Pihak yang Selama Ini Selalu Didukung Kekuasaan, Bukan Jaminan Pihak yang Tepat dan Benar
IMNEWS.ID – DENGAN mencermati serangkaian fakta empiris yang selama ini terjadi (iMNews.id, 25/9), sebenarnya sudah sangat jelas posisi “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng. Kelembagaan pengelola dan penanggungjawab Kraton Mataram Surakarta itu, memiliki legal standing yang lengkap dan bisa dipertanggungjawabkan secara adat dan hukum.
Fakta empiris terakhir yang tidak terbantahkan, adalah peristiwa “Dekrit LDA” atau “Dekrit Bebadan” yang berupa eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA), yang dilakukan tim eksekusi dan juru sita Pengadilan Negeri (PN) Surakarta, 8 Agustus 2024. Melalui peristiwa itu, legal standing “Bebadan Kabinet 2004” dan LDA ditunjukkan dengan tegas kepada publik secara luas.
Dewngan peristiwa “Dekrit LDA” atau “Dekrit Bebadan” 8 Agustus 2024 itu, segala bentuk sengketa kewenangan atas pengelolaan dan penanggungjawab eksistensi di satu sisi, dan status kedudukan serta posisi Kraton Mataram Surakarta dengan seluruh aset-asetnya di sisi lain, sudah selesai tuntas secara hukum yang berlaku secara nasional di NKRI.
Tetapi mungkin benar kata Gusti Moeng bahwa “pihak seberang” adalah sekumpulan orang-orang “bebal”, karena sudah ada peristiwa “Dekrit Bebadan Kabinet 2004” 8 Agustus itu (iMNews.id, 8/8), belum paham juga. Insiden berebut “dhawuh” di Bangsal Pradangga Masjid Agung, Senin 9 September (iMNews.id, 9/9) terjadi, bahkan masih berlanjut di 16 September.
Ketika dianalisis menunjukkan bahwa ada sikap “bebal” yang ingin terus dipelihara pihak seberang di satu sisi, tetapi di sisi lain justru semakin menunjukkan bahwa garis pembatas antara pihak “sing becik” dan pihak “sing ala” semakin jelas kelihatan. Pihak “sing becik” (baik) “ketitik” (makin jelas), dan pihak “sing ala” (buruk) juga “ketara” (makin tampak).
Tetapi “zaman memang sudah edan” seperti penggalan kata bijak Pujangga Jawa Surakarta, RNg Ranggawarsita. Antara baik dan buruk itu bisa berubah posisi sewaktu-waktu, tergantung yang melihatnya. Contohnya, berita dengan foto Sinuhun (PB XIII) menandatangani dokumen serah-terima proyek revitalisasi dua alun-alun di rumah dinas Loji Gandrung, Selasa (24/9).
Berita di beberapa harian terbitan Rabu (25/9) yang mengisahkan Sinuhun menerima penyerahan proyek revitalisasi dua alun-alun di rumah dinas Wali Kota, Loji Gandrung, Selasa malam itu, menjadi bukti yang jelas bahwa pihak yang punya posisi dan kedudukan yang benar dan sah secara hukum, belum tentu mendapat pengakuan dan dukungan penguasa.
Peristiwa di rumah dinas Loji Gandrung itu bila dipertajam, kurang lebih menunjukkan makna bahwa “pihak yang selama ini selalu didukung kekuasaan/penguasa, adalah pihak yang tak perlu punya posisi dan kedudukan sah dan benar menurut tata nilai dan aturan apapun. Karena, penguasa/kekuasaan sudah apriori dan bermata gelap dalam memandang eksistensi kraton.
Oleh sebab itu, sepertinya tidak salah kalau ada bangunan logika yang menyebut bahwa posisi dan kedudukan yang benar dan sah secara hukum dan adat yang dimiliki Bebadan Kabinet 2004 dan LDA sebagai penanggungjawab dan pengelola Kraton Mataram Surakarta dengan segala asetnya, tidak menjamin menjadi pihak yang akan diakui dan didukung kekuasaan/penguasa.
Kini, dengan melihat realitas “zaman yang sudah edan” dan logika yang jungkir-balik tak jelas di mana letak yang benar dan salah, mungkin memang sudah di luar jangkauan penalaran manusia yang waras. Karena, masyarakat adat Mataram Surakarta memang sedang berada di tengah suasana negara yang sedang “sakit”, akibat “cedera” sejak lahir di tahun 1945.
Bertahan di tengah suasana kehidupan bangsa dan negara yang kebebasannya “dalam penguasaan partai politik”, memang tidak baik bagi keberadaan masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta. Mungkin hanya takdir yang akan merubah semua itu, yaitu datangnya sebuah keajaiban atau “habis masa berakhirnya” figur yang selama ini dijadikan tameng, alasan dan kedok itu.
Sekaten Garebeg Mulud 2024 memang sudah menjadi momentum penting dalam perubahan status kelembagaan “Bebadan Kabinet 2004” dan Lembaga Dewan Adat, yang menjadi semakin kuat dan punya legal standing tegas dan jelas secara hukum dan adat. Tetapi, untuk menghadapi trend peradaban modern yang liar karena berbagai pengaruh “isme” asing, tidak cukup hanya itu.
Sebenarnya, berbagai upacara adat level besar yang digelar rutin tiap tahun oleh “Bebadan Kabinet 2004” Kraton Mataram Surakarta, juga bisa menjadi momentum dalam kerangka seperti di atas. Tetapi, faktanya memang tidak punya daya tendang kuat untuk merubah keadaan, dari yang sebelumnya “tidak atau kurang sadar” menjadi sepenuhnya sadar, taat dan patuh.
Karena, mungkin saja semua sudah menjadi kehendak-Nya, bahwa melalui berbagai peristiwa upacara adat itulah menjadi kesempatan yang baik untuk menguji, mengukur sekaligus menunjukkan di mana letak “pihak” yang benar-benar punya ketulusan dan keikhlasan untuk mengabdi pada keagungan Sang Khalik, melalui kerangka budaya yang sesuai kehendak-Nya.
Bersamaan dengan itu, juga akan ditunjukkan di mana letak “pihak” yang sudah tidak peduli adat dan tata nilai budaya Jawa sebagai simbol-simbol keagungan Sang Khalik, yang didukung kekuasaan menjadi potensi perusak. Karena, tanpa “keburukan” sulit untuk mengatakan ada “kebaikan”. Tanpa negatif, sulit mengatakan adanya positif, dan seterusnya. (Won Poerwono-bersambung/i1)