Acara “Khataman” Mendapat Tamu Trah Keturunan Sunan Ampel
IMNEWS.ID – ACARA yang digelar Pengageng Sasana Wilapa Kraton Mataram Surakarta, Kamis sore hingga malam (30/3) kemarin, sebenarnya hanyalah kegiatan biasa seperti yang diadakan di tahun-tahun sebelumnya, bahkan hampir sama yang dilakukan umat muslim di bulan puasa seperti ini. Tetapi, rangkaian kegiatan yang dimulai dengan khataman Alqur’an di Bangsal Smarakata pada pukul 16.00 WIB, lalu diteruskan dengan berbuka puasa bersama, shalat magrib bersama, penyerahan cinderamata “Kur’an Jawi”, lalu makan besar bersama dalam rangka berbuka puasa dan diakhiri dengan shalat tarawih bersama, sangat terasa keistimewaannya.
Banyak sekali hal istimewa terselip di acara ibadah di bulan puasa atau Pasa tahun Ehe 1956 atau Ramadhan tahun 1444 Hijriyah itu, atau setidaknya dari peristiwa biasa di bulan Ramadhan yang digelar Kraton Mataram Surakarta itu, melahirkan banyak informasi yang selama ini tertutup atau tersembunyi dan tidak terduga akan terbuka lebar. Informasi sejarah perjalanan Kraton Mataram Surakarta menjadi semakin kaya data dan kaya cerita, karena informasi tentang data sejarah seakan terus bermunculan mengalir dari berbagai arah.

Misalnya ketika menyebut para santri asal Pondok Pesantren (Ponpes) Al Mustaqim, Kota Salatiga yang sejak Januari lalu mulai aktif mengikuti acara khataman Alqur’an yang diinisiasi Pengageng Sasana Wilapa, ada informasi menarik tentang sisi lain sejarah Mataram Surakarta yang bercirikan Islam sebagai kelanjutan Mataram Islam yang didirikan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Ponpes itu ternyata diasuh seorang tokoh yang kini bergelar KPP Suryo Hadikusumo, salah seorang canggah atau generasi kelima trah keturunan Sinuhun Paku Buwana (PB) IX.
Nama tokoh itu muncul sejak GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) selama lima tahun lebih dari 2017 aktif bersafari keliling “Tour de Makam, Petilasan dan Pesanggrahan” para leluhur Dinasti mataram yang tersebari di wilayah luas mulai dari Provinsi Jatim, Jateng dan DIY. Mulai saat itu, semua lokasi yang memiliki latarbelakang sejarah menjadi tempat makam, petilasan dan pesanggrahan para leluhur, rutin diziarahi satu persatu, kemudian merangkul masyarakat adat yang merawat tempat-tempat bersejarah itu dan menyambungkan kembali ikatan tali silaturahmi sebagai sesama warga masyarakat adat peradaban Jawa dan Mataram.

Ikatan tali silaturahmi jelas sudah tersedia, yaitu dengan membentuk organisasi Pakasa cabang di berbagai daerah kabupaten/kota yang di dalamnya juga dibentuk kepengurusan Pakasa anak cabang di tiap-tiap kecamatan. KPH Edy Wirabhumi selaku Ketua Pengurus Pusat (Pangarsa Punjer) Pakasa, sangat aktif membangkitkan kesadaran kolektif di kalangan warga peradaban untuk mencintai budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta. Dan momentumnya kebetulan juga bersamaan dengan suasana kehidupan sosial politik di dalam negeri yang memperlihatkan trend menajam politik identitas ke arah perpecahan warga bangsa, sehingga para pemimpin bangsa dan negara merasa perlu menggandeng kraton-kraton se-Nusantara untuk bersinergi menghadapi potensi ancaman anasir radikalisme dan intoleransi.
Kepengurusan Pakasa cabang yang kini berdiri merata di semua provinsi meski rata-rata masih belum lebih dari 50 persen jumlah kabupaten/kota di setiap provinsi, menjadi tempat bergabung dan bernaung semua tokoh adat dan warga masyarakat adat yang ternyata banyak di antara mereka memiliki alur trah keturunan dengan tokoh-tokoh pemimpin dan leluhur Dinasti Mataram. Meski belum bisa terbentuk kepengurusan cabang, namun banyak sekali warga Pakasa lahir di Kota Salatiga, Kabupaten Semarang, Kota Semarang, Kabupaten Demak dan daerah-daerah sekelilingnya, yang memungkinkan warganya berasal dari kalangan Nahdliyin yang notabene bagian dari masyarakat adat pemelihara makam, petilasan dan pesanggrahan yang rata-rata dilengkapi masjid dan dijaga para santri dari pondok pesantren yang kemudian lahir.

