Mataram Surakarta, Kraton Pertama yang Memiliki Legal Standing Dalam Sistem Hukum Nasional (seri 4 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:October 17, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Mataram Surakarta, Kraton Pertama yang Memiliki Legal Standing Dalam Sistem Hukum Nasional (seri 4 – bersambung)
SYARAT UTAMA : Menguasai kemampuan berbicara dalam Bahasa Jawa "krama inggil" adalah syarat utama sekaligus tantangan besar bagi lulusan Sanggar Pasinaon Pambiwara. Karena menjadi pelestari Budaya Jawa dan penjaga kelangsungan kraton, sungguh ironis kalau memberi pidato sambutan dengan media komunikasi selain Bahasa Jawa. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Sanggar” dan Pakasa, Dua Ujung Tombak Berbeda yang Sama-sama Punya Banyak Titik Lemah

IMNEWS.ID – TERLEPAS dari kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam menjalankan fungsi pelestarian Budaya Jawa dan menjaga kelangsungan Kraton Mataram Surakarta, lembaga “Sanggar” (Sanggar Pasinaon Pambiwara) dan lembaga Pakasa cabang bisa menjadi simbol representasi kraton. Tetapi harus jika perjalanannya sampai pada titik tertentu sebagai syaratnya.

Perjalanan sampai pada titik tertentu, dimaksudkan lebih bersifat proses pengenalan sampai level masif hingga menjadi memori publik secara luas, dalam waktu panjang dari generasi ke generasi. Mengapa demikian? Karena dua lembaga ini menjadi ujung tombak yang langsung bersentuhan dengan masyarakat banyak dalam berbagai level, strata dan kelas.

Mungkin ada yang “lolos dari jaring” dua lembaga ujung tombak itu, yaitu masyarakat kelas dan yang “menganggap dirinya bagian dari kasta tertinggi” di alam republik nan-modern ini. Mereka “lolos” dalam arti tidak tertarik masuk ke dalam dua lembaga ujung tombak itu, karena alasan level, kasta, politis dan karena tidak butuh atau merasa “bisa rugi”.

HANYA SEBAGIAN : Walau menjadi potensi utama pelestari Budaya Jawa dan penjaga kelangsungan Kraton Mataram Surakarta, tetapi masyarakat adat yang berkumpul dalam upacara adat ini hanya sebagian dari semua strata sosial dan strata adat dalam masyarakat adat yang riil diharapkan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Satu alinea di atas adalah ilustrasi seri ini, dan bisa menjadi tema bahasan menarik pada kesempatan lain. Tetapi realitas sosial masyarakat etnik Jawa yang tersebar di wilayah lebih luas lintas pulau, di dalamnya ada individu atau kelompok yang memiliki anggapan dan ciri-ciri seperti itu. Bahkan, di wilayah lingkaran terdekat basisnyapun, juga ada.

Tetapi intinya, lembaga “sanggar” maupun Pakasa (cabang) bisa menjadi ujung tombak pelestari Budaya Jawa yang efektif dan bisa menghasilkan capaian besar. Baik ketika bisa berjalan normal secara terpisah, apalagi bisa bersinergi dan berbagi porsi untuk “menjaring” potensi masyarakat pelestari Budaya Jawa sebanyak-banyaknya dalam segala tingkatan.

Namun, realitas yang ada mungkin tidak seperti itu dan sulit bisa menjadi seideal itu. Karena lembaga Kraton Mataram Surakarta dan lembaga pengelolanya kini sedang menghadapi paradigma baru. Yaitu paradigma yang muncul dalam beberapa periode mulai tahun 1945, 2004, insiden 2017 dan setelah kraton memiliki legal standing dalam sistem hukum nasional.

PUNYA BEKAL : Putra mahkota KGPH Hangabehi sudah punya bekal bergaul dengan beberapa elemen masyarakat adat yang akan menjadi ujung tombak pelestari Budaya Jawa dan penjaga kelangsungan kraton, jika kelak memimpin masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta ini. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Jadi senyatanya, harapan dan praktik nyata yang riil agar Budaya Jawa tetap lestari untuk memperpanjang usia Kraton Mataram Surakarta secara langsung dan tidak langsung, hanya terjadi atau dimiliki masyarakat Jawa strata, level dan kelas menengah ke bawah. Meskipun, ada beberapa di antara kelas menengah ke atas, tetapi jelas bukan dari level elit.

