Sanggar Pasinaon Bisa Ditingkatkan ke Jenjang Pendalaman dan Penghayatan Agar Tuntas
IMNEWS.ID – MASIH banyak hal yang berada di lingkungan pembelajaran Budaya Jawa yang menjadi aset pengetahuan intangible sekaligus jadi perilaku keseharian masyarakat adat khususnya di kraton, bisa dijumpai di luar kraton. Di lingkungan pendidikan formal dalam berbagai tingkatan, pengetahuan seperti itu tidak mungkin sudah tidak dikenal sejak lama.
Tetapi, Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta yang sudah berjalan 30 tahun lebih sejak 1993, kini perlu dipertimbangkan peningkatan dan pengembangannya. Karena, perubahan sosial kehidupan modern telah mendegradasi kualitas pemahaman terhadap Budaya Jawa sampai pada level tipis, bahkan menjadikan sudah tidak mengenal sama sekali “Jawanya”.
Oleh sebab itu, sebagai ujung tombak pelestarian Budaya Jawa untuk mencapai sasaran level para “sutresna” budaya saja, sepertinya tidak cukup dengan program pembelajaran sanggar yang hanya 6 bulan itu. Karena, proses belajar-mengajar yang hanya 2-3 kali bertemu tiap minggunya selama 6 bulan, mungkin hanya cukup untuk mengenal pengetahuan “elementary” saja.

Untuk mengejar penurunan pengetahuan dasar (elementary) Budaya Jawa yang sangat dahsyat dalam tiga dekade terakhir, perlu ditingkatkan program pembelajarannya menjadi sedikitnya dua periode. Periode petama (6 bulan) bisa dilanjutkan periode kedua yang sifatnya pendalaman/penghayatan, tetapi bisa ditempuh secara luwes, bisa berjarak, tak perlu beruntun.
Tugas Sanggar Pasinaon Pambiwara ini sangat vital dan mendasar sebagai ujung tombak pelestari Budaya Jawa, mengingat situasi dan kondisinya kini tergolong “kritis”. Sebagai ilustrasi ringan, ada contoh yang melukiskan betapa Budaya Jawa sudah kritis atau bahkan sudah tidak dikenal masyarakat di wilayah etnik Jawa yang notabene di Jateng, Jatim dan Jogja.
Jangankan anak-anak usia SD hingga SMA, generasi usia 30-an tahun, bahkan 40-an tahun, sudah tidak bisa menggunakan Bahasa Jawa lisan maupun tertulis secara benar seusai kaidahnya. Ini bisa menjadi ironi kalau “kesalahan” ber-Bahasa Jawa secara lisan (krama inggil) dan tertulis, juga terjadi di kalangan “para lulusan” Sanggar Pasinaon Pambiwara.

Buati Demak (2019-2024), Bupati Sidoarjo (Jatim) dan Bupati Jepara yang menjabat sekitar tahun 2021 pernah mengeluh mengenai situasi dan kondisi masyarakatnya yang sudah tidak mengenal nilai-nilai budayanya sendiri. Keluhan ini, sangat mungkin untuk melukiskan semua generasi masyarakatnya yang sudah tidak mengenal Budaya Jawa, terutama nilai etikanya.
Jangankan ketiga Bupati yang rata-rata wilayahnya jauh dari Kraton Mataram Surakarta sebagai sumbernya Budaya Jawa, Bupati Klaten Sri Mulyani yang wilayahnya berbatasan dengan Kota Surakarta, juga punya keluhan yang sama. Di sebuah acara yang digelar pendapa kabupaten, dia mengeluhkan kehidupan sosial masyarakatnya yang semakin jauh dari Budaya Jawa.
Pengakuan jujur juga diberikan KRA Panembahan Didik “Alap-alap” Gilingwesi Hadinagoro (Ketua Pakasa Cabang Kudus), yang beberapa kali dihubungi iMNews.id saat menggelar kegiatan kirab mengangkat tema besar “Mbah Glongsor”, tahun 2022-2024. Dia terus-terang akan berjuang mengenalkan kembali Budaya Jawa, karena masyarakat Kudus sudah tidak mengenalnya.

Bila mendengar keluhan beberapa figur Bupati dan juga ungkapan terbuka Ketua Pakasa Kudus, sebenarnya kini nasib Budaya Jawa menyedihkan. Situasi dan kondisinya kurang lebih sama dengan peradaban Mataram yang pernah melahirkan, dan Mataram Surakarta yang telah 279 tahun merawatnya. Siapa tahu, kebangkitan kraton dalam satu dekade ini juga memberdayakannya.
Keluhan para Bupati dan Ketua Pakasa Kudus itu layak jadi beban moral lembaga Sanggar Pasinaon Pambiwara, apalagi bagi lembaga di atasnya yang bertanggungjawab merawat peradaban. Tetapi, Pengarsa Sanggar Pasinaon Pambiwara (KPH Raditya Lintang Sasangka) sudah tegas menyatakan, bahwa lembaga sanggar yang dipimpin dan Pakasa, adalah dua hal berbeda.
Pernyataan ini benar dalam konteks teori manajemen organisasi yang sama-sama diberi kekebasan untuk berkembang maju, sesuai visi dan misinya. Tetapi, kurang tepat dalam upaya dan “berjuang” bersama atau bersinergi dengan baik untuk menjalankan visi dan misi pelestarian Budaya Jawa, karena sanggar pambiwara dan Pakasa cabang adalah ujung tombak.

Sanggar pambiwara dan Pakasa cabang, adalah sama-sama ujung tombak pelestari Budaya Jawa. Bahkan termasuk elemen milik Lembaga Dewan Adat lainnya, seperti organisasi Putri Narpa Wandawa, Sanggar Paes & Tata-Busana, Sanggar Pawiyatan Dalang dan Sanggar Pawiyatan Beksa. Semua elemen ini, punya fungsi dan tugas sebagai ujung tombak pelestari Budaya Jawa.
Selain beberapa elemen itu, Kraton Mataram Surakarta masih punya satu elemen yang lahir dari sanggar pambiwara yang bernama Pasipamarta yang kini diketuai KP Siswanto Adiningrat (Wakil Pengageng Sasana Wilapa). Elemen itu punya 110 anggota dari 4 ribuan lulusan 40 angkatan tahun 1993-2024, sebulan sekali bertemu dan kini sudah berjalan 24 tahun.
Mungkin saja, di setiap pertemuannya dibahas berbagai persoalan yang menyangkut nasib Budaya Jawa di atas, juga termasuk pemikiran-pemikiran untuk mengatasinya. Tetapi, kalau sanggar pambiwara dan Pakasa sudah ditegaskan sebagai dua hal berbeda yang terpisah, ini menjadi sia-sia kalau diharapkan menjadi ujung tombak untuk memperbaiki nasib Budaya Jawa. (Won Poerwono-bersambung/i1)