Ritual Ngisis Wayang Menjadi Ajang Studi Para Mahasiswa Sebelum Sasana Pustaka Dibuka (seri 5-habis)

  • Post author:
  • Post published:May 28, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Ritual Ngisis Wayang Menjadi Ajang Studi Para Mahasiswa Sebelum Sasana Pustaka Dibuka (seri 5-habis)
MENGIRIM PESAN : Tak sekadar menggelar ritual "ngisis wayang padintenan", Kamis 18/5 lalu, melalui aktivitas adat merawat pusaka leluhur sekotak wayang Kiai Pramukanya aset Kraton Mataram Surakarta itu, Gusti Moeng menyampaikan banyak pesan, antara lain soal tokoh Resi Durna di tangannya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

KP Probonagoro : “…Sekarang Sudah Aman, Sengkuninya Sudah Tertangkap…”

IMNEWS.ID – KEBERADAAN Kraton Mataram Surakarta beserta seluruh aset koleksinya yang “tangible” maupun “intangible” termasuk karya-karya seni budaya Jawa yang bersumber dari kraton, perlu “dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran” warga peradaban secara luas, khususnya anak bangsa ini. Salah satu manfaat kraton untuk mewujudkan kemakmuran itu, adalah transfer knowledge agar warga peradaban menjadi insan yang berilmu/pengetahuan, berbudaya, peka karena teredukasi spiritual kebatinannya, bahkan spiritual religinya karena Mataram Surakarta penerus Mataram Islam.

Posisi ideal seperti itulah yang mulai ditandaskan Gusti Moeng melalui berbagai peristiwa upacara adat yang digelar sejak “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” 17 Desember 2022, dan fungsi-fungsi serta peran kraton seperti itulah yang sedang diintensifkan tata-laksananya sejak dirinya kembali bertugas penuh sebagai Pengageng Sasana Wilapa. Oleh sebab itu, sangatlah tepat dan wajar kalau peristiwa ritual “ngisis wayang gedhe” tiap weton Anggara Kasih maupun “ngisis wayang padintenan” tiap Kamis menjadi ajang studi lapangan kalangan kampus atau lebih luas lagi.

KOMPOSISI WARNA : Sebagian isi dari sekotak wayang Kiai Sri Wibawa karya pada zaman Sinuhun PB X (1893-1939), sudah menunjukkan bagaimana teknologi pewarnaan sudah berkembang, sehingga komposisi warna anak wayang yang “diisis” dalam ritual, Kamis (25/5), tampak sangat indah. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Di satu sisi, Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa yang juga Ketua Lembaga Dewan Adat, mengintensifkan pelaksanaan upacara adat disertai peningkatan sikap disiplin dan tertib serta patuh pranata adat atau yang bersifat konsolidasi/pembinaan ke dalam. Di sisi lain, ada pesan disampaikan bahwa peristiwa-peristiwa ritual terutama “ngisis wayang”, sangat tepat dan layak menjadi sarana transfer knowledge bagi publik secara luas dengan tatacara yang proporsional sesuai kebutuhannya.

Peningkatan sikap disiplin dan tertib itu, terlihat sekali saat ritual “ngesis wayang gedhe” Kanjeng Kiai Kadung digelar di “gedhong” Sasana Handrawina pada Selasa Kliwon, (9/5) lalu. Tatacara aturan adat harus ditegakkan dengan disiplin yang ketat, terutama yang menyangkut busana yang dikenakan. Karena, untuk ritual itu, semua abdi-dalem dan sentana petugas ritual harus mengenakan beskap warna hitam dan keris “Gayaman”. Dan karena Wakil Pengageng Mandra Budaya “lupa” mengenakan busana adat itu, maka secara konsekuen tetap berada di luar ruang ritual.

MENJAGA KETAATAN : Peristiwa ritual “ngisis wayang” pusaka Kanjeng Kiai Kadung tiap weton Anggara Kasih (selasa Kliwon) yang mulai diintensifkan Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa” selepas Lebaran belum lama ini, juga menunjukkan komitmennya menjaga ketaatan aturan bagi para abdi-dalem yang bertugas, khususnya soal berbusana adat. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Penegakan disiplin dan tatatertib aturan adat secara internal, menjadi komitmen Gusti Moeng yang selama lima tahun lebih (2017-2022) “menyaksikan” pelaksanaan berbagai upacara adat yang nyaris “asal terwujud” kalau tidak boleh disebut “awur-awuran” atau menyimpang dari aturan adatnya. Mulai dari tata-laksana prosesi kirab pusaka 1 Sura yang “disusupkan”, penggunaan busana adat yang tak sesuai ketentuan jenis upacaranya, proses perekrutan dan tata-laksana penyajian tari Bedaya Ketawang yang jauh di luar paugeran adat dan sebagainya.

