Pamong Makam dan Pakasa Cabang Masih Perlu Banyak Dialog Untuk Kelola Event Haul yang Ideal (seri 5-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:October 3, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Pamong Makam dan Pakasa Cabang Masih Perlu Banyak Dialog Untuk Kelola Event Haul yang Ideal (seri 5-bersambung)
MENJADI KIBLAT : Pengelolaan kerja ritual haul di makam Ki Ageng Ngerang yang didukung prajurit Kraton Mataram Surakarta dan pengurus Pakasa Cabang Pati, akan menjadi kiblat para pengurus makam dan pengurus Pakasa cabang di daerahnya. Walaupun, kerja ritual mereka masih banyak yang dievaluasi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pakasa Harus Menjadi Subjek Untuk Mewujudkan Kerja Pelestarian Budaya

IMNEWS.ID – KALAU melihat skema kerja ritual haul yang digelar di setiap makam tokoh leluhur Dinasti Mataram dengan studi kasus di Kabupaten Pati, maka bisa diperkirakan kalangan pamong makam atau yayasan trah pengelola dan sebuah panitia tetap yang dibentuk, telah menjadi kombinasi subjek penggeraknya. Kerja ritualnya, akan menjadi objek kerja.

Pada perkembangan berikutnya ketika lembaga Kraton Mataram Surakarta terutama melalui Lembaga Dewan Adat sebagai representasinya, hadir menjadi elemen penting yang ikut membentuk format kerja ritual. Di situ, kehadiran kraton memberi elemen estetika dan etika yang sudah terwujud dalam kirab budaya dan tatacara ritual haul sesuai cirikhas Mataram Islam.

Tak hanya bentuk tatacara ritual dan memberi elemen estetika dan etikanya, kehadiran kraton juga menjadi payung besar yang mengayomi lokasi makam dan masyarakat adat yang memeliharanya. Karena, kraton memberi rekomendasi soal keberadaan makam yang berkait dengan Dinasti Mataram, yang pada gilirannya bisa menjadi dasar legalitas makam sebagai cagar budaya.

LOKASI PEMBANDING : Pengelolaan kerja ritual haul di makam Ki Ageng Wot Sinom yang menjadi tetangga (kecamatan) sama-sama di Kabupaten Pati, bisa menjadi lokasi pembanding dalam hal kerjasama kemitraan antara berbagai elemen sentral di tempat. Kerja mereka juga akan menjadi pembanding dan kiblat bagi yang lain. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ketika keberadaan makam sudah dicatat oleh lembaga dinas atau satuan kerja di lingkungan Pemkab, maka keberadaannya mendapat perlindungan hukum sah sebagai cagar budaya dan destinasi wisata. Baik untuk wilayah setempat, regional maupun nasional. Pemerintah setempat juga bisa diajak bekerjasama menggerakkan fungsi-fungsi yang memberi manfaat secara luas.

Karena makam bisa memiliki banyak fungsi positif dan memberi banyak manfaat seluas-luasnya, maka keberadaan masyarakat adat terutama yang memelihara di antaranya juru-kunci makam, juga mendapatkan semacam sertifikat sebagai landasan tugas. Anggota masyarakat adat lainnya, termasuk pamong makam atau pengurus yayasan, juga bisa mendapatkan tanda pengesahan.

Tanda pengesahan dari kraton sebagai bagian masyarakat adat, tentu berupa pemberian gelar sesebutan secara proporsional sesuai bidang tugas dan pengabdiannya. Sampai di sini, subjek kerja ritual dan obek kerja ritualnya bisa mewujud sudah jelas. Tetapi, ada satu kerja ritual yang menyangkut unsur pelestarian budayanya yang menjadi salah satu mitra penting.

“TAK BERTUAN” : Karena pengurus Pakasa cabang yang vakum atau pasif, kerja ritual haul Ki Ageng Sela di kompleks makamnya di Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan yang didukung penuh Kraton Mataram Surakarta sebagai induk pengayomnya secara kelemnbagaan, seperti terjadi di tempat “tak bertuan”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kerja pelestarian budaya (Jawa) dalam rangka menjaga kelangsungan Kraton Mataram Surakarta sebagai payung besar dan lembaga induk pengayom serta sumbernya budaya, menempatkan organisasi Pakasa sebagai mitra subjek dan objek ritual yang posisinya sangat penting. Pakasa cabang sebagai tangan panjang kraton akan menjadi mitra yang ideal untuk kerja ritual.

