Kesepakatan BPUPK Jadi “Berbelok Arah” di Saat 16 Anggotanya Berduka Atas Wafatnya Sinuhun PB XI
IMNEWS.ID – PADA beberapa buku yang mencatat peristiwa proses lahirnya NKRI, mungkin buku berjudul “Suara Nurani Kraton Surakarta” yang ditulis Dr Sri Juari Santosa (dosen FMIPA UGM), adalah satu-satunya yang menulis paling lengkap dari sisi proses “peralihan kekuasaan”. Mungkin masih banyak judul buku lainnya, yang membahas dari sudut pandang masing-masing.
Jika sejumlah buku itu dirangkum, mungkin saja sajian data dan fakta serta suasana yang melatar-belakangi dan menyertainya, bisa melukiskan proses yang sungguh-sungguh sesuai peristiwa yang terjadi pada sekitar 17 Agustus 1945. Dan buku yang berjudul “Suara Nurani Kraton Surakarta”, menjadi paling mendekati kenyataan sesungguhnya, karena faktor kedekatan.
Mungkin faktor kedekatan dari lingkungan yeng terlibat dalam proses itu, Dr Sri Juari Santosa (dosen FMIPA UGM) bisa menyajikannya dengan lengkap dan detil dari sudut pandangnya. Karena penulis adalah putra KPH Wiradiningrat, yang terakhir menjabat sebagai Pengageng Parentah Kraton Mataram Surakarta, di akhir-akhir Sinuhun PB XII jumeneng nata (1945-2004).
Dengan kedekatan seperti itu, penulis tentu banyak memiliki kekayaan data lebih detil pada peristiwa proses peralihan kekuasaan sekitar 17 Agustus 1945 itu. Karena, KPH Wiradiningrat adalah pejabat abdi-dalem yang tetap bertahan mengabdi di kraton, hingga akhirnya dilantik menjadi pejabat Pengageng Parentah Kraton oleh Sinuhun PB XII menggantikan KPH Daryonagoro.
Seperti sering disebutkan Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA), beberapa waktu setelah NKRI lahir, pemerintahan Soekarno-Hatta meminta sebagian besar pegawai kraton untuk bekerja sebagai “PNS” (kini ASN-Red). Terutama yang bekerja di Departemen Agama atau kini Kemenag, yang mirip “membedhol” semua struktur departemen sampai di tingkat KUA itu.
Bagi yang tidak mau menerima tawaran itu, disebut Gusti Moeng tetap mengabdi di kraton atau bertahan sebagai pegawai pemerintahan eksekutif di Kepatihan yang kini menjadi Kalurahan Kepatihan Wetan dan Kulon, Kecamatan Banjarsari. Seperti diketahui, pusat perkantoran eksekutif Mataram Surakarta itu dihancur-leburkan oleh berbagai elemen kekuatan pada tahun 1949.
Walau peristiwa proses “peralihan kekuasaan” banyak terjadi di Jakarta yang ditetapkan menjadi Ibu Kota NKRI sejak Proklamasi Kemerdekaan RI terjadi, tetapi buku itu tetap paling banyak mengungkap data dan fakta lebih riil, tentang bagaimana proses “peralihan kekuasaan” itu terjadi antara “nagari” atau Kraton Mataram Surakarta dengan NKRI.
Karena senyatanya, proses peralihan kekuasaan itu memang banyak diwakili oleh Kraton Mataram Surakarta sebagai kerajaan terakhir di Nusantara yang terbesar dan yang diakui negara-negara di dunia. Peristiwa perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (Belanda) September-Desember 1949, membuktikan posisi dan peran kraton terhadap eksistensi NKRI.
Karena, di forum itu Sinuhun PB XII “dipaksa” untuk menandatangani perjanjian yang esensinya sebagai bukti bahwa kraton sebagai “negara” yang mendukung Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan mengakui lahirnya NKRI. Inilah peristiwa yang perlu dipahami dengan penalaran yang sehat, bahwa “peralihan kekuasaan” yang dimaksud adalah antara kraton kepada NKRI.
Hal yang disebut dengan proses “peralihan kekuasaan” tentu merujuk pada kalimat bagian akhir dari teks Proklamasi Kemerdekaan yang dibaca Soekarno-Hatta di Jalan Pegangsaan Timur itu. Soal apa di mana berita acara yang berisi penjelasan soal peralihan kekuasaan, seperti apa bunyinya dan menunjuk pada kekuasaan di bidang apa dan sebagainya, tentu masih menjadi misteri besar.
Kini, sudah 79 tahun peristiwa peralihan kekuasaan itu lewat, akankah hal-hal penting menyangkut nasib “pihak yang mengalihkan kekuasaan” itu akan tetap menjadi misteri? Sampai kapan lagi bangsa ini dibiarkan buta terhadap misteri asal-usul kekuasaan yang dialihkan itu?. Mengapa perjalanan bangsa ini harus menyimpan misteri eksistensi jatidiri asal-usul negaranya?.
Di sela-sela ritual haul wafat Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, Kamis(8/8) lalu, Gusti Moeng kembali mengungkapkan bahwa dirinya mendapatkan risalah sidang BPUPK, saat bersama para anggota Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN) mengikuti kursus tentang konstitusi yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) di Bogor, sekitar 2 tahun lalu. Isinya, sungguh mencengangkan.
Risalah sidang BPUPK menegaskan, bahwa sebagian besar peserta sidang bersepakat pada sejumlah keputusan yang diambil. Di antaranya mengenai bentuk negara, yang disepakati adalah “Negara Kerjaan/Monarki” yang dipimpin seorang Perdana Menteri. Tetapi sidang-sidang yang berlangsung beberapa bulan menjelang 17 Agustus 1945 itu, hasil akhirnya harus “berbelok arah”.
Secara mengejutkan, Sinuhun PB XI wafat pada tanggal 1 Juni 1945 di saat-saat para anggota BPUPK menjalani serangkaian sidang untuk mempersiapkan bentuk negara, model kepemimpinan, dasar negara dan sebagainya. Sinuhun PB XI yang lahir pada 1 Februari 1886, sebenarnya sangat diharapkan menuntaskan semua yang dirintis ayahandanya, Sinuhun PB X, yang meletakkan semua landasan.
Banyak “PR” Sinuhun PB XII dan 79 anggota BPUPK termasuk 16 tokoh cerdik-pandai utusan Kraton Mataram Surakarta, belum tuntas terumuskan apalagi diwujudkan cita-cita luhur yang sudah disepakati badan. Tetapi, berita duka “memaksa” para utusan BPUPK harus pulang ke Surakarta untuk melayat. Di saat itulah, nama BPUPK berganti PPK dan banyak kesepakatan jadi berbelok arah. (Won Poerwono-bersambung/i1)