Belum Ada Satupun Makam yang Bisa Dijadikan Panduan Standar Pengelolaan Event Haul
IMNEWS.ID – DARI sejumlah titik lokasi makam tokoh leluhur Dinasti Mataram di Kabupaten Pati (iMNews.id, 27/9) yang tergolong favorit karena tertinggi jumlah kunjungan peziarahnya, sebenarnya terhitung paling banyak lokasinya dibanding daerah-daerah lain. Misalnya yang dimiliki Kabupaten Jepara, Kudus dan Demak yang berada di satu kawasan gunung Muria.
Di Kabupaten Pati masih punya beberapa lokasi makam leluhur Dinasti Mataram, yang urutan jumlah peziarahnya ada di bawah sejumlah makam yang favorit di atas. Khususnya yang terjadi di saat menggelar event haul dalam rangka peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, seperti yang digelar di makam Ki Ageng Ngerang selama lima hari, 20-24 September itu.
Beberapa lokasi makam itu adalah Desa Watesaji, Kecamatan Pucakwangi yang menggelar haul wafat Pangeran Benawa I, di Desa Maitan, Kecamatan Tambakromo yang menggelar haul Nyi Mas Rara Kuning, makam di Desa Wotan, Kecamatan Sukolilo yang menggelar haul Raden Ayu atau Mbah Buyut Sriyah. Mungkin masih ada lagi makam leluhur yang belum banyak diziarahi.
Makam yang belum banyak diziarahi, selain karena belum dikenal/diketahui lokasi makamnya, juga mungkin karena baru mulai menggelar ritual haul dan lokasinya sulit dijangkau. Misalnya makam Pangeran Benawa I yang sulit dijangkau dengan berbagai jenis kendaraan, karena lokasinya di puncak bukit, di tengah hutan jati dan kondisi jalannya masih rusak.
Dari sejumlah lokasi makam leluhur Dinasti Mataram di atas, disebutkan KRAT Mulyadi Puspopustoko (Ketua Pakasa Cabang Pati) adalah bagian yang sudah dicatat resmi oleh Pemkab Pati sebagai lokasi wisata religi. Masih ada sejumlah lagi yang belum didaftarkan ke Pemkab, karena belum mendapatkan semacam rekomendasi dari Kraton Mataram Surakarta.
Meski begitu, jumlah makam yang dimiliki dan terdaftar di Kabupaten Pati dan mulai populer diziarahi publik secara luas, masih lebih banyak dibanding yang dimiliki Kabupaten Kudus, Jepara dan Kabupaten Demak. Pati lebih unggul dibanding daerah “tetangganya”, walau formasi hubungan antara pamong makam, Pakasa cabang dan “panitia tetap” ideal dan harmonis.
Dari penjelasan KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro (Ketua Pakasa Cabang Kudus), Kabupaten Kudus juga punya banyak makam yang berkait dengan sejarah Sunan Kudus dan Sunan Muria. Tetapi, makam trah Sunan Kudus dan Sunan Muria sudah diurus langsung pamong bentukan sebuah yayasan, yang incomenya “luar biasa fantastik” dari haul yang digelar.
Sedangkan makam yang berkait langsung dengan tokoh leluhur Dinasti Mataram, misalnya Bupati Kudus mulai dari zaman Kraton Demak (abad 15), berada di kompleks taman makam Sunan Kudus, Menara Kudus dan Masjid Kudus. Makam yang berkait dengan Dinasti Mataram di luar itu, hanya makam Pangeran Puger yang juga sudah total diurusi pamong trah keluarga.
“Pakasa Cabang Kudus ‘kan termasuk baru. Makam Sunan Kudus dan Sunan Muria sudah lama diurusi yayasan dan punya haul. Karena sudah berjalan, tidak butuh kerjasama dengan Pakasa. Begitu pula, makam Pangeran Puger. Semula mengajak dialog, tetapi sudah tidak ada kelanjutannya. Mungkin juga sudah tidak butuh Pakasa,” ujar KRA Panembahan Didik menjawab iMNews.id.
Kalau dilihat dari urutan terbangunnya sinergitas kerjasama mengurus ritual haul makam leluhur Dinasti Mataram, maka Kabupaten Pati dan Pakasa cabang setempat bisa disebut menjadi pelopor. Giliran berikutnya adalah Pakasa Jepara, baru kemudian Pakasa Kudus dan Pakasa Demak, walau kepengurusan Pakasa di Kabupaten Demak hingga kini tak jelas rimbanya.
Walau Kabupaten Pati disebut sebagai pelopor sinergitas pamong makam dan pakasa cabang dalam menggelar ritual haul, tetapi, hingga kini belum ada satupun makam yang bisa dijadikan panduan standar pengelolaan event ritual haul tokoh leluhur di situ. Pengelolaan event haul Ki Ageng Ngerang sekalipun yang paling populer, juga belum ideal dan harmonis.
“Haul Sunan Kudus, mungkin paling besar eventnya dibanding ritual haul yang digelar di makam-makam tokoh lainnya. Baik macam-ragam acaranya, juga tingkat jumlah kunjungan peziarahnya. Di luar musim ziarah, misalnya haul Sunan Kudus dan hari besar Maulud Nabi Muhammad SAW, seminggunya bisa meghasilkan Rp 500-an juta,” ujar KRA Panembahan Didik.
Melihat income dari kotak amal yang terpasang di semua titik lokasi di kompleks Taman Makam Sunan Kudus, Menara Kudus dan Masjid Kudus yang jumlahnya sefantastik itu, benar saja yayasan pengurus makam dan pamong makam menjadi resisten terhadap hadirnya pihak lain seperti pakasa cabang. Karena, mungkin khawatir incomenya akan terbagi atau berkurang.
Hal serupa, bisa saja melatar-belakangi batalnya rencana dialog antara pengurus makam Pangeran Puger dengan Pakasa Cabang Kudus, beberapa waktu lalu. Padahal, KRA Panembahan Didik bersama pengurus Pakasa cabang, ingin mendorong pengurus makam menggelar ritual haul dengan sentuhan seni budaya Mataram Surakarta, agar incomenya semakin meningkat.
Kekhawatiran serupa, agaknya juga dialami kalangan yayasan pengurus makam, pamong dan panitia tetap haul di sejumlah lokasi makam di Kabupaten Pati, Jepara dan juga di Kabupaten Demak. Tetapi, sikap resisten dan khawatir itu bisa hilang kalau diawali niat jujur dan terbuka untuk berdialog dan berdiskusi, untuk mencari titik temu dan kesepakatan. (Won Poerwono-bersambung/i1)