Tokohnya Ada di Antara Sekotak Wayang KK Jimat Saat Ritual “Ngisis Ringgit” Digelar
SURAKARTA, iMNews.id – Tema judul atau lakon dalam seni pertunjukan wayang kulit di luar kitab Maha Bharata dan Ramayana versi adaptasi para Empu dan Pujangga Jawa, ternyata sudah ada hampir bersamaan atau menyusul kemudian setelah para tokoh wayangnya dibuat. Beberapa lakon di antaranya, adalah “Petruk Dadi Ratu” dan “Bagong Dadi Ratu”.
Anak wayang tokoh “Bagong” bermahkota sebagai “Raja” itu, didapati di antara sekumpulan anak wayang kelompok “Dewa” atau “Kadewatan” yang dikeluarkan dari kotaknya, dalam ritual “ngisis ringgit”, Selasa Kliwon (15/10), siang tadi. Di ruang “gedhong” Sasana Handrawina, Ki KRT Gatot Purnomo Adicarito memajang sejumlah anak wayang pada gawang “simpingan” kecil.
Sedikitnya ada 10 orang abdi-dalem dalang termasuk Ki KRT Rawang Gumilar, Ki MNg Fregy, Ki MNg Willy selain Ki KRT Gatot Purnomo yang dikoordinasi Ki KRT Suluh Juniarsah selaku “tindhih ngisis ringgit”. Karena yang dikeluarkan sekotak wayang Kangjeng Kiai (KK) Jimat, maka waktunya diambil Selasa Kliwon atau Anggara Kasih dan semua petugasnya harus berseragam.

Para abdi-dalem yang bertugas “ngisis ringgit” isi kotak wayang KK Jimat pada weton Anggara kasih, siang tadi, semuanya berseragam beskap warna gelap (coklat tua). Sudah menjadi aturan adat baku, untuk para abdi-dalem yang bertugas “ngisis ringgit” level “KK”, harus mengenakan busana “Jawi jangkep” dengan seragam warna putih atau gelap (hitam/coklat).
Pada ritual “ngisis ringgit” siang tadi tidak terlihat banyak abdi-dalem lain yang biasanya sampai berjumlah belasan orang. Sementara itu, dari unsur Bebadan Kabinet 2004, selain Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA) yang datang belakangan, hanya tampak KP Purwo Tariwinoto (Sekretaris) dari unsur lembaga Kantor Pengageng Mandrabudaya.
Ritual yang mulai membuka kotak wayang KK Jimat pukul 10.00 WIB lebih di ruang “gedhong” Sasana Handrawina, satu persatu “eblek” atau sekat tempat menata anak wayang dikeluarkan dari kotak oleh sedikitnya dua orang. Sebelum disampirkan menggantung di seutas tambang yang diberi alas mori putih panjang, satu persatu anak wayang dikuas di atas merja.

Setidaknya ada tiga tambang penggantung yang terhubung di emnpat “saka guru” ruang Sasana Handrawina, menjadi tempat “ngisis” atau mengangin-anginkan anak wayang. Begitu pula, di sekitar kotak wayang juga terdapat empat tempat untuk memajang dan menggelar anak wayang, di antara dua gawang kecil untuk menata anak wayang mirip sedang “disimping”.
Ritual “ngisis ringgit”, adalah bentuk upacara adat untuk merawat anak wayang, baik untuk mendapatkan udara bebas agar terhindar dari jamur, dibersihkan secara langsung dengan kuas debu yang menempel serta memerikasa anak wayang satu-persatu jika ada kerusakan. Dan siang tai, ketiga jenis kegiatan itu semua tampak di ruangan Sasana Handrawina.
Ada hal yang menarik dari ritual “ngisis ringgit” kotak KK Jimat, siang tadi. Karena, Ki KRT Gatot Purnomo mendapati tokoh “Bagong” yang menjadi satu dengan para tokoh “Dewa” atau “Kadewatan”. Tetapi, tokoh “Bagong” yang ikut dipajang berdiri atau “diisis” itu, “Bagong” yang mengenakan mahkota seperti “Raja” yang dalam pewayangan disebut “Ratu”.

Tokoh “Bagong” juga sempat diperiksa Ki KRT Suluh Juniarsah, yang menurutnya merupakan bagian dari kotak wayang KK Jimat, satu di antara beberapa karya besar pada zaman Sinuhun PB IV (1788-1820). Juga dijelaskan, bahwa tokoh “Bagong” bermahkota, hanya keluar dalam pentas wayang dengan lakon “Bagong Dadi Ratu”, yang tentu hanya digelar di dalam kraton.
Tokoh anak wayang “Bagong” yang terdapat dalam kotak KK Jimat, bisa diasumsikan diproduksi pada waktu yang hampir bersamaan dengan para tokoh lain sekotak, yaitu pada zaman Sinuhun PB IV jumeneng nata. Tokoh “Bagong” dengan mahkota yang hanya mungkin dikeluarkan dalam lakon “Bagong Dadi Ratu”, juga dimungkinkan disertai penciptaan naskah lakonnya.
“O… betul mas. Naskah lakonnya yang termasuk carangan, ada di Museum Radya Pustaka (Taman Sriwedari). Jadi, naskah lakon-lakon carangan itu sudah lama diciptakan. Contohnya, Bagong Dadi Ratu dengan gelar Prabu Jaka Pathakol. Lalu naskah Petruk Dadi Ratu yang bergelar Prabu Bel-Geduwel atau Thong-thong Sot,” ujar KRT Suluh Juniarsah menjawab iMNews.id.

Ki KRT Suluh Juniarsah membenarkan, selain lakon-lakon baku yang diadaptasi para Empu dalang dan Pujangga Jawa misalnya Serat Pustaka Raja Purwa dari kitab Mahabharata dan Ramayana, lakon-lakon non-baku hasil karangan yang disebut “lakon Carangan”, juga hampir semuanya karya para Empu dan Pujangga Jawa, seperti RNg Ranggawarsita.
Namun, yang didapat Ki KRT Suluh Juniarsah dari ritual “ngisis ringgit” KK Jimat, siang tadi, memang tokoh “Bagong” bermahkota. Sedang tokoh-tokoh yang mewakili sejumlah “lakon Carangan” lainnya, sangat mungkin ada di kotak wayang lain. Seperti misalnya kotak wayang Kiai Dagelan, yang di dalamnya ada tokoh “Petruk” bermahkota untuk lakon “dadi ratu”.
Peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja, Dr Purwadi yang ikut menyaksikan ritual “ngisis ringgit”, siang tadi sempat tersenyum mendengar lakon “Petruk Dadi Ratu”. Lakon itu mirip situasi dan kondisi saat ini yang hampir memasuki “Pathet Sanga”. Tetapi Petruk Dadi Ratu yang dibahas itu bukan Ratu yang baik, melainkan “Ratu Brahala yang merusak”. (won-i1)