Masyarakat Jawa dan keturunannya yang tinggal di wilayah etnik Jawa apalagi jauh di luar itu, masih bisa dikategorikan lagi ke dalam beberapa bagian di antaranya para penganut “republiken”, keturunan trah keluarga besar “Bupati Semarang” dan sebagainya. Para penganut “republiken” inilah yang selama ini tidak menghendaki adanya Budaya Jawa dan kraton.

Walau masih ada beberapa tokoh dari keturunan Jawa level dan strata elit, apalagi penganut “republiken”, bisa dipastikan hanya untuk keperluan sesaat. Mereka berada di lingkungan Budaya Jawa dan kraton, karena punya kepentingan politik, hanya numpang tenar, mencari panggung dan sebagainya, apalagi punya jabatan di berbagai lembaga di segala tingkatan.

DAYA PIKAT : Pakasa Cabang Ponorogo (Jatim) dengan keelokan potensi seni budayanya terutama Reog, adalah elemen daya pikat potensi pelestari Budaya Jawa dan penjaga kelangsungan kraton. Simbol dan cirikhas sebagai syarat baku Budaya Jawa, masyarakat adat dan kraton diharapkan tetap terjaga di lingkungan itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dengan melihat anatomi strata sosial dan strata adat masyarakat adat demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa hanya masyarakat adat keturunan Jawa, apalagi yang memiliki trah keturunan darah-dalem para Dinasti Mataram atau leluhur Dinasti Mataram, yang bisa diharapkan menjadi potensi riil pelestari Budaya Jawa dan penjaga kelangsungan kraton.

Tetapi dari antara mereka itu, masih dikurangi figur dan kelompok yang punya ciri-ciri di atas yang tidak bisa menjadi potensi riil pelestari budaya dan penjaga (kelangsungan) kraton. Jadi, “jaring” yang dibentang Sanggar Pasinaon Pambiwara dan Pasipamartanya, juga semua Pakasa cabang, hanya akan menyasar strata sosial dan kasta adat yang tersisa.

Dengan potensi pelestari budaya dan penjaga kelangsungan seperti itu, tentu akan menjadi tantangan besar bagi Kraton Mataram Surakarta secara kelembagaan dan berbagai kegiatan adatnya di satu sisi, kemudian juga bagi Budaya Jawa di sisi lain. Karena, kedua elemen ujung tombak itu memiliki banyak titik lemah yang berbeda tetapi sama-sama merugikan.

TANTANGAN BERAT : Potensi kekuatan pelestari Budaya Jawa dan penjaga kelangsungan kraton yang selama ini diperankan “sanggar” dan Pakasa, akan semakin menghadapi tantangan berat ke depan. Karena, ada strata sosial dan strata adat level elit yang kecil kemungkinannya mau bergabung. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Merugikan bagi upaya penjaringan melalui ujung tombak Sanggar Pasinaon Pambiwara karena banyak keterbatasan yang bisa dijangkau, terutama dalam soal jumlah (kwantitas) dan level pemimpin (kualitas). Untuk “berserikat” dalam organisasi Pasipamartapun seperti para guru, pamong desa/kelurahan, ASN, juru pranatacara “pro”, pekerja dan sebagainya sudah sulit.  

Ujung tombak Pakasa di tingkat cabang yang diharapkan lebih terbuka dan akomodatif terhadap masuknya anggota dengan standar seleksi sangat rendah, juga ada sisi tantangan beratnya. Karena, kesibukan berbagai latar-belakang profesi yang mereka miliki, tentu sulit diharapkan partisipasinya secara full time, apalagi daya dukung kualitas SDM-nya yang minim.

Salah satu yang akan terasa menjadi tantangan riil ke depan yang harus diatasi, adalah meniminya penguasaan media komunikasi yaitu Bahasa Jawa terutama “krama inggil”. Elemen ini menjadi cirikhas sekaligus simbol utama masyarakat adat Mataram Surakarta, yang mutlak harus dikuasai sebagai kemampuan baku dalam kaidah bahasa yang baik dan benar. Bisakah?.
(Won Poerwono – bersambung/i1)