Bila menyimak perjalanan sejarah dalam kurun waktu panjang sejak Mataram Islam didirikan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma tahun 1613, bahkan sudah dirintis Raden Patah (Kraton Demak) di tahun 1478, perkembangan ciri-ciri sosial religi masyarakatnya khususnya sebaran Islam di wilayah yang sangat luas jelas sangat memungkinkan dan sudah menjadi cirikhas masyarakatnya ketika dalam citra visualnya ada pula ciri-ciri Jawanya. Karena, sejak Kraton Demak menjadi tonggak sejarah syi’ar Islam sembilan tokoh Wali Sanga, yang mampu menyebarluaskan agama di kalangan masyarakat Jawa, hingga melahirkan sebuah peradaban yang akulturatif, sangat ideal dan sangat fundamental yaitu peradaban Jawa hasil kerja para Wali Sanga yang “disyahkan” Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma.
Di acara khataman Alqur’an yang dirangkai dengan berbagai kegiatan dalam rangka ibdah puasa itu, muncul pula seorang tokoh yang membawa informasi tentang sembilan tokoh Wali Sanga dalam sejarah syi’ar Islam, yaitu Sunan Ampel. Di acara itu, Kraton Mataram Surakarta kedatangan seorang tamu dari Surabaya bernama Abu Bakar bin R Ubaidilah, yang merupakan seorang trah keturunan Sunan Ampel. Tokoh yang merupakan generasi kesebelas dari Sunan ing Ngampel (Ampel) Dhenta itu datang ke kraton, saat khataman Alqur’an berlangung.

Setelah peristiwa nyadran di makam Sunan Ampel yang berlokasi di Kelurahan Ampel, Kecamatan Semampir, Surabaya itu, komunikasi terus berlanjut antara Abu Bakar bin R Ubaidilah dengan Gusti Moeng, hingga maksud untuk “nashab” (mencari sumber ikatan kekeluargaan-Red) diterima dengan tangan terbuka yang terwujud saat berlangsung acara khataman Alqur’an, Kamis malam (30/3) kemarin. Di acara itu, Abu Bakar bin R Ubaidilah menerima cinderamata buku “Kur’an Jawi” yang diserahkan langsung oleh Gusti Moeng, disaksikan semua peserta khataman, termasuk Gusti Timoer, Gusti Devi dan KPH Edy Wirabhumi yang mendampingi saat serah-terima.
Setelah serah-terima cinderamata, trah keturunan “Sunan ing Ampel (Ngampel-Red) Dhenta” itu diajak berbuka puasa bersama di eks kantor Sinuhun PB XI. Selesai ramah-tamah, dilanjutkan dengan shalat tarawih bersama di Bangsal Pradangga yang dipimpin oleh abdidalem Ketib Masjid Agung Kraton Mataram Surakarta, KRA Madyahadinagoro selaku imam. Dalam kata pengantar ketika hendak menyerahkan cinderamata “Kur’an Jawi” kepada tamunya dari makam Sunan Ampel seusai khataman, Gusti Moeng menyebut berbagai informasi yang berkait dengan khataman Alqur’an, tentang para pesertanya, tentang KRA Madyahadinagoro, tentang tokoh trah keturunan Sunan Ampel dan banyak lagi. (Won Poerwono-bersambung/i1)