Semangat Membangun Rasa Hormat Leluhur Peradaban, Melalui Caos Tahlil Nyadran (seri 6 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:March 21, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Semangat Membangun Rasa Hormat Leluhur Peradaban, Melalui Caos Tahlil Nyadran (seri 6 – bersambung)
PALING MEGAH : Astana Pajimatan Imogiri adalah kompleks makam raja-raja dari Kraton Mataram Surakarta dan Kraton Jogja yang terbilang paling megah dan terawat di antara makam-makam para leluhur Dinasti Mataram yang ada. Selain nyadran, astana pajimatan ini rutin dikunjungi Gusti Moeng. (foto : iMMNews.id/Won Poerwono)

Pemugaran “Makam Bersejarah” Sebaiknya Dikonsultasikan Dengan Kantor BP3

IMNEWS.ID – KESADARAN dan semangat membangun rasa hormat terhadap jasa-jasa para leluhur peradaban, belakangan sudah tampak bermunculan di mana-mana, terutama dari masyarakat adat di sekitar lokasi makam, petilasan dan pesanggarahan. Setidaknya, yang bermunculan di kalangan masyarakat adat yang selama ini merawat lokasi makam, petilasan dan pesanggrahan yang ada kaitannya dengan leluhur Dinasti Mataram, yang tersebar di wilayah luas di Provinsi Jateng, Jatim dan DIY seperti yang baru saja “disowani” untuk “Caos Bhekti Tahlil” dalam rangka “Nyadran” di bulan Ruwah tahun Ehe 1956 ini.

Aktivitas yang proaktif diperlihatkan berbagai elemen Kraton Mataram Surakarta di masyarakat yang selama ini dirawat Lembaga Dewan Adat (LDA) yang diketuai GKR Wandansari Koes Moertiyah, jelas sudah menampakkan hasilnya, yaitu lahirnya kesadaran dan semangat membangun rasa hormat terhadap para leluhur peradaban. Berbagai elemen yang dikelola LDA seperti organisasi Pakasa cabang dan Sanggar Pasinaon Pambiwara di tingkat cabang di berbagai daerah, juga sampai organisasi-organisasi turunannya yang lahir dari situ misalnya perkumpulan ahli rias pengantin, mengambil porsi sangat banyak dalam proses kebangkitan kesadaran dan semangat membangun rasa hormat itu.

CUKUP UNIK : Kompleks Astana Pajimatan Sri Makurung Handyaningrat di Pengging (Boyolali), tampak cukup unik di alam terbuka, dihiasi beberapa payung warna kuning dan tidak berada dalam cungkup. Apalagi, setelah ada musibah pohon ambruk, justru diabadikan sebagai hiasan makam. (foto : iMMNews.id/Won Poerwono)

Proses pembangkitan kesadaran dan semangat membangun rasa hormat seperti itu memang sudah tepat dan layak, mengingat proses kerja secara kelembagaan dari lingkungan pemerintah misalnya melalui jalur lembaga pendidikan, sudah tidak mungkin bisa diharapkan dari model sistem pendidikan nasional yang diterapkan selama ini. Padahal, melalui dunia pendidikan yang berjenjang dari prasekolah sampai perguruan tinggi, bisa menjadi metode yang paling tepat dalam soal membangkitkan kesadaran dan semangat memberi rasa hormat kepada para leluhur bangsa, kalau muatan lokal pengetahuan budayanya cukup dan sesuai kebutuhan.

Apa yang dilakukan abdidalem juru kunci Astana Pajimatan Butuh, Moh Husen Aziz dan masyarakat adat di lingkungan kompleks makam Joko Tingkir di Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen itu, jelas tak akan bisa didapat dari bangku sekolah jenjang apapun. Juga semangat guyup-rukun dan kekuatan sistem tata-nilai adat yang dipegang erat masyarakat Kabupaten Ponorogo, selama ini mampu menjaga rasa hormat masyarakat di situ terhadap eksistensi segala bentuk peninggalan leluhur peradaban, termasuk situs-situs makam dan petilasan yang ada kaitannya dengan Kraton Mataram Surakarta.

TAMPILAN MENARIK : Astana Pajimatan “Pasarean Agung Paremono” tempat bersemayam Ki Ageng paremono (adik Ki Ageng pemanahana-Red) di Desa Paremono, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, punya tampilan gerbang masuk yang menarik karena khas “Mataram”. (foto : iMMNews.id/dok)

Karena masyarakatnya memiliki kesadaran dan punya rasa hormat yang tinggi terhadap para leluhur peradaban, banyak sekali situs makam misalnya Astana Pajimatan Setono tempat Bupati Bathara Katong disemayamkan, hingga bekas tempat bermeditasi Sinuhun PB II yang diberi nama “Sinuhun Kumbul” di Desa Sawoo, Kecamatan Sawoo, hingga kini terjaga dan terawat dengan baik oleh masyarakat adat di sekitarnya. Salah satu unsur elemen yang memperkuat kesadaran dan rasa hormat itu, justru dari kalangan santri yang banyak belajar nilai-nilai keteladan leluhurnya, di antaranya Kyai Moh Khasan Besari, pendiri Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Kecamatan Jetis yang pernah menjadi guru spiritual Sinuhun PB II.

