Unsur Kapasitas Figur Ketuanya, Akan Banyak Mengedukasi Kalangan Warganya
IMNEWS.ID – BANYAKNYA tantangan yang muncul seiring dengan pesatnya pertumbuhan dan perkembangan Pakasa di tingkat cabang di wilayah luas lintas provinsi dalam lima tahun terakhir (iMNews.id, 29/11/2023), salah satunya adalah ketidaksiapan pembekalan pengetahuan teknis yang wajib dimiliki setiap warga Pakasa yang nota-bene insan abdi-dalem.
Kesiapan pengetahuan teknis bagi setiap insan abdi-dalem Kraton Mataram Surakarta ini, mungkin selama ini tidak banyak disadari kalangan abdi-dalem, warga/anggota Pakasa cabang, bahkan mungkin kalangan pengurus Pakasa cabang. Padahal, kesiapan penguasaan teknis yang menyangkut hal-hal melekat sebagai kepribadian abdi-dalem itu mutlak sangat penting dimiliki.
“Seharusnya, minimal sehari atau dua hari untuk pembekalan sudah cukup. Pengetahuan singkat tentang upacara adat dan tatacara pisowanan, jenis ageman sesuai kepangkatannya, wajib dipengerti semua abdi-dalem, apalagi yang masuk menjadi anggota Pakasa. Dan itulah gunanya Pakasa, bisa menjadi agen edukasi untuk pembekalan pengetahuan lengkap sebagai abdi-dalem”.
“Atau, kalau memang tidak ada waktu longgar, pembekalan bisa diberikan setelah upacara wisuda. Itu bisa diinisiasi untuk digelar pertemuan, yang isinya antara lain pembekalan soal pengetahuan teknis sebagai abdi-dalem, tatacara pisowanan, tentang upacara adat dan tentang menjadi wong Jawa seutuhnya,” tunjuk KP Budayaningrat, menjawab iMNews.id, siang tadi.
Salah seorang “dwija” (guru) dari Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta itu juga membenarkan, hingga saat ini memang sepertinya belum ada formula yang ideal teknis pembekalan pengetahuan yang bisa sinkron dan sinergi antara persiapan wisuda abdi-dalem dengan lembaga yang punya kapasitas dengan proses pembakalan itu.
karena belum ada kerja sinkron dan sinergis antara keduanya, kini semakin terlihat banyak hal-hal yang dipandang kurang sesuai, bahkan dinilai sudah melanggar tata-nilai paugeran adat dalam soal berkepribadian lengkap dan sempurna sebagai seorang abdi-dalem, bahkan sebagai abdi-dalem sentana. Karena, bekal soal itu sangat minim dimiliki.
“Kami belum berani menyampaikan atur eguh-pratikel untuk mendorong lahirnya kerjasama pembekalan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu. Karena, bisa-bisa malah disalahkan. Kami hanya menunggu dhawuh. Kalau ada dhawuh ya kami laksanakan. Tetapi kalau tidak ada, ya lebih baik diam saja,” ketus KP Budayaningrat, Ketua MGMP Bahasa jawa SMA se-Jateng itu.
Penasihat paguyuban pambiwara berskala nasional itu juga menambahkan, dirinya bersama KPH Raditya Lintang Sasangka (Ketua Sanggar Pasinaon Pambiwara) sudah selesai memberi pembekalan pengatahuan mengenai kebutuhan teknis para abdi-dalem karawitan dari Kantor Pengageng Mandra Budaya.
Ada lebih dari 30 bahkan bisa 50-an jika ditambah para seniman karawitan muda siswa SMKN 8 eks SMKI Konservatori yang diberi pembekalan para pakar dari Sanggar Pasinaon Pambiwara itu. Karena, para seniman itu harus tau bagaimana berbusana adat yang tepat sesuai kepangkatannya dan benar jenis dan komponen yang dikenakan sesuai jenis upacara adatnya di kraton.
“Meskipun mereka itu seniman karawitan yang notabene kesenian dari budaya Jawa, untuk keperluan hadir pada upacara adat di kraton, harus dipahami secata tepat dan benar tatacara dan jenis busana yang dikenakan. Begitu juga, tutur-kata atau unggah-ungguh basa, tata-krama/tata-susila ketika sowan pada upacara adat dan sebagainya,” sebut KP Budayaningrat.
Kira-kira hal seperti inilah yang menjadi perhatian KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro selaku “Plt” Ketua Pakasa Cabang Kudus, hingga sepanjang pidato sambutannya hampir semuanya digunakan untuk membahas dan menjelaskan pentingnya para anggota Pakasa Cabang Kudus memahami soal busana adat Jawa yang dikenakan dan soal kepangkatan di dalam kraton.
Pidato sambutan yang diberikannya pada acara peringatan Hari Jadi ke-92 Pakasa tahun 2023 yang diinisiasi dan digelar di kediamannya, perumahan Gerbang Harapan, Desa Gondangmanis, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus, Minggu (10/12) siang itu, justru dimanfaatkannya untuk mengedukasi kalangan anggotanya dalam berbusana dan menempatkan diri sesuai kepangkatannya.
