Upacara Adat Sesaji Mahesa Lawung Tahun 2024 Masih Jadi Penanda Proses Perdamaian (seri 3 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:November 4, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Upacara Adat Sesaji Mahesa Lawung Tahun 2024 Masih Jadi Penanda Proses Perdamaian (seri 3 – bersambung)
"PERAN PONOROGO" : Riwayat lahirnya "Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung" memberi petunjuk terkait dengan sejarah berdirinya Kraton Mataram Surakarta dan Kota Surakarta serta peran para tokoh dan masyarakat Kabupaten Ponorogo. Maka, beginilah penampilan ritual itu ketika digelar beberapa tahun lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Juga Mengingatkan Pada Sinuhun PB II Sebagai Tokoh Pendiri “Negara” dan “Kota Surakarta”

IMNEWS.ID – DUA nama tokoh sentana-dalem yang masing-masing trah darah-dalem Sinuhun PB V dan PB X (KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro) dan KPP Jhony Sosrodiningrat (trah darah-dalem Patih Sosrodiningrat V dan Patih Sindureja), tak hanya mengusulkan mengganti tanggal Hari Jadi Kota Surakarta yang keliru, tetapi masih banyak yang ingin diluruskan.

Usulan dan harapan dua di antara banyak tokoh dari jajaran “Bebadan kabinet 2004” itu, bahkan menyangkut permintaan mengganti nama-nama jalan penting di dalam Kota Surakarta. Termasuk pula mengganti nama Stadion R Maladi menjadi Stadion Paku Buwana X, karena stadion itu diinisiasi pembangunannya oleh Sinuhun PB X (1893-1939) bukan R Maladi.

“Jadi, jangan nama orang lain yang tidak ada hubungannya dengan sejarah Stadion Sriwedari, lalu dijadikan nama stadion itu. ‘Kan jelas lebih tepat diberi nama tokoh yang menginisiasi pembangunannya saat itu. Apalagi, Sinuhun PB X ‘kan tokoh besar dan Pahlawan Nasional, yang telah berjasa bagi negeri ini, di segala bidang,” tunjuk KPP Nanang Soesilo.

KEPALA KERBAU : Kepala kerbau yang diambil dari kerbau liar atau ” Mahesa Lawung”, yang selalu menjadi simbol ritual “Wilujengan Nagari” yang digelar kraton di dua tempat selama ini. Selesai didoakan di Pagelaran sasana Sumewa, kepala kerbau dibawa menuju hutan Krwendawahana untuk dipendam. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

KPP Nanang Soesilo termasuk sentana-dalem yang paling aktif berkomunikasi dengan iMNews.id membahas tentang sejarah Kraton Mataram Surakarta. Menurutnya banyak data yang tidak ditempatkan atau dihargai sebagaimana mestinya oleh generasi bangsa ini. Masukan, saran dan usulan itu selalu datang di saat kraton menggelar ritual, misalnya Sesaji Mahesa lawung.

Karena banyak masukan, usul dan saran untuk pelurusan sejarah dan penghargaan terhadap jasa-jasa eks “negara” Mataram Surakarta dan para tokoh besar berskala nasional, bahkan internasional yang dilahirkan, maka setiap pelaksanaan upacara adat di kraton, selalu mengingatkan pada banyak hal yang tampak pada setiap pergantian peradaban dan rezim di NKRI ini.

Demikian pula hasil-hasil penelitian dan kajian sejarah yang dilakukan Dr Purwadi, yang secara khusus tentang Mataram dan Mataram Surakarta. Banyak penulisan buku hasil penelitian dan kajian sejarahnya, yang kini sudah lebih 100 judul. Juga penulisan di medsos dan platform internet lainnya, secara detil tokoh demi tokoh penting sejarah Mataram.

SEBELUM MEMENDAM : Ada ritual donga wilujengan dalam beberapa versi di punden-berundak hutan lindung Krendawahana yang dipimpin abdi-dalem juru-suranata RT Irawan Wijaya Pujodipuro. Beberepa wayah-dalem ikut menjalankan ritual pada “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung” yang digelar Kamis Legi, (31/10) lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Bahkan, Dr Purwadi bisa menyajikan hasil penelitian dan kajian sejarah ke dalam naskah artikel yang berwujud tembang Macapat belasan jenis dari tembang “Mijil” sampai “Wirangrong”. Intelektual kampus yang selama 20 tahun terakhir ini banyak menyumbang pemikiran tentang dan untuk kraton dari luar struktur itu, memberi judul tulisannya dengan “Babad”.

