Kirab Pusaka Pergantian Tahun Jawa/Hijriyah Kembali “Mendapatkan Perhatian” Masyarakat Luas

  • Post author:
  • Post published:July 8, 2024
  • Post category:Regional
  • Reading time:11 mins read
You are currently viewing Kirab Pusaka Pergantian Tahun Jawa/Hijriyah Kembali “Mendapatkan Perhatian” Masyarakat Luas
BARISAN TERDEPAN : KGPH Hangabehi yang "diralat" menjadi KGPH Mangkubumi, berada di barisan terdepan pusaka 1 kirab pusaka menyambut Tahun Baru Jawa/Hijriyah, Minggu malam (7/7) atau di malam 1 Sura/1 Muharam yang digelar Kraton Mataram Surakarta, semalam. (foto : iMNewws.id/Won Poerwono)

Tampilnya Mahesa Bule Keturunan Kiai Slamet, Tetap Jadi Ikon Khas yang Tiada Duanya di Dunia

SURAKARTA, iMNews.id – Setelah berkurang drastis sampai tahun 2023 lalu, upacara adat kirab pusaka yang digelar Kraton Mataram Surakarta untuk menyambut pergantian Tahun Jawa/Hijriyah tepat di malam 1 Sura pada Minggu, 7 Juli 2024, semalam, mulai menampakkan perkembangan suasana positif khususnya soal animo masyarakat yang menyaksikan ritual itu.

Dari pantauan iMNews.id sejak siang hingga kirab berlangsung maupun menjelang berakhir, Senin dini hari tadi sekitar pukul 03.00 WIB, menunjukkan animo pengunjung yang datang dari berbagai daerah di sekitar Surakarta. Di sejumlah titik kerumunan massa tampak mulai pukul 21.00 WIB, hingga prosesi kirab keluar dari kraton sekitar pukul 12.00 WIB, dini hari tadi.

Pusat-pusat kerumunan itu masih tampak di seputar perempatan Gemblegan yang terhubung dengan jalur lalu-lintas menuju Kabupaten Sukoharjo, Wonogiri dan Klaten. Demikian pula bagi masyarakat yang tinggal di arah barat Gemblegan, sampai masuk wilayah Kabupaten Sukoharjo dan Klaten. Titik kerumunan perempatan Gading, adalah jalur ke luar kota arah timur dan selatan.

Sedangkan titik kerumunan di perempatan Sampangan dan Sangkrah (Kecamatan Pasarkliwon), adalah jalur yang menguhubungkan ke Kabupaten Sukoharjo utara, Karanganyar dan Sragen. Di situ, kerumunan cukup menghabiskan ruang publik yang ada, bahkan sampai meluber ke barat hingga jalan Jendral Soedirman dan selatan Kolonel Suprapto yang terhubung dengan Sampangan dan Sangkrah.

Sedangkan titik kerumunan di seputar perempatan Gladag, lemayan rapat dan padat karena menampung masyarakat yang datang dari arah Surakarta bagian utara, Kabupaten Sragen dan Karanganyar bagian utara dan barat. Sementara titik kerumunan perempatan Nonongan, cukup rapat dan padat karena menampung massa dari arah barat Kartasura dan Boyolali, bahkan Klaten dan Sragen.

Titik kerumunan juga terjadi di perempatan Secoyudan, bahkan Kalilarangan, karena selain pendatang dari luar kota, masyarakat setempat ada yang menggelar hiburan keroncong dan musik religi menyambut Tahun Baru Hijriyah 1446, tepat di malam 1 Muharam, Minggu (7/8) semalam. Namun, “perhatian” publik yang mulai “kembali” ini tidak bisa dimaknai sebagai kembalinya “kesadaran”.

MENAHAN BARISAN : Gusti Moeng dan KPH Bimo Djoyo Adilogo menahan laju barisan terdepan pembawa pusaka 1 di depan pintu Kori Kamandungan, karena kawanan mahesa keturunan Kiai Slamet belum siap. Momentum itu terjadi pada kirab menyambut Tahun Baru Jawa/Hijriyah, tepat 1 Sura/1 Muharam, Minggu (7/7)semalam. (foto : iMNewws.id/Won Poerwono)

“Saya setuju, kalau munculnya kembali kunjungan warga untuk menyaksikan kirab pusaka itu disebut belum tentu kembali sepenuhnya dengan kesadaran untuk ngalab berkah. Karena, mereka itu adalah generasi yang berbeda dengan yang hadir 10-15 tahun lalu. Kalau saya lihat, banyak yang sekadar untuk kesenangan, bisa selfie dan berfoto bersama objek kirab”.

