Ujung Tombak Pelestarian Budaya Jawa Berikutnya adalah Organisasi Pakasa
IMNEWS.ID – LEMBAGA Sanggar Pasinaon Pambiwara yang hingga kini sudah berusia 30-an tahun dan sudah melahirkan 40-an angkatan dengan jumlah lulusan sekitar 4 ribuan orang, memang pantas menjadi ujung tombak utama bahkan bisa disebut sebagai pelopor pelestarian Budaya Jawa untuk menjaga kelangsungan Kraton Mataram Surakarta.
Mengenai persoalan wadah para lulusan bernama Pasipamarta yang hingga kini hanya punya 110 anggota yang aktif, tentu karena ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya, yang salah satunya kemampuan manajerial. Tetapi, karena kraton butuh elemen lembaga yang tangguh memenuhi dua hal di atas, maka sanggar dan Pasipamartanya perlu banyak sumbangan pemikiran.
Bila dilihat dari rentang waktu dan luas wilayah beredarnya, Sanggar Pasinaon Pambiwara mungkin lebih dulu dikenal dekat masyarakat dalam wilayah sangat luas, minimal di wilayah etnik Jawa. Karena, dalam kurun waktu 30-an tahun itu, sanggar pernah punya cabang di sejumlah daerah kabupaten seperti Semarang, Tulungagung, Blitar, Malang dan lebih banyak lagi.

Tetapi, cabang-cabang sanggar yang berdiri sebelum tahun 2004 dan yang banyak lahir setelah 2004, banyak di antaranya yang tidak bisa bertahan hingga kini seperti 4 cabang di atas. Realitas perjalanan seperti itu, jelas karena banyak faktor penyebabnya, antara lain terkena imbas “ontran-ontran” di tempat sanggar berpusat, dari 2004 hingga 2017.
Faktor manajerial internal organisasi sanggar di masing-masing cabang, juga sulit diandalkan survival, dedikasi dan soliditasnya, karena rata-rata gabungan dari berbagai figur yang masing-masing membawa kepentingan pribadi/kelompok. Hubungan sinergitas cabang sanggar dengan penguasa lokal dan elemen-elemennya, sering juga menjadi kendala besar.
Terlebih, kalau sikap kekuasaan di tingkat cabang (kabupaten) dan elemen-elemennya tidak peduli dengan nasib Budaya Jawa, bahkan lebih “aware” dengan kegiatan pribadi/kelompok dan justru membuka pintu masuknya “anasir-anasir asing”. Sementara, situasi dan kondisi sanggar di pusat (kraton), juga nyaris tidak baik-baik saja sejak 2004 hingga kini.

Karena melihat realitas kondisi Sanggar Pasinaon Pambiwara dan Pasipamartanya sedang dalam “perjuangan berat”, maka elemen lama organisasi Pakasa yang dimunculkan secara tegas dalam satu dekade terakhir, bisa jadi pendukung/pengganti. Pakasa terkesan didorong menjadi ujung tombak andalan untuk memenuhi 2 hal itu, bahkan bisa tumbuh pesat secara natural.
Pakasa sebenarnya dilahirkan tanggal 29 November 1931, yang akan berulang tahun ke-93 di bulan November tahun 2024 ini. Tetapi, Pakasa yang pernah menjadi tempat belajar berogranisasi menuju pergerakan merintis Kemerdekaan RI misalnya “Budi Utama”, ikut tersisih bersama induknya, Kraton Mataram Surakarta di awal kemerdekaan RI dan pergolakan PKI.
Sejak tahun 2004, Pakasa di tigkat cabang ada beberapa yang aktif kembali namun sudah hampir semuanya meninggalkan ciri-ciri lama sebagai wadah pergerakan. Beberapa Pakasa cabang yang bangkit, menjadi organisasi yang ciri-cirinya baru dalam “garis perjuangan” sekitar pelestarian Budaya Jawa dan untuk menjaga kelangsungan Kraton Mataram Surakarya.

Sama-sama bisa disebut menjadi ujung tombak pelestarian Budaya Jawa untuk kelangsungan kraton, tetapi antara keduanya memiliki perbedaan cara, proses, sifat-sifat dan sebagainya. Sebenarnya, antara keduanya bisa bersinergi dalam proses kinerja yang berkesinambungan dan berkelanjutan, tetapi faktanya hingga kini sulit mencapai kerjasama dalam bentuk itu.
Kini, Pakasa cabang yang sudah terbentuk di 40-an daerah kabupaten/kota di Jatim, Jateng dan Jogja, memiliki profil struktur pengurus organisasi yang sangat bervariasi. Tetapi, punya sifat-sifat yang lebih longgar dan terbuka dibanding lembaga sanggar yang harus punya izin operasional sebagai lembaga pendidikan (jangka pendek) non-akademis.
Karena begitu longgar dan terbukanya lembaga Pakasa cabang, maka target-target capaiannya dan gerak perkembangannya dalam visi dan misi pelestarian Budaya Jawa dan kelangsungan kraton juga sulit diukur. Dalam kebutuhan ini, masih lebih baik Sanggar Pasinaon Pambiwara, meskipun lembaga ini tingkat akomodatifnya rendah bagi masyarakat umum nonsegmen.

Lembaga Pakasa cabang yang lebih terbuka dan sangat akomodatif terhadap masyarakat umum nonsegmen, di satu sisi memang sangat menguntungkan. Terutama untuk percepatan pengembangan internal organisasi, dan penguatan daya dukung legitimatif terhadap pelestarian Budaya Jawa dan kraton. Tetapi di sisi lain, ada banyak hal yang jadi realitas tak menguntungkan.
Realitas yang tidak menguntungkan itu antara lain, keterbukaan menerima SDM abdi-dalem yang akan menjadi “kawula” warga Pakasa cabang dengan tingkat selektivitas yang sangat rendah di satu sisi. Tetapi, di sisi lain kadang ada seleksi yang begitu ketat, hingga tidak masuk akal ketika organisasi induknya dibandingkan dengan lembaga ujung tombak lainnya.
Tetapi ketika dilihat sistem seleksi, persyaratan dan perbandingan yang tidak rasional dalam proses membangun dukungan legitimatif bagi Budaya Jawa dan kelangsungan kraton itu, memang demikianlah adanya. Karena selepas Sinuhun PB XII, kraton memang sudah kehilangan berbagai sumber daya tradisionalnya, dan harus menyusun kekuatan baru demi kelangsungannya. (Won Poerwono-bersambung/i1).