Kompleks Astana Pajimatan Tegalsari tempat bersemayam tokoh ulama besar Kyai Moh Khasan Besari itu, saat dikunjungi rombongan “Nyadran” dari kraton yang dipimpin Gusti Moeng, juga makin indah, terkesan baru dan dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang dibutuhkan para wisatawan spiritual religi. Semangat seperti ini memang masih langka, karena menyangkut biaya yang sangat besar ketika dibutuhkan untuk memugar kompleks makam dan melengkapi dengan berbagai prasarana, tetapi pekerjaan seperti itu bisa dilakukan lembaga Pemkab yang jelas diringankan bebannya karena kesejahteraan masyarakat di sekitar makam bisa terangkat oleh kedatangan para peziarah.

GERBANG CUNGKUP : Gerbang cungkup makam “raja” Adipati Honggo Sukowati di Desa Khol Pajung, Kecamatan Pamekasan, Kabupaten Pamekasan, juga tampak indah dan khas viewnya. Gusti Timoer dan rombongan sempat berfoto di depan gerbang itu, Minggu siang (19/3).  (foto : iMMNews.id/Won Poerwono)

“Pemugaran makam eyang Kyai Khasan Besari ini memang bisa jadi contoh bagi keluarga para tokoh leluhur di berbagai tempat lain. Tetapi jangan lupa, kalau memugar jangan sampai merusak atau membuang bagian-bagian yang asli peninggalan sejarah. Karena, rata-rata kompleks makam leluhur (Dinasti Mataram), sudah berumur di atas 50 tahun. Jadi sudah masuk lokasi yang dilindungi UU cagar budaya atau UU BCB No 11/2010. Papan nama yang asli, tolong dikembalikan. Karena itu yang menjadi salah satu hal meyakinkan unsur kepurbakalaan makam ini,” pinta Gusti Moeng kepada beberapa pengurus makam, seusai melakukan ritual “Caos Bhekti Tahlil” di situ, beberapa waktu lalu (iMNews.id, 27/2/2023).

Gusti Moeng sebagai representasi Kraton Mataram Surakarta yang selama ini menaruh perhatian besar terhadap upaya perawatan situs-situs makam dan petilasan leluhur Dinasti Mataram, tentu berterimakasih kepada para ahli waris tokoh leluhur yang bersedia membiayai pemugarannya. Tetapi, itu bukan berarti menjadi milik pribadi, karena situs-situs yang sudah dilindungi UU BCB, menjadi milik publik yang pengelolaan dan perawatannya menjadi tanggungjawab bersama berbagai pihak, termasuk Pemkab setempat, masyarakat adat setempat yang di dalamnya ada Pakasa cabang, kraton, Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) dan sebagainya.

BANGUNAN BARU : Muka bangunan Masjid Laweyan di kompleks Astana Pajimatan Ki Ageng Henis di Kelurahan Laweyan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, tampak seperti bangunan baru. Padahal, kompleks makam itu diyakini punya batas dan pintu masuk yang khas di zaman Mataram.  (foto : iMMNews.id/Won Poerwono)

Meski belum lama “ditemukan” tetapi sama-sama sudah mendapat perhatiannya, tetapi kondisinya agak berbeda ketika “nyadran” Astana Pajimatan Paremono di Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang dan kompleks Astana Pajimatan Khol Pajung di Kabupaten Pamekasan, Madura (Jatim). Sama-sama sudah dikunjungi belasa ribu orang dari luar daerah, bahkan luar provinsi, di saat bulan Ruwah seperti sekarang, tetapi makam Ki Ageng Paremono atau makam adik Ki Ageng Pemanahan punya penampilan luar yang megah, kokoh dan menarik karena khas “Mataram”.

Gusti Moeng memimpin rombongan kecil “Caos Bhekti Tahlil” di makam Ki Ageng Paremono (Paremana-Red), Sabtu (18/3), saat Pakasa Cabang Magelang bersama seluruh elemen masyarakat setempat menggelar hajadan “Sadranan Umum Makam Pucanganom: Caos Bhekti Tahlil” dalam dua hari, Sabtu dan Minggu (18-19/3). Sedangkan kompleks Astana Pajimatan Khol Pajung, baru tahun lalu mulai dipugar oleh Dinas Depdikbud Pemkab Pamekasan, yang dimulai dari cungkup makam “Raja” Adipati Honggo Sukowati, sedangkan cungkup makam mertua Sinuhun PB II yaitu Adipati Tjakra Adiningrat I yang ada di bawahnya, akan dipugar tahun ini. (Won Poerwono-bersambung/i1)