Ritual Haul Para Tokoh Leluhur Dinasti Mataram di Pati, Jadi Pelopor dan Raw Model Event
IMNEWS.ID – KABUPATEN Pati memang terhitung paling banyak memiliki titik lokasi makam tokoh leluhur Dinasti Mataram yang masuk level besar dan sedang. Setidaknya, ada 13 dari 20-an titik lokasi makam yang teridentifikasi berkait eksistensi Kraton Mataram yang berakhir di Mataram Surakarta, sejak 1745 hingga kini, kini yang sudah memiliki jadwal ritual rutin.
Namun, ritual haul wafat sang tokoh di masing-masing makam yang digelar rutin tiap tahun menggunakan penanda waktu kalender Jawa dan Hijriyah itu, tidak berbanding lurus dengan kegiatan Pakasa cabang kabupaten setempat, misalnya Pati. Karena, keberadaan makam dan event haulnya yang bermunculan di mana-mana, tidak identik dengan keberadaan Pakasa cabang.
Karena begitu banyaknya lokasi makam tokoh leluhur Dinasti Mataram di Kabupaten Pati yang berkait dengan seringnya event ritual haul digelar, tidak bisa disamakan dengan keberadaan dan aktivitas Pakasa cabang setempat. Karena faktanya, masing-masing makam yang menggelar event itu, sudah jauh lebih dulu eksis dan berjalan, sebelum ada Pakasa cabang.
Realitas seperti inilah yang hingga pelaksanaan event haul wafat Ki Ageng Ngerang yang digelar selama lima hari (20-24 September) itu terlihat jelas. Intinya, sejumlah makam para tokoh itu sudah memiliki pamong atau lembaga pengelola, bahkan berbadan hukum misalnya yayasan. Mereka punya agenda event tetap misalnya haul, dan juga panitia tetap yang mengelolanya.
Kabupaten Pati memang bisa dipahami menjadi pelopor kegiatan event haul tokoh leluhur Dinasti Mataram, karena begitu banyaknya titik lokasi makam dan seringnya menggelar event itu dalam setahun. Ini bisa terjadi di wilayah Pati mengingat antara satu dengan makam lainnya rata-rata berbeda waktunya sesuai kalender Jawa/Hijriyah, bahkan seperti berurutan.
Maka, dengan melihat tata-laksana penginisiasian dan pengorganisasian event ritual haul yang sudah beberapa kali digelar di wilayah Kabupaten Pati, kehadiran Pakasa dan kraton seakan belum benar-benar menjadi satu atau “ngeblend” di dalam tata-laksananya. Sebagai satu-kesatuan event ritual, tampak belum sepenuhnya berada pada titik temu yang ideal.
Kalau titik ideal belum diketemukan karena posisi representasi kraton, misalnya kehadiran Gusti Moeng bersama rombongan beberapa elemen di antaranya prajurit, masih kelihatan sebagai tamu undangan, itu sangat masuk akal. Tetapi, kehadiran organisasi Pakasa cabang tidak seharusnya berada pada posisi seperti itu, karena sebenarnya mereka adalah mediatornya.
Pengurus Pakasa cabang yang menjadi mediator antara masyarakat adat pemelihara makam atau pamog makam atau yayasan pengelola, idealnya justru sepenuhnya menjadi satu-kesatuan tuan rumah bersama masyarakat adat itu. Bahkan pengurus Paksa dituntut menjadi mediator yang mengorganisasi pihak-pihak lain seperti kraton, pamong desa, wilayah dan Pemkab.
Oleh sebab itu, ketika melihat serangkaian teta-laksana event haul level besar yang digelar di beberapa titik lokasi makam di wilayah Kabupaten Pati itu, ada gambaran yang menjadi pelajaran berharga bagi banyak pihak. Karena, dari tata-laksana yang menampakkan beberapa persoalan mendasar dalam pengelolaan pelaksanaan event ritual itu.
Persoalan mendasar itu adalah komunikasi dan dialog di antara pihak-pihak yang terlibat dalam kepanitaan, mulai dari perencanaan sampai pelaksanaannya. Karena komunikasi dan dialog yang sudah ditempuh secara maksimal, pasti akan menemukan titik kesepahaman, satu frekuensi dan kata sepakat. Itu akan menentukan keberhasilan dalam banyak hal, event yang digelar.
Karena, dalam persoalan gelar event ritual haul yang hingga kini masih mencari bentuk ideal dalam ukuran sebagai event yang bisa memenuhi segala jenis kaidahnya, kalau tanpa didasari oleh kesepahaman dan kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat, mulai perencanaan, penyelenggaraan sampai pelaksanaan, wajah tampilannya akan seperti yang selama ini terjadi di Pati.
Dari menyaksikan event ritual haul Ki Ageng Ngerang di Desa Trimulyo, Kecamatan Juwana, Ki Ageng Wotsinom (Desa Sinom Widodo, Kecamatan Tambakromo), Ki Ageng Syeh Jangkung (Landoh, Kecamatan Kayen), Ki Penjawi (Kelurahan Pati Lor, Kecamatan Kota), Ki Bagus Kuncung (Desa Jatiroto, Kecamatan Kayen) dan masih beberapa lagi yang rata-rata ada nuansa kekhawatiran.
Nuansa kekhawatiran akan kehilangan kegiatan event ritual haulnya direbut, kelihatan sekali terutama di makam Ki Ageng Ngerang yang paling besar ukuran hajadannya yang sampai digelar lima hari itu. Kesepahaman dan kesepakatan tampak menjadi masalah serius antara yayasan pamong makam/panitia dengan Pakasa cabang, hingga di antara mereka ada jarak dalam berhubungan.
Tetapi, kekhawatiran yang tampak itu menjadi wajar karena pada satu hari di puncak acara, Selasa (24/9) itu saja, makam Ki Ageng Ngerang diziarahi lebih dari 12 ribu orang. Jumlah peziarah itu belum termasuk yang datang sejak hari pertama, Jumat (20/9) hingga Selasa (23/9). Selama lima hari itu, ada berbagai sajian tiap harinya, termasuk kedatangan rombongan kraton.
Gusti Moeng yang hadir bersama prajurit, Minggu (22/9) siang itu, tampak disiapkan barisan karnaval yang melibatkan sejumlah truk “tiga-perempat”, yang penuh mengusung sound system dan menarik genset beroda. Barisan para peserta karnaval yang memanjang sampai di gang-gang Desa Trimulyo ini, diharapkan agar bisa disambung dengan barisan Gusti Moeng dan para prajurit kraton. (Won Poerwono-bersambung/i1)