Semula, Masih Ada 10 Putra/Putri-dalem yang Setia Menjalani Kerja Adat
IMNEWS.ID – HAL penting kedua yang disebut Gusti Moeng dalam sambutan saat menggelar khol ke-18 wafat Sinuhun PB XII (iMNews.id, 15/10), adalah pernyataan tentang petakuatan internal mesyarakat adat di berbagai elemen yang kini dimiliki Kraton Mataram Surakarta. Di situ, dijelaskan mulai dari keluarga Sinuhun PB XII yang memiliki 35 putra/putri yang lahir dari enam istri tanpa “prameswari” (permaisuri).
Dengan menjelaskan peta kekuatan internal di ring satu yang menjadi bagian tertinggi strata adat di kraton, Gusti Moeng atau GKR Wandansari Koes Moertiyah itu hendak menyatakan bahwa sesungguhnya Sinuhun PB XII (1945-2004) memiliki potensi pendukung kerja adat sangat kuat. Karena, selain 35 putra/putri itu, ada kerabat sentana trah keturunan para leluhur Paku Buwana dan leluhur Dinasti Mataram sebelumnya.
Sebagai ilustrasi, Sinuhun PB X (1893-1939) memiliki 70-an putra/putri yang lahir dari sejumlah istri di antaranya dua “prameswari” dari Kraton Jogja dan Kadipaten Mangkunegaran. Dengan jumlah anak lebih banyak termasuk jumlah kerabat sentana, bisa diasumsikan semua kerja adat di satu sisi dan kerja administrasi pemerintahan “negara monarki” di sisi lain, bisa berjalan semua waktu itu.
Ilustrasi itu memberi gambaran bahwa dalam kerja adat yang nyaris paralel dengan kerja administrasi pemerintahan “negara monarki” Mataram Surakarta, waktu itu, memang dibutuhkan “keberpihakan” yang luar biasa terhadap tugas-tugas adat yang dikerjakan. Bahkan “keberpihakan” pada tugas adat sampai level kepemilikan tertinggi, yang disebut “rumangsa handarbeni” dalam “pasuwitan” sebagai “abdi-dalem”.
Gusti Moeng pernah menyebut, siapapun yang merasa memiliki tanggung-jawab dan kewajiban dalam kerja adat dalam ranka pelestarian Budaya Jawa dan menjaga kelangsungan kraton, punya status atau disebut “abdi-dalem”. Termasuk dirinya, walaupun terlahir sebagai putri-dalem atau anak ke-25 Sinuhun PB XII. Dari situ bisa dianalisis dan disimpulkan, bahwa kerja adat dan pemerintahan monarki butuh “rasa handarbeni”.
Dan fakta sejarah keberadaan kraton-kraton di Jawa sejak Kediri, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram Islam hingga Mataram Islam Surakarta, memang berlandaskan “rasa handarbeni” kerja adat dan administrasi pemerintahannya, maka unsur keluarga besar trah keturunan darah-dalem menjadi sumber ketersediaan SDM utama. Dari lingkungan generasi keturunan tokoh itulah, yang pertama dipertimbangkan untuk direkrut.

