Bagaimana Penyelesaian “Utang-Piutang” Antara NKRI dan Kraton Mataram Surakarta?
IMNEWS.ID – SOAL utang-piutang bagi bangsa Indonesia, mungkin sudah dikenal sejak lama, atau setidaknya sejak peradaban di wilayah manapun di Nusantara ini mengenal transaksi dan alat pembayaran. Bahkan, juga sudah berlaku ketika peradaban menemukan kerangka berfikir dan pengetahuan tentang pinjam-meminjam, berjanji dan dijanjikan, menerima dan memberi.
Namun, tata-nilai yang berlaku di berbagai wilayah kultur yang berbeda-beda di Nusantara, mungkin juga berbeda-beda pula aturan yang berlaku atau cara-cara individu/kelompok dalam menyikapi dan menyelesaikannya. Sehingga, selain yang bersifat kebendaan dan alat tukar/pembayaran, sering terdengar ada istilah “utang-janji”, “hutang budi” dan sebagainya.
Dalam suasana hubungan sosial kemasyarakat seperti itu, misalnya di lingkungan peradaban Jawa sejak tata-nilai peradaban berlaku, istilah-istilah di atas banyak menghiasi hampir di lingkup apa saja dan di mana saja. Baik di dalam lingkungan masyarakat adat sejak Dinasti Mataram berdiri atau malah sebelumnya, hingga berbagai aturan hukum positif lahir.
Tetapi, di lingkungan wilayah kultur mana saja di Nusantara ini, sebenarnya soal utang-piutang lebih longgar sifat ikatan transaksinya karena setiap individu masih memiliki rasa malu dan “ewuh-pekewuh” sangat tinggi bila sampai “kepotangan budi” (hutang budi) dan utang janji. Masyarakat Jawa merasa aib kalau ketahuan berutang pada orang lain.
Menjadi aib kalau ketahuan berutang atau meminjam barang atau uang, dan bisa menempatkan individu atau kelompok sebagai manusia yang rendah bila ketahuan berhutang atau meminjam. Apalagi belum dikembalikan atau bahkan tidak pernah alias “ngemplang” atau “nggadhug”. Liku-liku dalam hubungan sosial seperti ini, mutlak berkait dengan soal tata-nilai etika.
Tetapi lambat-laun, ketika NKRI yang lahir pada 17 Agustus 1945 ini mulai menata kehidupannya dengan tata-nilai hukum positif yang berlandaskan pada konstitusi (UUD 1945) apalagi masih dikontrol dengan nilai-nilai Pancasila, soal utang-piutang yang sudah memunculkan masalah baru, mulai diatur dalam pasal-pasal undang-undang hukum perdata.
Masalah baru itu disebut sengketa, yang jenis dan ragamnya bisa bermacam-macam. Dan karena perkembangan zaman semakin maju dan modern terutama karena perkembangan bidang ekonomi bisnis, teknologi dan hukum itu sendiri, masalah utang-piutang dalam batas-batas tertentu harus masuk dalam pasal-pasal perbuatan pidana yang diatur dalam KUHAP.
Sampai di sinilah, elastisitas perbuatan perdata utang-piutang terpaksa diatur lebih ketat, dengan ancaman hukuman yang jelas dan tegas. Karena implikasi perdatanya sudah meluas hingga memasuki wilayah pidana, atau masuk kategori perbuatan melawan hukum, jahat. Dengan demikian, utang-piutang sudah bukan pelanggaran etika ewuh-pekewuh dan pemali ora ilok.
Mengapa perkembangan hukum positif yang menyangkut utang-piutang sampai sejauh itu? Salah satu jawabannya adalah, karena faktor orangnya (individu/kelompok) yang terlibat utang-piutang, sudah tidak menggunakan atau menggubris tata-nilai etika atau bahkan estetika yang tertampung dalam tingginya peradaban Jawa. Karena, masalah itu sudah dilembagakan.
Masalah utang-piutang sudah dilembagakan dengan aturan hukum positif dan diselenggarakan oleh lembaga yang jelas dan dilindungi hukum, misalnya perbankan dan koperasi. Tetapi, bagimana dengan utang-piutang yang terjadi antara NKRI dan Kraton Mataram Surakarta pada sekitar 17 Agustus 1945 dan berbagai peristiwa yang menegaskan posisi itu setelahnya?
Peristiwa utang-piutang antara NKRI dengan Kraton Mataram Surakarta, sebenarnya sederhana “kasus transaksinya”, seperti kesederhanaan kalimat akhir bunyi teks Proklamasi “…Hal-hal yang menyangkut pemindahan kekuasaan, dilaksanakan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya…”. Inilah bunyi kalimat penyelesaian utang-piutang itu.
Selain sudah ada “amar putusan” dari soal “utang-piutang” yang termuat dalam teks Proklamasi itu, masih diperkuat dengan pasal 18 ayat 2 UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi di NKRI ini. Pasal 18 ayat 2 UUD 45 sudah jelas dan tegas mengamanatkan, bahwa NKRI terdiri dari 8 provinsi dan dua daerah istimewa (Surakarta dan Jogjakarta).
Rupanya, sengketa urusan utang-piutang tak hanya terjadi di antara individu/kelompok warga bangsa yang biasanya disebut “wan-prestasi” atau “ingkar janji”. Masalah itu ternyata juga terjadi antara lembaga NKRI dan Kraton Mataram Surakarta, yang sudah jelas dan tegas harus patuh menjalankan amanat konstitusi, sebagai sumber hukum tertinggi di Tanah Air.
Utang-piutang terjadi karena Proklamasi Kemerdekaan RI diakui Sinuhun PB XII dan lahirnya NKRI didukung Kraton Mataram Surakarta, yang diwujudkan dengan telegram Sinuhun PB XII tanggal 18 Agustus. Atas kerelaan Sinuhun PB XII “berdiri di belakang republik” dan menyatakan kraton menjadi bagian republik, lahirlah “Piagam Kedoedoekan”, 19 Agustus 1945.
Menyikapi piagam yang diterbitkan Presiden Soekarno, Sinuhun atau SP (Sri Paduka) PB XII (juga SP MN VIII-Red) mengeluarkan maklumat, Surakarta tetap sesuai amanat pasal 18 UUD 45, sebagai Daerah Istimewa setingkat Provinsi. Seperti disebut dalam pasal 3 piagam itu, hubungan antara Surakarta dengan pemerintah NKRI “bersifat langsung”. (Won Poerwono)-bersambung/i1)