“Tetapi, secara umum bisa membuat ayem pihak-pihak yang selama ini bekerja keras untuk melestarian budaya Jawa dan nilai-nilainya. Nilai spiritual kebatinan dan nilai kesakralan malam pergantian Tahun Jawa dan Hijriyah, menjadi inti peristiwa kirab pusaka itu. Tetapi, bagi masyarakat yang hadir itu, masih jauh ke arah sana,” ujar Dr Purwadi, semalam.

Peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja (Ketua Pusat) itu, semalam bersama iMNnews.id mengikuti jalannya upacara kirab pusaka di Kraton Mataram Surakarta. Selain sempat melihat beberapa titik kerumunan, peneliti sejarah yang melakukan kajian khusus tentang Mataram Surakarta itu, datang sejak siang untuk megikuti beberapa tahapan penting proses tatacara kirab.

Tahapan proses tatacara upacara adat kirab pusaka menyambut Tahun Baru 1958 Je sekaligus Tahun Baru Hijriyah 1446 di malam 1 Sura atau 1 Muharam, semalam dimulai dengan kenduri wilujengan Wuku Dhukut yang bersamaan dengan haul wafat Sinuhun PB X yang digelar di topengan Maligi, Pendapa Sasana Sewaka. Donga kenduri dimulai pukul 21.15 WIB hingga pukul 22.00 WIB.

“Donga kenduri” yang dipimpin Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA), melibatkan lebih 100 “Kanca Kaji” utusan beberapa Pakasa cabang, seperti dari Kabupaten Kudus, Pati, Jepara, Ponorogo dan lainnya. Lebih separo abdi-dalem Kanca Kaji tampak mengenakan kostum serba putih, seperti KRA Panembahan Didik (Pakasa Kudus) dan KRAT Mulyadi Puspopustoko (Pakasa Pati).

Donga kenduri wilujengan di topengan Maligi yang dilanjutkan dengan tahlil, dzikir, shalawat Sultanagungan dan syahadat Quresh, dipimpin abdi-dalem juru-suranata RT Irawan Wijaya Pujodipuro. Berbagai uba-rampe kenduri wilujengan digelar di tiga meja panjang yang ditata membujur dari utara ke selatan atas arahan Gusti Moeng.

MASIH BERULAH : Walau dihibur dengan menu makanan kesukaannya, ketela, kawanan mahesa pusaka keturunan Kiai Slamet yang disiapkan d depan topengan Koti Kamandungan masih terus berulah ketika hendak diberangkatkan untuk menjadi “cucuk lampah” kirab pusaka menyambut Tahun Baru Jawa/Hijriyah, Minggu (7/7)semalam. (foto : iMNewws.id/Won Poerwono)

Selesai donga kenduri wilujengan Wuku Dhukut dan haul, di Bangsal Parasedya terdengar dua juru pambiwara yaitu KP Budayaningrat dan KP Siswanto Adiningrat membacakan nama-nama petugas ngampil, nyumbul dan mbuntar pusaka. Pergantian acara dari tahap ke tahap, termasuk dimulainya acara menjelang kirab, diatur dengan gendhing-gendhing sepasang gamelan pusaka.

KPH Raditya Lintang Sasangka selaku “tindhih abdi-dalem” yang bertugas menyajikan gendhing-gendhing pisowanan kirab pusaka, berfungsi sebagai pengatur lalu-lintas acara. Sepasang gamelan Kiai Mangunharja dan Kiai Harja-Binangun yang ada di lorong antara Pendapa Sasana Sewaka dan gedhong Sasana Handrawina, ditabuh untuk memandu berbagai upacara adat penting.

Tetapi, pada persiapan kirab pusaka semalam, hadir teknologi alat mengatur lalu-lintas acara, yaitu seperangkat sound system. KP Budayaningrat dan KP Siswanto Adiningrat memanfaatkan sound system itu untuk memanggil para petugas “ngampil”, “mbuntar” dan “nyumbul” pusaka, bahkan termasuk para warga yang “ngayab” (mengiringi) di belakangnya.

Perangkat teknologi modern sound system yang “pelan-pelan” mulai masuk ke dalam sistem kerja di kraton itu, terdengar jelas dan indah “message” yang disampaikan dan banyak manfaatnya ketika digunakan KP Budayaningrat dan KP Siswanto Adiningrat. Tetapi, ketika terdengar ada suara wanita yang menyela dan terkesan “membantu” mengabsen petugas, justru “mengecewakan”.

