Komplotan “Perampok Beras” yang Sering Diangkat Jadi Hiburan Sisipan Pentas Wayang Kulit
IMNEWS.ID – KETIKA masih subur-suburnya “kegiatan usaha jasa” pertunjukan seni wayang kulit, apalagi yang dipentaskan semalam suntuk atau “sedalu natas” antara 1980-1990-an, ekspresi berkesenian yang berinovasi juga mencapai puncaknya. Tetapi, ekspresi inovasi yang berkualitas, penuh kontrol ketat dari sang sutradara yaitu para figur dalangnya sendiri.
Dalam suasana seperti itu, kisah-kisah dari luar babon cerita seni pedalangan yaitu Maha Bharata dan Ramayana sering diangkat dan dimasukkan ke dalam pementasan lakon dari dua babon cerita itu dalam pertunjukan konvensional selama 8 jam, atau benar-benar “sedalu natas” dari pukul 20.00 WIB hingga subuh sekitar pukul 05.00 WIB.
Salah satu cerita menarik dari luar Maha Bharata, Ramayana juga dari luar lakon-lakon yang diadaptasi para pujangga Mataram Surakarta misalnya Serat Pustaka Raja Purwa, mengisahkan komplotan penjahat yang dipimpin seorang bos bernama “Kramaleya”. Dia adalah sosok penjahat, tetapi kisahnya dilukiskan dalam dalam sisipan pentas wayang dalam gaya humor.
Dalang kondang “gagrag” (gaya) Surakarta, Ki Anom Suroto, pada masa jayanya menjalani profesi selama 20 tahun antara periode tahun di atas bahkan lebih, paling sering menghadirkan kisah-kisah kehidupan dari luar babon lakon di atas. salah satunya, adalah kisah komplotan penjahat “Kramaleya”, yang ternyata berasal dari zaman Kraton Mataram Kartasura.
Ketika ditelusuri lebih jauh, ternyata bos komplotan perampok beras sangat dikenal karena tindak kejahatannya merajalela pada zaman antara Sinuhun Paku Buwana (PB) I (1705-1719) dan penggantinya Sinuhun Amangkurat Jawi atau IV (1719-1727) jumeneng nata. Keduanya adalah bagian Raja-raja Mataram Islam saat Ibu Kotanya di Kartasura selama 42 tahun (1703-1745).
Kisah petualangan jahat “Kramaleya” yang selalu disajikan Ki Anom Suroto dengan kocak penuh humor atau versi “gecul” itu, sebenarnya hanya sisipan yang numpang lewat dalam sebuah pentas pertunjukan konvensional utuh “sedalu natas”, kemudian “mungkret” atau “mengkeret” menjadi 8 jam, dan kini sudah “mengkeret” lagi menjadi pakeliran padat 5 jam.
Sisipan kisah dari luar lakon wayang itu, tujuannya agar menambah ragam hiburan sajian seni pakeliran yang salah satu tujuannya adalah menghibur selain transfer nilai-nilai untuk edukasi peradaban. Oleh Ki Anom Suroto, hadirnya sisipan “ontran-ontran Kramaleya” diluksikan sesuai kisah aslinya, sebagai pemimpin komplotan penjahat yang bikin resah warga.
Di tangan Ki Anom Suroto, kisah komplotan penjahat itu dihadirkan sebagai sisipan yang sesuai dengan tema lakonnya, misalnya saat berlangsung perang Bharatayuda antara keluarga besar darah Pandawa melawan keluarga besar Kurawa (Astina). Di sela-sela pathet 6-9 atau di tengah pathet Manyura itu, Kramaleya dihadirkan untuk memperkaya suasana dan menghibur.
Sisipan itu paling lama hanya antara 10-15 menit di bagian akhir (pathet Manyura) sajian “ringgit wacucal sedalu natas”. Tetapi, sejak era reformasi atau mulai tahun 2000-an Ki Anom Suroto sendiri sudah jarang menyisipkan kisah “Kramaleya” dan kisah-kisah dari luar babon lakon. Figur-figur dalang lain apalagi, karena “miskin” referensi di luar pedalangan.
Tetapi, kisah “Kramaleya yang dijadikan sisipan itu hanya sebatas “ontran-ontran” perampokan beras dan harta berharga rakyat kecil lainnya. Kisah itu tidak diakhiri dengan hadirnya tokoh protagonis pembasmi kejahatan seperti dalam film dan sinetron. Padahal, ada kelengkapan yang disebut kisah nyatanya dari sejarah zaman Kraton Mataram di Kartasura itu.
Dari pengungkapan sebagian sejarah zaman antara Sinuhun (PB) I (1705-1719) dan Sinuhun Amangkurat Jawi atau IV (1719-1727), ternyata ada seorang tokoh bernama KRT Prana Kusumadjati. Tokoh yang ternyata prajurit Kraton Mataram (Kartasura) itu mulai dikenal Pakasa Cabang Kudus sejak ketuanya, KRA Panembahan Didik mempelajari kisah sebuah terompet kuno.
Terompet kuno yang ujung tiupnya hilang itu, diyakini sebagai salah satu peninggalan KRT Prana Kusumadjati, seorang tokoh leluhurnya generasi ke tujuh di atasnya keturunan Sunan Kudus. Karena KRT Prana Kusumadjati lebih dikenal sebagai prajurit peniup terompet saat ada berita duka dari Kraton Mataram Kartasura, maka namanya lebih dikenal aliasnya.
Nama “parapan” atau alias dari KRT Prana Kusumadjati itu adalah Mbah Glongsor yang menjadi sebutan paling dikenal masyarakat Kabupaten Kudus, karena ada makamnya di Kampung Rendeng Wetan RW 01 Ekapraya, Desa Rendeng, Kecamatan Kota. Makam Bah Glongsor bahkan semakin dikenal luas sampai Sumatera dan Kalimantan sejak ada kasus hilangnya terompet.
“Iya, saya belakangan ini ditilpon banyak orang dari berbagai daerah. Di antaranya ada yang dari Sungaigerong, Sumatera dan Kalimantan, kotanya apa saya lupa namanya. Rata-rata menanyakan soal terompet Mbah Glongsor yang hilang. Mereka juga tanya lokasi makam di Desa Rendeng persisnya di mana?. Rata-rata setelah membaca berita iMNews.id”.
“Tetapi ya masuk akal kalau berita soal terompet Mbah Glongsor yang hilang dan makamnya tersebar ke mana-mana dan semakin yang berziarah. Karena, setelah menerima kiriman berita itu, langsung saya sebar ke semua santri saya dan grup WA trah Sunan Kudus. Padahal, trahnya ada di Sumatera, Kalimantan, Surabaya dan banyak lagi,” ujar KRA Panembahan Didik.
(Won Poerwono-bersambung/i1)