Prajurit Keraton Mataram Surakarta, Sebuah Atraksi Tentang Keindahan (2-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:January 26, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Rata-rata Sudah ”Matang”, Sulit Mendapatkan yang Muda Belia

IMNEWS.ID – DALAM sebuah perbincangan santai, seorang sesepuh (paranpara nata) Keraton Mataram Surakarta, KPH Broto Adiningrat (alm), pernah bertutur kepada iMNews.id, bahwa ketika NKRI lahir pada 17 Agustus 1945, Sinuhun PB XII menegaskan beberapa hal. Penegasan sebagai keputusan eksternal, adalah menyatakan ”nagari” Mataram Surakarta bergabung ke NKRI, sedang salah satu keputusan internalnya memberi kesempatan kepada semua abdidalem dan sentanadalem garap untuk memilih, tetap setiap mengabdi di keraton atau meneruskan pengabdiannya sebagai pegawai pemerintah NKRI.

”Keputusan itu diambil, karena ada tawaran dari pemerintahan NKRI. Siapapun abdidalem garap atau sentanadalem garap (termasuk para prajurit-Red), boleh mendaftarkan diri atau melimpah menjadi pegawai pemerintah NKRI. Ayah saya (KPH Daryonagoro/alm), memilih tetap suwita di keraton, sampai dipercaya menjabat Pengageng Parentah Keraton. Almarhum suwita sejak tahun 1930-an, saat Sinuhun PB X jumeneng,” ujar anak pertama dari 8 putra/putri KPH Daryonagoro (alm) yang bernama kecil RM Koes Rahardjo dan kini bernama KPHA Purbodiningrat, menjawab pertanyaan iMNews.id di tempat terpisah, beberapa waktu lalu.

Penjelasan dua tokoh tersebut menunjukkan bahwa, setelah ”nagari” Mataram Surakarta kehilangan kedaulatan politik dan wilayah kekuasaannya, tinggal menjadi sebuah lembaga Keraton Mataram Surakarta, bahkan oleh kalangan eksternal ”disederhakan” lagi menjadi Keraton Kasunanan Surakarta (mungkin saja) karena alasan tinggal ”sakmegroking payung”. Dengan begitu, menjadi pertanda bahwa sejak 17/8/45 itu, keraton sudah tidak lagi melakukan rekrutan ”pegawai” (abdidalem dan sentana garap) baru di berbagai ”bebadan” (departemen) yang ada.

Rata-rata Dari Pensiunan

”BERUSIA MATANG” : Para abdidalem prajurit yang rata-rata sudah berusia ”matang”, sedang bersiap-siap di halaman sebuah bank di Kota Ngawi, beberapa waktu lalu sebelum 2017, sebelum terlibat sebagai pengawal kirab keliling kota untuk peringatan Hari Jadi kabupaten di kawasan ”Mataraman” di Provinsi Jatim itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ketika dianalisis lebih lanjut, sejak Keraton Mataram Surakarta tidak lagi melakukan rekrutan ”pegawai” baru, berarti hanya memanfaatkan yang tersisa untuk menjalankan tugas di ”bebadan-bebadan” yang tersisa, yang masih menjalankan tugas rutin. Dengan begitu, keraton tidak lagi mendapatkan tenaga baru (pegawai) yang masih segar dan muda belia. Kalaupun ada, berasal dari kalangan keluarga besar (masyarakat adat) sendiri, yang sudah paham dan bisa menerima situasi dan kondisi yang serba terbatas dan hanya berlandaskan pengabdian semata.

Sejak 1945 sampai berakhirnya masa jumeneng Sinuhun PB XII (1945-2004), termasuk masa yang panjang, karena hampir 6 dekade. Dalam waktu sepanjang itu, sisa-sisa ”pegawai” yang tersedia khususnya yang berada di departemen pertahanan atau bregada prajurit, tentu berangsur-angsur berkurang banyak jumlahnya. Kini, prajurit yang usianya sudah tergolong ”matang” (50 tahun ke atas), adalah hasil rekrutan akhir tahun 1990-an atau awal 2000-an.

Itu berarti, prajurit yang tersisa dari awal Sinuhun PB XII jumeneng, bisa dipastikan sudah habis. Dan itu diakui KPA Winarno Kusumo (alm), dalam sebuah percakapan dengan iMNews.id (Suara Merdeka-Red) semasa masih menjabat Humas/Wakil Pengageng Sasana Wilapa di keraton. Kalaupun selama itu ada rekrutan, bisa dipastikan kebanyakan dari kalangan internal masyarakat adat, yang justru sudah berusia ”matang”, karena rata-rata berasal dari para pensiunan pegawai di berbagai instansi.