“Tadinya ada yang bertanya, soal gelar kepangkatan di dalam kraton itu bagaimana? Terus, tatacara berbusana adat Jawa yang dikenakan itu, masing-masing kok ada yang berbeda-beda maksudnya apa? Karena, saya kebetulan tahu soal itu, ya saya jelaskan sekalian. Menurut saya, soal ini penting untuk diketahui”.
“Kalau sampai tidak tahu soal itu, ya memalukan. Misalnya, kalau sampai ditanya atau ditegur Gusti Moeng waktu sowan ke kraton, kita ‘kan jadi malu. Karena, berbusana adat Jawa di dalam kraton, ada aturan penggunaannya sendiri, sesuai gelar kepangkatannya. Baik yang menyangkut motif jarik (kain) batik, stagen, beskap dan sebagainya,” tunjuk KRA Panembahan Didik.
Berbusana adat Jawa di dalam kraton, ada aturannya mana saja yang sesuai digunakan kalangan abdi-dalem anon-anon atau kawula, abdi-dalem sentana anon-anon atau pangkat dan gelarnya pemberian, maupun sentana trah darah-dalem yang punya hak atas gelar dan kepangakatan itu, kemudian gelar keluarga raja sampai yang dikenakan raja.
Menurut tokoh yang punya darah keturunan salah seorang Wali Sanga yang dikenal Sunan Kudus itu, jenis-jenis busana adat Jawa dan perlengkapannya di dalam kraton, wajib dikenakan secara tepat dan benar di dalam kraton dan diupayakan konsisten ketika dikenakan di luar kraton. Perlengkapan itu termasuk jenis “blangkon” dan motif batiknya.
Selain blangkon, beskap terbagi beberapa jenis, ada Sikepan Cekak, Sikepan Ageng, beskap Atela dan sebagainya yang hanya boleh dikenakan oleh orang-orang tertentu, gelar dan pangkat tertentu. Kemudian, warna stagen, jenis sabuk dan epek timangnya. Kerispun ada dua jenis, yaitu Ladrang dan Gayaman yang masing-masing ada batasan waktu keperluan acaranya.
Penjelasan secara terpisah oleh KRA Panembahan Didik di depan semua undangan yang hadir dalam peringatan Hari Jadi ke-92 Pakasa di kediamannya dan “dwija” Sanggar Pasinaon Pambiwara, KP Budayaningrat saat diwawancarai iMNews.id, ada kemiripan karena berasal dari satu sumber, yaitu Kraton Mataram Surakarta.
“Saya itu anak nomer 4 dari tujuh bersaudara dari pasangan bapak-ibu saya, R Soekardjin-Tarmini (bin Marto Darsono Djamari). Ayah saya trah dari Sunan Kudus. Sedangkan ibu saya trah dari Panembahan Hadi Prabu Hanyakrawati (Raja Mataram lama), bin Panembahan Senapati. tetapi, ayah saya banyak dikenal dengan nama Ramelan, sebagai kepanjangan singkatan ‘R’,” sebutnya.
Selidik punya selidik yang dilakukan sang anak yang kini dikenal dengan nama KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro, mendapati kebenaran sesuai ijazah Sekolah Teknik Negeri (STN) milik almarhum sang ayah yang bernama R Soekardjin bin Kartowidjojo Soerat yang lengkapnya berbunyi Raden Soekardjin.
Perihal satu sisi kisah hidup sang ayah, R Soekardjin yang trah Sunan Kudus itu, menjadi ilustrasi menarik dalam tulisan seri ini. Karena, latar-belakang persoalannya mirip yang dialami banyak bangsawan Kraton Mataram Surakarta dan lembaga masyarakat adat lainnya, mungkin hanya beda versi yang dialami kisah leluhur KRAT Mulyadi Puspopustoko.
Menurut KRA Panembahan Didik, orangtuanya punya profesi sebagai pengusaha kayu jati, tetapi bangkrut oleh situasi persaingan ketat saat itu. Hidup keluarga kedua orangtuanya, termasuk dirinya, menjadi susah, hingga ayahnya sempat berjualan di dalam pasar. Itulah yang menyebabkan, ayahnya malu menggunakan nama Raden, hingga singkatan “R” disebut sebagai (nama) Ramelan.
Versi kisah leluhur KRAT Mulyadi Puspopustoko selaku Ketua Pakasa Cabang Pati yang pernah diungkapkan kepada iMNews.id, beberapa waktu lalu, diduga sengaja melepas gelar dari kraton karena takut teror penculikan yang dilancarkan kelompok kiri (PKI-Red) yang mengganas di awal NKRI lahir, terutama yang tidak setuju dengan status Daerah Istimewa Surakarta.
Karena sudah banyak yang diculik, termasuk PM Sutan Syahrir dan Sinuhun PB XII sendiri, sangat dimungkinkan GPH Priyambada (GPH Priyambodo) juga pergi meninggalkan kraton bersama keluarganya, karena diduga takut diculik. Pelarian “kakek” KRAT Mulyadi itu sampai di sebuah lokasi di Semarang, tetapi melepas segala atribut bangsawan, hidup berbaur sebagai orang biasa. (Won Poerwono-bersambung/i1).