Sistem seleksi tradisional di lingkungan lembaga masyarakat adat dalam menjalankan kerja adat dan pengelola “negara monarki” dalam menjalankan tugas administrasi pemerintahan, menjadi cara satu-satunya dan terbaik saat itu. Selain mengandung unsur verifikasi, pengamatan (langsung/tidak) dan pertimbangan “Lembaga Kapujanggan”, perekrutan SDM untuk kerja adat dan administrasi pemerintahan masih ada penentu lain.
Penentu lain yaitu unsur “kedekatan keluarga” yang diyakini merupakan trah keturunan darah-dalem dari tokoh “terpilih”. Karena, melihat silsilah dari kerajaan di Jawa mulai dari Majapahit, Demak, Pajang, Mataram dan seterusnya hingga Mataram Surakarta, jelas sekali tokoh-tokoh pemimpinnya. Yang dari garis pemimpin di bidang budaya sekaligus agama, dari atas ke bawah menurunkan tokoh-tokoh di bidang itu.
Begitu pula, dari tokoh yang menonjol di bidang administrasi pemerintahan, punya garis lurus dari zaman Majapahit yang menurunkan para tokoh Patih di zaman Mataram, termasuk Mataram Surakarta, yang juga menurunkan para tokoh intelektual dan cerdik-pandai. Maka tidak aneh jika dari jalur Ki Ageng Tarub ternyata menurunkan Patih Sindureja (Mataram Kartasura) lalu Patih Sasradiningrat (Mataram Surakarta).
Temuan-temuan dalam kajian sejarah yang dilakukan sejarawan Ki Dr Purwadi masih banyak lagi, termasuk menelusuri ketokohan Patih Gajah Mada yang sangat dimungkinkan berkait dengan sejarah Pengging sebelum dan sesudah berdiri Kraton Pajang (1550-1587). Karena, jauh sebelum Ki Ageng Sri Makurung Handayaningrat menjabat Bupati Pengging, keluarga orangtua Gajah Mada membawa ke Bojonegoro sebelum ke Majapahit.
Ilustrasi di atas, melukiskan bagaimana dari Majapahit, bahkan Kediri, menuju kraton-kraton yang muncul kemudian di tempat lain, dikelola para tokoh dari garis keturunannya, menonjol di bidang kerja adat dan administrasi pemerintahan. Namun sayang, begitu NKRI lahir, lembaga “Kepatihan” Mataram Islam Surakarta ditempatkan sebagai “pesaing” yang dianggap tidak menguntungkan, maka di tahun 1949 “dilenyapkan”.
Berbagai “ontran-ontran” di eksternal kraton di awal republik dan rongrongan PKI di tahun 1948 dan 1965, telah “melucuti” Kraton Mataram Surakarta dari potensi kekuatannya di bidang adiministrasi pemerintahan. Ketika kedaulatan politiknya “diserahkan” kepada NKRI, masih rasional, tetapi ketika kedaulatan budaya terus dirongrong sepanjang NKRI berdiri, sangat tidak rasional di saat “stabilitas nasional” dibutuhkan.

Selepas “insiden mirip operasi militer 2017” di penghujung tahun 2022, memang menjadi faktor perpecahan disintegrasi paling tinggi di internal Kraton Mataram Surakarta setelah peristiwa “penyerahan kedaulatan politik” pada 17 Agustus 1945. Dan pada periode itu hingga Lembaga Dewan Adat (LDA) menjadi payung hukum dan “pengayom” secara kelembagaan, kraton juga mencapai puncak krisis SDM pengelolaan kerja adat.
Di zaman Sinuhun PB X ada 70-an putra/putri-dalem yang mulai berkurang akibat beda visi dan pandangan “politis” di masa Sinuhun PB XI (1939-1945), tetapi masih lumayan bisa menjalankan kerja adat di zaman Sinuhun PB XII dengan 35 putra/putri-dalem. Tetapi, begitu lahir Bebadan Kabinet 2004 yang ditandai dengan “ontran-ontran Raja Tandingan”, potensi itu terbelah sangat tidak seimbang, dari beberapa sisi.

Dari 35 putra/putri-dalem, hanya 10 putra/putri yang lahir dari “garwa-dalem” Kangjeng Ratu Ageng Pradapaningrum, yang bertahan di kraton menjalankan kerja adat di bawah “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng. Waktu itu, ada tambahan SDM dari keturunan dua “garwa-dalem” lain, yaitu GPH Nur Cahyaningrat yang setia sampai akhir hayat dan GRAy Koes Sapardiyah yang “membelot” di tengah jalan. (Won Poerwono – bersambung/i1)