Bahkan, karena kerja ritual haul sudah meningkat menjadi sebuah event yang memanfaatkan perangkat-perangakat modern, maka Pakasa cabang harus mampu mengimbanginya. Komposisi kepengurusan Pakasa cabang, harus bisa menyesuaikan kebutuhan dan tantangannya, yaitu tuntutan pelestarian budaya (Jawa) melalui kemasan ritual haul, demi kelangsungan kraton.

Skema rumusan kerja ritual haul ini memang merupakan produk dinamika sosial, budaya, ekonomi dan sebagainya yang terus berkembang. Walau landasannya adalah paugeran adat yang berasal dari Kraton Mataram Surakarta dan budaya Jawa yang bersumber dari situ, tetapi format kemasan ritual haul bisa menyesuaikan kebutuhan dan perubahan zaman.

TAK JELAS : Makam Ki Ageng Butuh atau Sultan Hadiwijaya di Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen ini, sudah beberapa kali menggelar haul. Tetapi, kerja ritual haul sebagai event yang lebih maksimal, belum bisa terwujud karena kepengurusan Pakasa Cabang Sragen yang tak jelas, walau kraton sudah banyak turun tangan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dengan melihat skema dan contoh-contoh perwujudan pelaksanaan kerja ritual haul dengan studi kasus di Kabupaten Pati, tentu menjadi contoh yang baik dan jelas untuk diambil manfaatnya bagi subjek kerja ritual di objek ritual makam lainnya. Kerjasama kemitraan para subjek kerja ritualpun, bisa dibandingkan untuk diadaptasi di daerah masing-masing.

Sebaran para tokoh leluhur Dinasti Mataram dimulai sejak Kraton Demak (abad 15), memang sangat luas. Tidak hanya di wilayah Jateng yang menjadi wilayah munculnya kraton-kraton yang dimotori para tokoh keturunan Raja Majapahit Prabu Brawijaya V, tetapi juga menyebar sampai di (kini) wilayah DIY), Jabar (khususnya Cirebon) dan wilayah Jatim.

Namun, Kabupaten Pati mendapat keniscayaan menjadi pelopor di bidang kerja ritual haul, atas dasar jumlah makam dan frekuensi ritual haul yang digelar tiap tahunnya. Rata-rata, para tokoh yang bersemayam di wilayah kabupaten itu, adalah anak-cucu Prabu Brawajiaya V, yang melakukan perjalanan ke segala arah yang luas untuk survive dan syi’ar agama.

BELUM ADA : Ritual haul di makam Bupati Pamekasan Adipati Tjakraningrat (mertua Sinuhun PB IV) di Desa Kholpajung, Kecamatan Kota, Kabupaten Pamekasan (Madura) Jatim, sudah beberapa kali digelar haul oleh Kraton Mataram Surakarta. Masyarakat sekitar lambat-laun mulai tertarik, walau sama sekali belum ada pengurus Pakasa cabang. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Oleh sebab itu, kerja ritual haul bisa terwujud dengan berbagai elemen yang banyak mirip antara yang digelar di semua makam di Kabupaten Pati, dengan makam yang ada di Kabupaten Kudus, Jepara, Demak, Grobogan, Blora, Sragen lalu Kabupaten  Ponorogo, Trenggalek dan wilayah di Provinsi Jatim lainnya. Karena, sebaran para tokoh itu sealur di wilayah itu.

Begitu juga, format kerja ritual yang muncul di Astana Pajimatan Tegalarum, Kabupaten Slawi/Tegal yang inisiasi dan motor penggeraknya justru di tangan Kraton Mataram Surakarta. Selain Astana Pajimatan Imogiri, Bantul, DIY yang sudah punya format baku, munculnya kerja ritual haul di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Magelang tentu ada kaitannya.  

Kerja ritual haul juga bisa lebih luas lagi bersama Pakasa sebagai subjek kerja ritual, karena pengurus Pakasa cabang sudah terbentuk di objek ritual makam dan petilasan lain, misalnya di Kabupaten Klaten dan Boyolali. Begitu pula di Kabupaten Blitar, Trenggalek dan Ponorogo yang punya makam Bathara Katong, petilasan “Sinuhun Kumbul” dan “Grebeg Suro”. (Won Poerwono-bersambung/i1)