almarhum Gusti Mangku lebih sering tinggal bersama keluarga kecilnya di Jakarta, terlebih selama pandemi Corona. Keberadaannya di Jakarta, karena dianggap lebih mudah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan untuk beberapa gangguan kesehatan yang dideritanya, seperti jantung yang bahkan membuatnya tak tertolong ketika terjadi serangan menjelang wafatnya, Jumat (13/8) dinihari itu.
Namun selain jantung, iMNews.id mencatat ada beberapa gangguan kesehatan yang diderita Gusti Mangku sejak lama, atau bahkan sebelum menikahi puteri Letjen TNI (Purn) KPH Haryogi Supardi yang bernama Prisca Marina (GK Putri Mangkunagoro) di tahun 1990-an. Yaitu retak tulang kering salah satu kakinya akibat kecelakaan saat mengendarai moge, kemudian penyempitan syaraf tulang belakang dan pernah menjalani operasi pemotongan usus yang semuanya dilakukan di Jakarta.

Gusti Mangku adalah generasi kedua setelah ayahandanya (KGPAA Mangkunagoro VIII) bersepakat dengan Sinuhun Paku Buwono (PB) XII ikut mnedirikan NKRI pada tahun 1945. Artinya, Gusti Mangku adalah generasi kedua setelah Pura Mangkunegaran berada dalam suasana republik, sama posisinya dengan Sinuhun PB XIII yang mewarisi tahta ayahandanya (PB XII).
Tampilnya Gusti Mangku sebagai Pengageng Pura dengan gelar KGPAA Mangkunagoro IX di Tahun 1988, diwarnai pro-kontra yang mencuat menjadi ontran-ontran dan puncaknya terjadi di tahun 1990-an. Ontran-ontran itu terjadi karena ada pihak yang menginginkan tahta tersebut, karena konon pernah ada semacam ”perjanjian” atau ”kesepakatan” dari bagian keluarga besar penerus Pangeran Sambernyawa (KGPAA Mangkunagoro I) untuk mendapat giliran menggantikan tahta tersebut.

Namun, ontran-ontran yang disebutkan melibatkan keluarga ”Cendana” tersebut bisa diakhiri dengan sebuah persyaratan, KGPH Sudjiwo Kusumo boleh naik tahta menggantikan sang ayah jika hanya menggunakan gelar (Kanjeng Gusti Pangeran Aryo (KGPA) Mangkunagoro tanpa gelar ”Adipati” dan tanpa angka urut ”IX” (sembilan). Tetapi, proses ”ontran-ontran” yang melibatkan Dewan Pinisepuh Himpunan Kerabat Mangkunegaran (HKMN) ini, akhirnya bisa berakhir dengan tetap mempertahankan nama dan gelar serta urutan dinasti KGPAA Mangkunegaran IX.
Paugeran adat Dinasti Mangkunegaran yang banyak bersumber dari paugeran Dinasti Mataram itu disepakati harus dilestarikan, mengingat Pura Mangkunegaran statusnya adalah ”Kadipaten” atau wilayahnya seorang ”Adipati”. Ini sesuai perjanjian Salatiga antara Sinuhun PB III dengan Pangeran Sambernyawa, yang berlangsung tidak lama setelah Perjanjian Giyanti antara Sinuhun PB III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan HB III) tahun 1755. (won)