Bangsal Sewayana Pernah Jadi “Tempat Transit” Pengunjung Sekaten, Karena “Terlantar”
SURAKARTA. iMNews.id – Upacara adat jamasan meriam pusaka “Nyai Setomi” yang ada di Bangsal Sewayana kompleks Pendapa Sitinggil Lor, “berjalan lagi” setelah “lama” tidak digelar atau hanya sesekali diadakan sejak tahun 2017. Ritual yang digelar “Bebadan Kabinet 200”, Kamis siang (13/6) tadi, dipimpin GKR Timoer Rumbai, didahului dengan doa wilujengan.
Ritual menjamas atau mencuci krobongan atau mirip cungkup yang melindungi meriam Nyai Setomi siang tadi, berkait dengan akan digelar upacara adat Garebeg Besar untuk memperingati Idhul Adha. Tak hanya krobongan yang dijamas, tetapi seluruh permukaan bangunan Bangsal Sewayana dan senjata meriam itu, juga dicuci dengan lap dan guyuran air melalui selang.
Sebelum jamasan dilakukan, berbagai uba-rampe upacara adat disiapkan dan didahului dengan doa wilujengan di depan krobongan penyimpan meriam Nyai Setomi. GKR Timoer tampak ikut mengelap saka guru pendapa bangsal dan menyiramkan air dengan gayung. Sementara, ada belasan abdi-dalem yang mengepel lantai bangsal dan membasuh bagian permukaan lain.
Selain GKR Timoer, tidak kelihatan ada figur generasi wayah-dalem lain yang ikut ambil bagian menjalankan ritual itu. Padahal, pada sebuah acara pameran batik yang diinisiasi BRM Yudistira melibatkan para mahasiswa sebuah kampus di Bangsal Sidikara atau Bangsal Kasentanan, Selasa (11/6), GKR Timoer didampingi GRAy Devi Leyana Dewi, GRAy Ratih Widyasari.
Dalam ritual jamasan Nyai Setomi, siang tadi, nyaris tidak tampak ada masyarakat pengunjung yang menyaksikan. Dalam catatan iMNews.id, hampir setiap ritual jamasan meriam pusaka Nyai Setomi sejak sebelum tahun 2017 sepi dari pengunjung. Di dekat krobongan Nyai Setomi pernah penuh manusia di tahun-tahun itu, tetapi untuk keperluan beristirahat.
Jau sebelum tahun 2017, ritual jamasan Nyai Setomi rutin dilaksakanakan bahkan bisa terjadi dua kali dalam setahun, yaitu mendekati Garebeg Mulud atau Garebeg Besar karena bisa dilaksanakan tiap 8 bulan sekali dalam hitungan kalender Jawa. Sekitar 10 tahun lalu, pengunjung banyak yang datang, tidak hanya menyaksikan tetapi juga “ngalab berkah” air jamasan.
Terlebih, saat ritual jamasan bersamaan dengan waktu menjelang puncak prosesi keluarnya Gunungan Garebeg Mulud pada perayaan Maulud Nabi Mahammad SAW, pengunjung yang datang ke kompleks Pendapa Sitinggil Lor luar biasa banyaknya. Mereka sudah siap membawa jerigen dan botol untuk menadah air jamasan meriam Nyai Setomi dan untuk berbagai keperluan di rumah.
Namun, dalam 10 tahun terakhir pemandangan berebut air itu sudah tidak tampak, karena mereka yang selau menjadi pelanggan rutin datang “ngalab berkah” tidak kelihatan datang di ritual jamasan Nyai Setomi. Peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja, Dr Purwadi menyebut, para pengunjung yang “ngalab berkah” itu hampir semua dari luar Kota Surakarta.
“Sama pada waktu kirab pusaka malam 1 Sura dalam beberapa tahun terakhir, pengunjungnya terasa sekali berkurang. Mereka itu bukan penduduk asli Kota Surakarta. Melainkan masyarakat pedesaan dari sekitar Surakarta yang ingin ngalab berkah. Tidak hanya itu, pada upacara adat lain seperti Sekaten Garebeg Mulud, Garebeg Syawal dan Garebeg Besar, juga begitu”.
“Bahkan, tidak hanya upacara-upacara adat di Surakarta, kota-kota lain yang menggelar kegiatan semacam peringatan hari jadi dan upacara-upacara adat, yang menyaksikan bukan penduduk kota itu. Tetapi para pendatang dari luar kota. Ada banyak faktor penyebabnya. Di antaranya, karena generasi sudah berganti dalam 10 tahun itu,” ujarnya. (won-i1).