Oleh sebab itu, melalui momentum “insiden Gusti Moeng kondur ngedhaton” dan kembali bekerja penuh pada jabatan Pengageng Sasana Wilapa, anak ke-25 yang diberi “jejuluk” Putri Mbalela oleh sang ayah, Sinuhun PB XII karena menentang rencana pembangunan hotel di Tursinapuri itu berketetapan ingin memulai menegakkan paugeran adat dari dalam. Penegakan disiplin dan ketertiban di kalangan abdi-dalem dan sentana dalam menjalankan semua upacara adat sesuai aturan adat yang ada, adalah target upaya mengembalikan harkat, martabat dan kewibawaan kraton.

LEBIH LONGGAR : Berbeda dengan “ngisis wayang gedhe (pusaka)” tiap Anggara Kasih, kesempatan “ngisis wayang padintenan” dari kotak Kiai Sri Wibawa, Kamis lalu, persyaratan bagi para abdi-dalem petugas ritual lebih longgar. Mereka diizinkan mengenakan beskap warna-warni seperti yang tampak. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pesan berikut yang disampaikan Gusti Moeng melalui serentetan upacara adat, baik “ngisis wayang”, “gladen” tari Bedaya Ketawang dan sebagainya terwakili melalui dua tokoh terkenal dari kerajaan Astinapura, yaitu Patih Sengkuni dan Resi Durna yang diperlihatkan kepada iMNews.id saat “ngisis wayang” Kiai Pramukanya (iMNews.id, 18/5). Karena saat itu, dia memperlihatkan dua tokoh “antagonis” dalam dunia pewayangan Mahabharata, yang disebutnya sebagai tokoh perusak (paugeran adat-Red) kraton. Orang-orang seperti itulah yang dipersepsikan telah merusak nama baik kraton.

Dan mendengar kabar tentang Gusti Moeng menggelar ritual “ngisis wayang” dengan memperlihatkan tokoh Resi Durna dan Patih Sengkuni, ada pengurus Pakasa Cabang dari Kabupaten yang bersukacita menanggapi berita itu. Kepada iMNews.id, belum lama ini, KP Probonagoro selaku Ketua cabang menyatakan gembira karena tokoh “Sengkuni” dan “Durnanya” sudah “tertangkap” Gusti Moeng. “…Sekarang Sudah Aman, Sengkuninya Sudah Tertangkap…”, ujar singkat KP Probonagoro.

TERLALU LAMA : Karena diduga terlalu lama tidak dikeluarkan dari tempat penyimpanan “gedhong” Lembisana untuk dalam ritual “ngisis wayang” lebih 5 tahun sejak 2017, beberapa kotak wayang Kiai Sri Wibawa dilubangi tikus untuk bersarang di dalamnya, bahkan “menyantap” sebagian kaki kuda wayang “Rampogan”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dari sikap konsistensi dan komitmen Gusti Moeng untuk mengembalikan harkat, martabat dan kewibawaan Kraton Mataram Surakarta melalui proses penegakkan disiplin dan ketertiban menjalankan aturan adat di kalangan internal, secara tidak langsung merupakan kerja ekstra keras yang sangat banyak menguras energi dalam berbagai bentuk, terutama secara fisik dan waktu. Di sinilah Gusti Moeng sempat mengungkapkan suasana hati kurang lega, karena sebagian besar tokoh generasi ketiga atau “wayah-dalem”, tak ada yang mau tampil menggantikan porsi-porsi kerja yang ada.

“Gawean kaya sing kula urusi niki, pancen gaweanne wong wedok. Merga, tuntutane kesabaran lan ketelitian, juga ketegasan. Upami mbakyu-mbakyu tasih enten, kula rada entheng. La sakiniki, Gusti Timoer (GKR Timoer Rumbai-Red) mpun ketingal. Gusti Devi (GRAy Devi Lelyana Dewi-Red), nggih mpun gelem melu nyambut gawe. Padahal, gawean enten kraton niku akeh banget. Ponakan-ponakan lanang nika nggih mboten padha gelem ngetok. Padahal, saget latihan, saget diajari para abdi lan sentana sepuh. Yen ngene iki terus, piye iki..?,” seloroh Gusti Moeng. (Won Poerwono-habis/i1)