Ada Elemen Lain yang Bernilai di Balik Unsur Intangable
IMNEWS.ID – PENALARAN yang begitu adanya menyebutkan, ketika musik modern dan musik klasik (latin) menjadi musik universal yang dimiliki bangsa-bangsa di seluruh dunia, tentu ada proses mengenal, memahami dan menguasai. Dalam konteks menguasai ini, sangat diyakini ada sebuah proses edukasi secara teknis dan sistematis untuk memainkannya, hingga menghasilkan seorang musisi mahir bahkan piawai memainkan suatu alat musik modern, semisal melodi gitar, piano, bas, drum, saxophone dan seterusnya.
Dengan penalaran seperti itulah, kira-kira musik gamelan yang notabene disebut dunia sebagai musik etnik, juga bisa dikuasai secara teknis dengan metode dan proses pembelajaran yang kurang lebih sama. Tetapi sekali lagi, pengakuan Unesco yang diwujudkan dalam selembar sertifikat itu titik berat orientasinya ada pada gamelan sebagai musik universal sekaligus warisan budaya dunia “tak benda” yang ada di Indonesia (iMNews.id, 17/9/2022).
Titik sentral pengakuan sebagai musik universal itu hanya ada pada unsur intangable atau unsur auditifnya, yaitu berupa komposisi musik etnik yang sudah dianggap memenuhi segala unsur persyaratannya sebagai musik berkonsep, sistematis dan secara teknis bisa dipelajari siapa saja dengan metode yang ada. Sebagai salah seorang musisi etnik yang juga dosen di FKIP UNS, Dr Joko Daryanto berharap, pengakuan itu perlu disertai dengan edukasi tentang unsur lain dari “intangable-nya”, yaitu tata cara dan tata nilai.
Ada Wilayah Minor
Bahkan, ada elemen lain lagi yang tak kalah tinggi nilainya di balik unsur “intangable” musik gamelan, yaitu elemen estetik konstruksi penyangga atau tempat meletakkan benda seni masing-masing bagian instrumen gamelan yang disebut “rancakan”. Fungsinya tak sekadar macam “standing” keyboard, gitar dan hampir semua jenis alat tiup, tetapi “standing” atau “rancakan” yang ada pada musik gamelan punya fungsi vital untuk memberi ruang resonansi selain fungsi estetis untuk meletakkan butiran atau “wilahan” gamelan.
Ketika melihat anatomi gitar dan semua alat musik modern yang dimainkan dengan cara dipetik elemen senar atau dawainya, mungkin bisa diasusikan sama dengan instrumen “siter”, kemudian beragam alat musik modern yang digesek bisa disamakan dengan “rebab” yang ada di musik gamelan. Hanya dua jenis itu yang mirip, tetapi banyak hal yang beda, karena dua alat musik etnik itu menggunakan notasi hanya tujuh “not” atau nada yaitu “ji” (1), “ro” (2), “lu” (3), “pat” (4), “ma” (5), “nem” (6) dan “pi” (7) pada gamelan Pelog, kemudian lima “not” atau nada yaitu “ji”, “ro”, “lu”, “ma” dan “nem” pada gamelan Slendro.
Musik modern mempunyai sistem notasi setiap oktafnya ada 7 not mulai dari “do” (1), “re” (2), “mi” (3), “fa” (4), “sol” (5), “la” (6), “si” (7) untuk notasi “mayor” dan enam not untuk notasi “minor” yaitu “di”, “ri”, “fi”, “sel”, “le” dan “sa”. Untuk keragaman ini, musik modern juga disebut musik “diatonis”, sedangkan keragaman musik etnik gamelan juga disebut musik “pentatonis”. Dengan melihat sejumlah jenis lain dari musik etnik gamelan selain yang dipetik (siter) dan digesek (rebab) itu, maka akan terlihat perbedaan sangat mencolok ketika mencermati cara memainkannya yang hampir semuanya menggunakan alat pukul selain kendang.