Yang terbaru ditulis 1 November 20204 di “blog”nya (Warta bangun Bangsa) berjudul “Babad Sasana Wilapa”, yang melukiskan tugas, tanggungjawab dan kewajiban “Bebadan Sasana Wilapa” bersama tokoh pentingnya (GKR Wandansari Koes Moertiyah). Karya itu disajikan dalam tembang mulai “Dhandhanggula”, “Pangkur”, “Mijil”, “Kinanthi”, “Sinom” hingga genap 11 jenis.

Tembang Macapat yang digunakan untuk melukiskan peristiwa sejarah, jelas meneladani para penulis dokumen sejarah di masa lampau yang banyak dilakukan para “Carik-dalem” (notulen Raja), para Empu dan Pujangga Surakarta. Jenis dokumen inilah yang tak banyak dipahami para penulis sejarah terutama dari luar negeri (asing), juga para penulis dalam negeri.

SAMBIL BERSHALAWAT : Diiringi ucapan shalawat, para abdi-dalem Kebon Darat mulai memendam kepala kerbau di sisi timur punden-berundak tempat upacara “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung” di hutan lindung Krendawahana, Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kamis Legi (31/10) lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Oleh sebab itu, semua jenis upacara adat yang hingga kini masih dijalankan Kraton Mataram Surakarta rutin tiap tahun, jelas berkait dengan banyak peristiwa lain. Sinyal simbol data yang diberikan setiap ritual, bisa didalami atau dieksplorasi melalui data dokumen sejarah lainnya, yang tersaji dalam “Babad” dan diuraikan dalam tembang Macapat.

Dalam penyajian seperti itulah, data sejarah ditinggalkan para tokoh pencatat/penulis dokumen sejarah di masa lalu. Termasuk riwayat Sesaji Raja Wedha yang dimulai Raden Patah atau Sultan Alamsyah Akbar (Raja Kraton Demak) tahun 1414. Melalui riwayat itu pula, tercatat data tentang ritual 100 hari setelah Negara Surakarta berdiri, 17 Sura Tahun Je 1670.

KRT Handi Paningrat selaku abdi-dalem juru-suranata pada zaman Sinuhun PB X jelas menggunakan aksa Jawa dan bahasa Jawa untuk mencatat/menulis setiap data peristiwa sejarah. Apalagi, pada zaman Sinuhun PB II ketika merumuskan desain gagasan besarnya untuk memindahkan Ibu Kota kraton dan mendirikan Ibu Kota “negara” baru Mataram Islam di Surakarta Hadiningrat.

SIAP DIURUG : Setelah mori pembungkus dibuka, kepala kerbau diletakkan di lubang yang digali di sisi timur tempat upacara “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung”, punden-berundak hutan lindung Krendawahana di Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kamis Legi (31/10) lalu. Lubang kuburan kepala kerbau siap diurug. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Isi tembang Macapat di antaranya “Dhandhanggula” yang melukiskan situasi dan kondisi Ibu Kota Mataram Islam di Plered, proses pencarian lokasi baru dan proses pindahnya Kraton Mataram baik ke Kartasura (1645), maupun dari Ibu Kota Kartasura ke Surakarta (1745), adalah fakta dan data sejarah mendekati 100 persen kebenarannya dan sulit terbantahkan.

Karena, tak hanya data angka, hari, tanggal, weton, bulan dan tahun yang dicatat, tetapi juga peristiwa, lokasi dan para tokoh penting (utamanya). Bahkan data dan fakta sejarah yang dicatat dalam tembang, hampir semuanya dilengkapi dengan lukisan suasana (situasi dan kondisi) atmosfer saat peristiwa terjadi atau dicatat, termasuk suasana kebatinan saat itu.

Sebab itu, sebelum ditemukan data-data baru dokumen sejarah khusus kebesaran para tokoh dan jasa-jasanya, baik saat itu dan yang dinikmati saat ini, Dr Purwadi banyak menulis semacam “Buku Putih”. Misalnya Babad Amangkurat Amral, Amangkurat Jawi, Buku dan Babad Paku Buwana II dan sebagainya untuk meluruskan nama kraton dari segala stigma buruk yang diterima. (Won Poerwono – berasambung/i1)