“Ditakut-takuti” Dengan Tudingan Musyrik, Syirik, Bit’ah, Tidak Syar’i dan Dosa
IMNEWS.ID – DARI tulisan seri sebelumnya (iMNews.id, 5/4) disebutkan, dari berbagai potensi penyebab semakin menurunnya animo masyarakat luas mengunjungi ke kraton dan “ngalab berkah” hajad-dalem setiap upacara adat yang digelar, ternyata juga disumbang friksi di internal dan event tandingan yang didukung kekuasaan.
Desakralisasi, demitosisasi dan delegitimasi yang semakin “digalakkan” dari berbagai arah kekuatan dan kekuasaan, seakan-akan menjadi “bahaya laten” bagi pelestarian budaya Jawa dan kelangsungan Kraton Mataram Surakarta. Sedangkan friksi internal dan event tandingan, dikesankan sebagai sebab-akibat di dalam keluarga.
Dengan mencermati jenis-jenis potensi ancamannya di beberapa tulisan sebelumnya, kini menjadi terpetakan dan terdeteksi dari mana ancaman itu datang? Seberapa besarnya potensi ancaman itu dan dari lembaga/anasir apa potensi ancaman itu berasal? Selain itu, tujuan dan sasaran potensi ancaman juga terpetakan dan terdeteksi.
Kalau merunut dari mana potensi ancaman itu datang, bisa dari lingkungan internal keluarga atau masyarakat adat dan dari luar keluarga/masyarakat adat. Yang dari luar lembaga keluarga atau masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, potensi ancaman bisa datang dari lembaga kekuasaan, elemen masyarakat dan dari luar negeri.
Potensi ancaman dari luar negeri terutama yang masuk ke Indonesia di saat “filter” ketahanan budaya sangat lemah, datang mulai saat era reformasi atau era keterbukaan atau era eforia kebebasan yang masih berlangsung hingga kini. Potensi ancaman yang datang dari luar negeri ini, terbalut dalam berbagai jenis budaya asing.
Selain budaya yang menawarkan trend-trend kemajuan/modernitas sebagai mode di bidang apa saja, misalnya busana, musik, “live style” dan sebagainya, juga terbawa anasir-anasir radikalisme dan intoleransi. Dua hal terakhir inilah yang proses masuknya tidak sekadar menawarkan, tetapi “setengah memaksa” dan “menakut-nakuti”.
Dua cara proses masuknya anasir yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai budaya Jawa dan ketimuran ini, menggunakan dalil-dalil agama. Maka, bukan hanya sikap spiritual kebatinan yang dekat dengan mitos, mistik, magis, klenik dan spirit ngalab berkah yang dibabat nyaris habis, tetapi kehidupan pribadi.
Arah dan asal datangnya potensi ancaman dari luar keluarga kraton dan lembaga masyarakat adatnya, sudah terpetakan dan terdeteksi dengan jelas. Letak potensi ancaman itu ada pada pemerintah dari segala tingkatan atas nama negara, tidak menjalankan amanat konstitusi, tetapi justru mengeluarkan kebijakan yang “merusak”.
Kalau arah dan asal, jenis potensi dan lembaganya sudah terpetakan dan terdeteksi, kini giliran objek materi yang dituju atau dijadikan sasaran potensi ancaman itu. Dengan melihat kasus demi kasus dari penyelenggaraan upacara adat dari tahun ke tahun, jelas ritual atau upacara adat itu yang menjadi objek dan sasarannya.
Melihat prosesnya, potensi ancaman untuk merusak/menghapus/menghilangkan berbagai ritual/upacara adat yang digelar Kraton Mataram Surakarta itu, dimulai dengan menggiring para pelaku dan pendukung kegiatan ritual/upacara adat itu. Mereka digiring untuk tidak datang dan takut dituduh musyrik, syirik, bit’ah dan dosa.
Mereka yang “digiring” dan ditakut-takuti dengan tudingan musyrik, syirik, bit’ah, tidak syar’i dan dosa itu, tidak hanya masyarakat pengunjung yang semula sangat setia datang untuk “ngalab berkah” di saat ritual/upacara adat digelar. Berikutnya, adalah kalangan abdi-dalem yang menjadi petugas dalam setiap ritual digelar.
Dua elemen yang menjadi objek atau sasaran potensi ancaman itu, sudah terbukti melalui beberapa ritual yang digelar kraton. Selain masyarakat pengunjung yang “ngalab berkah” nyaris habis, untuk mencari abdi-dalem yang bertugas mengusung berbagai jenis uba-rampe hajad dalem, kini bukan makin sulit didapat.
KRMH Suryo Kusumo Wibowo hanya bisa berkeluh kesah, begitu sulitnya menyiapkan tenaga pengusung uba-rampe hajad-dalem dari kalangan abdi-dalem yang banyak tinggal di desa-desa di wilayah Surakarta. Selain generasi tua sudah nyaris habis, generasi penggantinya didapat dari kalangan yang sudah menjadi elemen Lembaga Dewan Adat.
Potensi ancaman terhadap objek kegiatan ritual/upacara adat dengan target besar budaya Jawa yang menjadi induknya, bahkan sudah muncul dalam wujud kekinian. Event tandingan yang secara terang-terangan diciptakan kekuasaan, melalui anggaran kedinasan, yang menggunakan tokoh-tokoh internal keluarga dan masyarakat adat.
Kalau pada friksi akibat alih kepemimpinan di tahun 2004, peran kekuasaan tersembunyi di balik para tokoh internal, sejak 2017 peran kekuasaan berubah terang-terangan membiayai berbagai upacara adat tandingan. Para pelakunya adalah gabungan dari tokoh internal, kelompok abdi-dalem dan masyarakat adat “tandingannya”. (Won Poerwono-bersambung/i1)