Diteliti NASA/Pentagon
“Yang jelas membedakan antara gamelan Slendro dan Pelog pada musik etnik gamelan, adalah ‘laras-nya”. Dalam terminologi musik barat (modern) disebut ‘tuning’. Di dalam musik etnik gamelan Jawa, masih dikenal istilah ‘pathet’. Itu yang menentukan alur susunan notasi sebuah aransemen gending atau lagunya, yang sama-sama hanya menggunakan 5 nada atau not antara gending yang menggunakan Laras Slendro maupun Laras Pelog. Edukasi tentang ini mutlak perlu untuk menjadi musisi etnik gamelan Jawa, khsususnya,” tunjuk Dr Joko Daryanto, abdidalem karawitan Mandra Budaya yang juga dosen di FKIP UNS, yang dihubungi iMNews.id, tadi siang.
Berbicara tentang musik etnik gamelan, secara teknis pengetahuan musiknya bisa sampai sedalam yang dijelaskan Dr Joko Daryanto, bahkan akan lebih dalam dan luas lagi ketika mencermati semua yang dijelaskan (alm) Prof Dr Rahayu Supanggah dan semua timnya saat mengajukan proposal tentang gamelan Indonesia, agar diakui Unesco sebagai warisan dunia tak benda. Tetapi, lagi-lagi itu baru sebatas elemen auditifnya yang memang sudah luar biasa dan membikin dunia terbelalak melihat kedahsyatannya, hingga NASA/Pentagon USA pernah meneliti gending “Ketawang Puspawarna” di tahun 1970-an.
Ada elemen dan unsur lain lagi yang pantas dipahami dunia di balik elemen dan unsur “intangable-nya” musik etnik gamelan, yaitu elemen dan unsur “tangable” atau wujud fisik bendanya sangat unik, eksotik dan nyaris tidak dimiliki bangsa-bangsa lain terutama proses penciptaannya. Berbicara tentang wujud fisik gamelan, tentu perlu melongok ke Kraton Mataram Surakarta sebagai Kraton Mataram yang terakhir, penerus Dinasti Mataram, bahkan meneruskan sejarah panjang kraton-kraton di Jawa.
“BUMN” Besalen
Di Kraton Mataram Surakarta, memiliki koleksi gamelan secara lengkap yang pernah diciptakan sepanjang perjalanan kraton-kraton di Jawa, yang sebagian diduplikasi lembaga-lembaga pendidikan khusus kesenian, seperti SMKI dan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, misalnya gamelan gedhe dan gamelan Sekaten. Secara fisik, gamelan diciptakan secara bertahap dan berproses dari waktu ke waktu sebagai perjalanan untuk melengkapinya, sesuai berbagai kebutuhannya.
Maka, dari 33 perangkat gamelan koleksi kraton yang memiliki sejumlah fungsi secara khusus, jelas bisa dipastikan ada beberapa ragam aransemen musik etnik gamelan Jawa, yang salah satunya yang masuk katagori gamelan gedhe musiknya sudah dijadikan musik dunia atau musik universal. Melihat wujud fisik 33 perangkat gamelan itu, tentu ada semacam sentra kerajinan atau figur pengrajinnya, yang dulu disebut “empu gangsa” yang membuat gamelan di semacam bengkel kerja yang disebut “besalen”.
Begitu mencermati elemen fisik gamelan, pertama-tama perlu dilacak lokasi “besalen” atau “empu” pengrajin gamelan itu di mana?, karena Mataram Surakarta sebagai sebuah “negara monarki” (1745-1945), pasti memiliki semacam BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang khusus membuat peralatan untuk negara, semisal gamelan. Dan menurut hasil penelitian Dr Joko Daryanto, “besalen” khusus milik “BUMN” Kraton Mataram Surakarta ada di kampung atau Kelurahan Kemlayan, sekitar 300 meter dari Baluwarti atau pusat kawasan kedhaton Kraton Mataram Surakarta. (Won Poerwono-bersambung/i1)