Sinuhun PB XII Berdiri di Belakang Republik Mendukung Kemerdekaan, Mewujudkan Rintisan Leluhurnya
IMNEWS.ID – HARI ini, tepat tanggal 17 Agustus dan sudah genap 79 tahun usianya sejak peristiwa Proklamasi Kemerdekaan RI pada tahun 1945. Bangsa yang terwadahi dalam NKRI dari Sabang sampai Merauke, dari pulau Miangas hingga pula Rote, bersuka-cita dalam berbagai kegiatan memperingati peristiwa lahirnya sebuah negara yang berisi bangsa di Nusantara itu. .
Peristiwanya satu, yaitu lahirnya NKRI pada tanggal 17 Agustus 1945 itu. Tetapi, kesan dan perasaan bisa berbeda di antara semua yang telah bersepakat disebut bangsa Indonesia, dalam NKRI itu. Karena faktanya, sebelum ada NKRI ada lebih dari 250 kesatuan masyarakat adat atau kraton, kesultanan, kedatuan dan pelingsir adat yang tersebar di Nusantara.
Maka selanjutnya, peristiwa 17 Agustus 1945 bisa dimaknai terjadinya sebuah peristiwa proklamasi kemerdekaan, yang tentu dimulai dari sebuah proses perintisan oleh banyak tokoh di berbagai tempat atau wilayah di Nusantara ini. Berikut, proses rintisan hingga mencapai puncak pada 17 Agustus 1945 itu, terjadi di banyak wilayah yang ada di Nusantara ini.
Ada dua makna penting dalam peristiwa 17 Agustus 1945, yaitu (pertama) sebuah proses gerakan perintisan menuju puncak proklamasi kemerdekaan dan (kedua) terjadi di sejumlah atau berbagai wilayah yang ada di Nusantara ini. Dengan demikian bisa dimaknai, bahwa peristiwa itu lahir oleh aktivitas manusianya, yang menghuni berbagai atau sejumlah wilayah itu.
Aktivitas dalam proses perintisan yang terorganisasi hingga mencapai puncak, bisa disebut dengan “gerakan” menuju kemerdekaan RI. Gerakan itu bisa disebut sebagai cara untuk membebaskan suatu wilayah, dari pendudukan orang atau pihak lain, yang dianggap tidak mempunyai hak untuk berada atau menduduki/tinggal di suatu wilayah tertentu di Nusantara.
Sedangkan sejumlah atau berbagai wilayah yang dijadikan tempat beraktivitas gerakan pembebasan dari orang atau pihak yang dianggap tidak punya hak tadi, jelas dan tegas tentu sudah ada yang memiliki, bahkan sejak jauh sebelum aktivitas ada gerakan pembebasan. Singkat kata, wilayah-wilayah di Nusantara itu adalah milik sah 250-an satuan masyarakat adat.
Di antara satuan pemerintahan masyarakat adat itu, adalah Kraton Mataram Surakarta yang didirikan Sinuhun Paku Buwana (PB) II pada 17 Sura Tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745. Wilayah “negara” (monarki) Mataram Surakarta meliputi sebagian besar (yang kini) Provinsi Jateng, semua wilayah (yang kini) Provinsi Jatim plus Madura, ditambah yang ada di Jawa Barat.
Bahkan, beberapa daerah yang kini masuk wilayah Provinsi Jabar, ada beberapa yang masuk wilayah (DKI) Jakarta. Misalnya lahan tempat mendirikan Istana Negara, adalah milik Raja kedua Kraton Mataram Islam, yaitu Sinuhun Prabu Hanyakrawati (1601-1613). Sejarawan Dr Purwadi menyebut, gedung itu disewa untuk kantor pusat kegiatan ekonomi (perdagangan) VOC.
“Jadi, gedung Istana Negara dan lahan di sekitarnya (kini) di DKI dan beberapa wilayah (kini) di Jabar, sah milik Kraton Mataram Surakarta. Karena, sebagai kraton terakhir yang meneruskan Kraton Mataram yang didirikan Panembahan Senapati. Gedung itu diberi nama Hanyakrawati, walau dibangun tenaga ahli dari Belanda yang disewa VOC,” ujar Dr Purwadi.
Lahan dan bangunan Istana Negara di wilayah Jakarta itu, menjadi bukti bahwa jauh sebelum RI lahir pada 17/8/1945, sudah ada pihak yang memiliki, yaitu Sinuhun Sultan Prabu Hanyakrawati. Raja kedua Kraton Mataram itu, adalah putra Panembahan Senapati, Raja ke-1 dan pendiri Dinasti Mataram, yang memiliki wilayah kekuasaan 2/3 Pulau Jawa, termasuk Jakarta.
Istana Negara dan lahan di sekitarnya, hanya contoh kecil aset wilayah kedaulatan (kekuasaan) “negara monarki” atau Kraton Mataram terakhir (berIbu-Kota) di Surakarta yang usianya sudah 200 tahun (1745-1945), dan hingga kini sudah 79 tahun. Fakta sejarah itu tentu menunjuk makna jelas dan tegas, bahwa sebelum 1945 (NKRI) Nusantara sudah ada yang punya.
Dengan menggunakan penalaran yang sehat, peristiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 harus dipahami dengan jelas dan tegas bahwa wilayah yang “dimerdekakan” itu seharusnya “tetap milik sah” semua satuan pemerintahan masyarakat adat yang sudah ada sebelum NKRI. Di antara para pelaku yang berjuang, adalah rakyat dan para tokoh para pemilik wilayah.
Dan fakta sejarah juga dengan jelas dan tegas menyebutkan, di antara yang berjuang atau para pejuang itu, ternyata bukan hanya rakyat, laskar atau tentara yang berasal dari rakyat, ataupun para politisi yang berasal dari rakyat. Karena, banyak tokoh dari kraton, bahkan rajanya (Sinuhun PB X, XI dan XII), juga ikut berjuang merintis kemerdekaan itu.
Dengan melakukan pemahaman menggunakan struktur penalaran yang sehat, maka seharusnya menjadi jelas dan pilah bagaimana sejatinya proklamasi kemerdekaan itu terjadi? Untuk siapa dan oleh siapa? Serta di wilayah mana (siapa) yang dimerdekakan? Beberapa pertanyaan ini terpaksa diajukan, karena narasi yang menyertai faktanya kini sangat jauh berbeda.
Beberapa pertanyaan itu baru menyangkut dua makna yang menjadi induk bahasan, jika mencoba merefleksi 79 tahun lalu awal-mula terjadinya NKRI. Atau beratus-ratus tahun lalu yang memproses berbagai pengetahuan yang diperlukan peradaban. Itu belum sampai pada pertanyaan mengapa bentuk negara yang semula dirancang monarki tiba-tiba berubah menjadi republik? (Won Poerwono-bersambung/i1)