Hubungan Silaturahmi Secara Natural, Butuh Waktu Panjang untuk Menghilangkan Residu Masa Lalu
IMNEWS.ID – BENAR kata Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA) Kraton Mataram Surakarta yang menyinggung soal kemunculan istilah haul yang dalam lidah orang Jawa diucapkan dengan kata “khol”, selain kata ziarah atau “nyadran”. Dua istilah itu berasal dari wilayah yang berbeda, tetapi dalam 2-3 dekade terakhir berusaha disinergikan atau dipertemukan.
Upaya membuat keduanya sinergi dan bertemu dalam satu bangunan makna dalam satu-kesatuan makna yang simetris itu, merupakan cita-cita dan harapan yang sangat baik dan bijak. Karena, pertemuan antara keduanya punya kekuatan daya tarik luar biasa yang bisa menyatukan antara umat dan masyarakat adat yang sebelumnya terpisah oleh tirai tipis sekali.
Tirai tipis itu lahir dari wilayah religi dan budaya, yang sebenarnya sudah tuntas dipertemukan oleh para Wali Sanga dalam budaya Jawa mulai abad 14, yang kemudian diakselerasi dan diaktualisasi oleh Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Di tangan Raja ketiga Kraton Mataram itu, antara budaya Jawa dan religi (Islam) berhasil diakulturasi dan dikolaborasikan.
Tetapi, hasil kolaborasi antara Islam dan Jawa tidak selalu berhasil mulus ketika menembus zaman yang selalu berganti dan semakin modern disertai perubahan pola perilaku dan pola pikir. Ada perjalanan menembus waktu itu ternyata juga menghasilkan residu yang tidak bisa luruh dalam pertemuan akulturatif antara keduanya.
Salah satu contoh residu persoalan itu, disebut-sebut Clifford James Geertz dalam bukunya yang berjudul “Abangan, Santri dan Priyayi”. Meski banyak buku karya orang asing yang membahas ciri-ciri masyarakat di Nusantara tidak sesuai dengan fakta riil di lapanan, tetapi sisi rasionalitas residu hasil pemetaan cirikhas masyarakat Jawa itu ada kebenarannya.
Dengan adanya latar-belakang residu itu di satu sisi, sejak 1-2 dekade terakhir ini di berbagai daerah bermunculan event haul di berbagai daerah, terutama di wilayah Provinsi Jateng, Jatim dan kini juga mulai marak di Provinsi Jabar. Haul adalah ritual spiritual religi untuk memperingati wafat seorang tokoh besar yang diselenggarakan masyarakat setempat.
Di wilayah Provinsi Jateng, daerah kabupaten di kawasan Gunung Muria seperti Pati, Kudus, Demak dan Jepara semakin marak menggelar event ritual haul rutin tiap tahun, yang dimeriahkan berbagai bentuk ekspresi. Event ini juga mulai marak digelar di sejumlah daerah di Jateng, karena ternyata memiliki makam tokoh yang satu sama lain berkait dalam silsilah.
Di wilayah Jateng, event haul juga muncul di wilayah Kabupaten Wonosobo karena ada makam tokoh Ki Ageng Wonosobo, di Magelang ada makam tokoh Ki Ageng Karotangan dan di Banjarnegara punya makam tokoh Sunan Geseng Girilangan. Sedangkan di wilayah Jatim haul banyak marak di Kabupaten Ponorogo, bahkan petilasan tokoh penting sejarah juga “dimuliakan”.
Event haul yang rata-rata diinisiasi dan diorganisasi para pamong makam setempat, kebanyakan sudah memiliki format tatacara pelaksanaannya. Ada yang menggandeng dan bekerjasama dengan pamong lingkungan hingga jajaran Pemkab/Pemkot karena alasan potensi daya tarik wisata religi yang besar, ada yang sekadar mengundang untuk hadir menyaksikan.
“Saya sudah sering datang ke makam Ki Ageng Wot Sinom ini, rutin tiap tahun sejak menjelang pergantian orde (baru-Red). Karena, masyarakat adat Jawa khususnya Kraton Mataram Surakarta, hanya punya tradisi nyadran dan nyekar atau ziarah. Baru mulai beberapa tahun ini, haul menjadi tradisi di sini dan kraton juga datang mendukungnya,” ujar Gusti Moeng.
Gusti Moeng atau GKR Wandansari Koes Moertiyah sempat menyinggung perjalanan lahirnya istilah haul yang dikenal kraton dengan “khol”, saat memberi sambutan di sela-sela ritual haul wafat Ki Ageng Wot Sinom, Minggu (23/9). Haul tokoh Raden Haryo Suwongso di Desa Sinom Widodo, Kecamatan Tambakromo, Kabupaten Pati itu, dimeriahkan dengan kirab prajurit kraton.
Bagi Kraton Mataram Surakarta, terlebih selama “Bebadan Kabinet 2004” menjalankan tugas adat di bawah kepemimpinan Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA, kehadiran dan dukungan yang diberikan merupakan bentuk pengakuan secara adat. Sekaligus sebagai induk pelindung secara kekerabatan keluarga besar masyarakat adat di berbagai daerah.
Tetapi karena hubungan kekerabatan antara induk pelindung dengan masyarakat adat pemelihara makam-makam tokoh yang tersebar di berbagai daerah di sejumlah provinsi itu baru muncul antara 2-3 dekade terakhir, maka event ritual haul di berbagai lokasi makam yang mendapat dukungan kraton, adalah hal baru yang inovatif khususnya bagi kalangan panitia haul.
Terjalinnya hubungan komunikasi yang bisa mengarah pada terbangunnya sebuah ikatan silaturahmi keluarga besar masyarakat adat di luar dengan di dalam kraton, prosesnya terkesan terjadi begitu saja secara natural. Profil hubungan terkesan “tiba-tiba” dan tanpa tahapan-tahapan dalam perencanaan yang ideal seperti inilah yang sebenarnya sedang terjadi.
Maka, tidak aneh kalau sampai berlangsung event haul Ki Ageng Ngerang kesekian kali digelar panitia sampai yang di tahun 2024 ini, ada suasana yang belum serasi dan kurang harmoni, karena terkesan masih terganjal residu hubungan akulturatif masa lalu dan unsur inovatif lainnya. Kehadiran Pakasa dan kraton, belum sepenuhnya mendapatkan titik temu yang ideal. (Won Poerwono-bersambung/i1)