Kawula Muda “Kurang Tertarik”

DIPINJAM KECAMATAN : Bregada prajurit Jayengastra sedang bersiap-siap mengikuti kirab yang digelar Kecamatan Pasarkliwon, dalam rangka peringatan Hari Jadi Kota Surakarta, beberapa waktu lalu. Di kecamatan itu, terdapat kampung/Kelurahan bernama Jayengan, karena dulunya menjadi kompleks asrama prajurit Jayengastra ”nagari” Mataram Surakarta.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Keberadaan Pakasa di berbagai cabang yang mulai diaktifkan kembali sejak 2004 untuk memperkuat daya dukung mengantar jumenengnya Sinuhun PB XIII, menjadi penyedia cadangan bagi kebutuhan tenaga prajurit. Sejak itu, banyak para prajurit yang direkrut dari sana, meski sudah berusia ”setengah matang” hingga ”matang”, karena rata-rata dari mereka itu sudah bisa memahami situasi dan kondisi yang serba terbatas dan hanya berlandasakan pengabdian yang tulus ikhlas dan setyatuhu dalam ”pasuwitan”-nya.

Dengan realitas kondisi secara anatomis semacam itu, tentu saja berpengaruh terhadap penampilan bregada prajurit Keraton Mataram Surakarta seperti yang tampak sampai tahun 2017, lalu mengalami perubahan yang memprihatinkan setelah insiden 2017. Dengan sisa kekuatan yang ada, kira-kira tinggal 150-an personel atau sekitar separo dari jumlah utuh sebelum 2017, Lembaga Dewan Adat yang dipimpin Gusti Moeng tetap punya komitmen merawatnya dengan segala keterbatasan yang ada.

Melalui dinamika panjang dan ”keras” seperti itu, tidak aneh apabila penampilan bregada prajurit Keraton Mataram Surakarta selepas insiden 2017 sulit dikatakan sudah berestetika tinggi, atau memuaskan ketika dipandang mata sebagai sebuah atraksi dan objek pemandangan komoditas industri pariwisata. Tetapi, menjadi relitas yang sangat bisa dipahami seandainya kalangan kawula muda, yang masih produktif dari masyarakat umum, tidak begitu tertarik menjadi abdidalem bregada prajurit, terlebih dari kalangan milenial.

Pengabdian Tetap Relevan

PROTOKOL RUTIN : Kirab bregada prajurit Keraton Mataram Surakarta dengan rute Pendapa Pagelaran Sasanasumewa-Tugu Pemandengan (depan Balai Kota) mulai Minggu (16/1), selain sebagai sebuah atraksi wisata, juga tetap menjalankan protokol resmi yang berlaku, yaitu melapor kepada inspektur upacara, yang diwakili putra mahkota KGPH Mangkubumi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pada prinsipnya, upaya pelestarian budaya dan peradaban yang bersumber dari Keraton Mataram Surakarta, dalam lingkup aktivitas atraksi bregada prajurit sebagai salah satu lingkup terkecil sekalipun, sangat butuh komitmen yang tulus-ikhlas mengabdi secara konsisten dan berkesinambungan. Oleh sebab itu, dalam lingkungan seperti itu jelas bukan tempat bagi orang-orang yang berburu pekerjaan dengan gaji cukup atau berlebih, bukan tempat oknum-oknum tertentu dan kelompok-kelompok kepentingan yang membuat keraton ”kacau-balau” pada insiden 2017, dan memanfaatkan ”kekacauan” itu untuk berburu keuntungan bagi dirinya.

”Dari pengumuman rekrutan yang kami pasang kira2 selama sebulan, ada lebih dari 50 yang mendaftar. Tetapi hanya 43 orang yang memberi jawaban bersedia ikut. Dari jumlah itu, hanya 30 orang yang datang ikut latihan kirab, Minggu (16/1). Dari jumlah ini, nanti diseleksi lagi. Termasuk untuk menjawab munculnya pertanyaan soal gajinya berapa? Jam kerjanya bagaimana? dan sebagainya,” ujar KRT Cahyo Jayengnagoro, abdidalem prajurit yang ditugasi melakukan rekrutan calon prajurit baru, menjawab pertanyaan iMNews.id, di tempat terpisah.

Walau atas nama keperluan apapun, termasuk dijadikan ujung tombak daya tarik wisata sejarah di Kota Surakarta, dalam rangka membangkitkan kembali sektor industri pariwisata dalam skala nasional, sepertinya masih tetap relevan landasannya adalah pengabdian yang tulus ikhlas dan ”setyatuhu suwita” untuk budaya Jawa dan peradaban Mataram. Karena, itulah esensi sabdadalem Sinuhun PB X yang berbunyi :”Kuncara ruming bangsa, dumunung ana ing luhuring budaya”, yang sangat jauh dari anasir dan unsur-unsur komersial. (Won Poerwono-bersambung)