Selalu Mengingatkan Cara Pemkot Salah Bersikap Soal Hari Jadi Kota Surakarta
IMNEWS.ID – BERLANGSUNGNYA ritual “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung” atau “Sesaji Raja Wedha” yang digelar “Bebadan Kabinet 2004” pada Kamis Legi (31/10) lalu, kembali mengingatkan pada beberapa hal penting. Di antaranya mengenai cara mengukur semangat dan niat bekerja selama 100 hari, sekaligus mengukur pengendapan emosi spiritual.
Munculnya hitungan 100 hari itu, secara tegas dan nyata diperkenalkan Sinuhun Paku Buwana (PB) II pada saat menggelar upacara adat “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung” tersebut. Ritual yang dilakukan pada Kamis akhir bulan Bakda Mulud/Rabiulakhir tahun Je 1670 atu 20 Februari tahun 1745, sekaligus mengganti nama sebelumnya “Sesaji Raja Wedha”.
Catatan abdi-dalem jurusuranata KRT Handi Paningrat sebagai riwayat lahirnya upacara adat Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa lawung, ketika dibacakan KP Puspiro Adiningrat (Sekretaris Pengageng Sasana Wilapa) memang tidak menyebut beberapa penjelasannya. Terutama yang menyangkut pemakaian hitungan 100 hari untuk menggelar ritual tersebut.
Hingga kini, memang belum ada data yang menunjuk alasan dan pihak yang secara khusus menjelaskan alasan di balik penggunaan hitungan 100 hari ketika Sinuhun PB II melakukan ritual Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa lawung itu. Tetapi setelah ratusan tahun kemudian yaitu kini, ada yang bisa dipahami bahwa Sinuhun PB II telah mengganti nama ritual itu.
Catatan KRT Handi Paningrat yang dibaca di tengah ritual di hutan Krendawahana berlangsung, Kamis Legi (31/10/2024) itu, dengan tegas menyebut, Sinuhun PB II ketika masih jumeneng nata di Kartasura sebagai Ibu Kota Kraton Mataram Surakarta, tetap menjalankan upacara adat “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung”, sekaligus mengganti nama upacara tersebut.
Sesaji Mahesa Lawung adalah nama baru yang dipakai Sinuhun PB II untuk mengganti nama “Sesaji Raja Wedha”. Penggantian nama upacara di zaman Sinuhun PB II ini, justru sudah mendahului peristiwa penggunaan hitungan 100 hari yang sekaligus peristiwa deklarasi nama Surakarta sebagai Ibu Kota Kraton Mataram atau Kota Surakarta sebagai pengganti nama Desa Sala.
Menjadi tambahan informasi yang menarik dari catatan KRT Handi Paningrat selaku abdi-dalem juru-suranata pada zaman Sinuhun PB X (1893-1939) itu, bahwa upacara adat “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung” sudah dilakukan pada zaman Kraton Demak. Di tahun 1414, Raja Kraton Demak, Raden Patah menggelar ritual yang diberi nama Sesaji Raja Wedha.
Raden Patah sebagai salah seorang putra Raja Kraton Majapahit (Prabu Brwawijaya V), adalah Raja ke-1 Kraton Demak yang bergelar Sultan Alamsyah Akbar kali pertama menggelar ritual “Wilujengan Nagari” yang diberi nama “Sesaji Raja Wedha”. Ritual digelar sebagai upaya untuk memohon keselamatan kraton/negara seisinya dan rakyatnya dari segala bencana.
Sebagai ilustrasi, nama ritual “Sesaji Raja Wedha”, punya versi lain yaitu dari sejarah seni pertunjukan pakeliran atau pedalangan. Nama itu menjadi lakon pementasan wayang kulit purwa, dengan judul “Sesaji Raja Suya”, yaitu sesaji yang berisi kepala 100 raja taklukan, sebagai syarat kesalamatan negara dan terhindanrya berbagai bencana versi wayang kulit.
Kegiatan pentas kesenian “ringgit wacucal” (wayang kulit) dengan lakon apa saja yang berasal dari Serat Pustaka Raja Purwa, Serat Pustaka Raja Wedha atau karya para Empu serta para Pujangga di Kraton Mataram Surakarta itu kini “nyaris punah”. Seiring dengan semakin kaburnya fakta-fakta sejarah lain, utamanya yang menyangkut Mataram Surakarta.
Fakta-fakta itu adalah penggunaan hitungan 100 hari, seperti yang kini sedang menjadi patokan evaluasi atau ukuran kerja para anggota kabinet Presiden Prabowo dan para presiden sebelumnya. Juga fakta-fakta sejarah soal bergantinya nama Desa Sala yang diubah Sinuhun PB II dan dideklarasikan pada 17 Sura Tahun Je 1670 atau tanggal 20 Februari tahun 1745.
Tanggal 20 Februari 1745 itu, menurut KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro (sentana darah-dalem Sinuhun PB V dan X), sudah jelas dan tegas sebagai kelahiran nama Surakarta atau Kota Surakarta Hadiningrat. Karena Pemkot dan jajaran serta sebagian warganya dinilai keliru menginterpretasi data, maka disarankan agar segera merubah Hari Jadi 17 Februari.
Tak hanya KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro, sentana darah-dalem lain seperti KPP Jhony Sosrodiningrat (trah Patih Sindureja) yang berharap siapapun Wali Kota dan Wawali Kota Surakarta terpilih dalam Pilkada 2024 ini, agar segera mengganti tanggal lahir dan hari jadi Kota Surakarta yang selama salah dan terlanjur diperingati tiap 17 Februari itu.
Menurut keduanya dan data sejarah Serat Babad Pindhah Kedhaton menyebut, proses pindahan Ibu Kota Mataram (Islam) dari Kartasura ke Surakarta tanggal 14 Sura, dan nama Surakarta baru diumukan 17 Sura tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745. Data riwayat ritual Wilujengan Nagari Mahesa Lawung juga menyebut, setelah 100 hari Surakarta berdiri, digelar ritual.
Dari ritual “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung” itu, jelas sudah menunjuk pada data lahirnya Kota Surakarta, sekaligus data pergantian nama Desa Sala menjadi Surakarta Hadiningrat. Dari situ ditunjukkan pula, ritual “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung” jelas berkait dengan data “Adeging Nagari Mataram Surakarta” yang digelar setelah 100 hari. (Won Poerwono – bersambung/i1)