Suara wanita yang ternyata salah seorang “putri dalem” itu, mengabsen para petugas dengan nada kalimat yang jauh dari etika dan estetika, karena nuansa gaya bicaranya “prokem Jakarta”. Ketika menyebut gelar, tak diucapkan lengkap, tetapi hanya singkatan saja, yang terkesan kurang menghargai makna gelar yang dimiliki para abdi-dalem yang notabene kawula kraton itu.

“Sayang sekali. Saya sangat menyayangkan. Karena, tutur-kata dan gaya bicara bahasa Jawa Kraton Mataram Surakarta itu, dijadikan pathokan dan panutan masyarakat luas lo. Tetapi, terserah saja kalau cara dan model seperti yang dianggap benar. Karena, hal-hal yang menyimpang dan sempat saya luruskan, katanya itu era Sinuhun yang sekarang,” ujar KP Budayaningrat.

DONGA WILUJENGAN : Gusti Moeng ikut sibuk menata segala macam uba-rampe upacara adat donga kenduri wilujengan Wuku Dhukut malam Tahun baru Jawa/Hijriyah, 1 Sura/1 Muharam sekaligus haul wafat Sinuhun PB X di topengan Pendapa Sasana Sewaka. Peristiwa itu berlangsung sebelum barisan kirab pusaka dilepas pukul 23.30 WIB, semalam. (foto : iMNewws.id/Won Poerwono)

Nada kesal dan akal sehatnya sulit bisa menerima, diungkapkan KP Budayaningrat yang meninggalkan tempat tugas lebih cepat sebelum seluruh rangkaian persiapan pengaturan petugas para pembawa pusaka selesai. Begitu persiapan para petugas selesai, barisan kirab dilepas dari Bangsal Parasedya, dan pusaka pertama di barisan depan diiringi para wayah-dalem Sinuhun PB XII.

Barisan pusaka pertama yang di dalamnya ada KGPH Hangabehi yang malam itu “diralat” menjadi KGPH Mangkubumi dan KRMH Suryo Manikmoyo, sempat diberhentikan Gusti Moeng dan KPH Bimo Djoyo Adilogi sesampai di Kori Kamandungan. Menunggu sekitar 15 menit, baru kemudian dipersilakan jalan, karena ternyata kawanan mahesa Kiai Slamet masih tampak meronta belum siap jalan.

Mendektai pukul 12.00 WIB, barisan pusaka pertama keluar dari Kori Kamandungan mengikuti enam mahesa keturunan Kiai Slamet sudah mulai bergerak menuju Kori Brajanala Lor (Lawang Gapit Lor). Beberapa saat setelah satwa ikon khas kraton yang tiada duanya itu berjalan sebagai “cucuk lampah” kirab, pengunjung memenuhi sekitar topengan Kori Kamandungan mulai beraksi.

Aksi para pengunjung yang mayoritas usia muda itu, adalah rebutan janur penghias “list-plang” topengan Kori Kamandungan, yang biasa disebut sebagai “ngalab berkah”. Tetapi janur penghias itu sudah ludes, sebelum 12 pusaka habis dikirabkan. Padahal, sinyal yang diberikan kepada panitia, Sinuhun akan mengeluarkan 15 songsong (payung) yang identik dengan jumlah pusaka.

Dari “promo” akan dikeluarkan 15 songsong yang bisa dimaknai untuk memasyungi 15 pusaka, tetapi semalam yang terwujud hanya 12 pusaka. Selain sentana-dalem KPP Haryo Sinawung Waluyo Putra yang “ngampil” pusaka tombak, tampak beberapa utusan Pakasa cabang, misalnya Jepara, juga ikut membawa pusaka untuk dikirabkan menyusuri rute di luar tembok Baluwarti sejauh 6 KM.

Rombongan 30-an orang dari Pakasa Cabang Magelang yang dipimpin ketuanya, KRT Bagiyono Rumeksonagoro, ikut bergabung sebagai “pengayab” salah satu pusaka yang dikirabkan. Demikian pula Pakasa Cabang Ngawi, Ponorogo, Trenggalek, Klaten, Madiun, Malang dan Pacitan. Ada beberapa yang absen, termasuk Pakasa Cabang Tegal yang sedang berduka, karena KRAT Subagyo Teguh meninggal.

SANGAT TERASA : Suasana hening sangat terasa saat berlangsung donga kenduri wilujengan Wuku Dhukut pergantian Tahun Jawa/Hijriyah di malam 1 Sura/Muharam, Minggu (7/7), di topengan Pendapa Sasana Sewaka, semalam. Tak hanya di tempat para abdi-dalem Kanca-Kaji berdoa dan tahlil, di halamanpun keheningan itu juga terasa. (foto : iMNewws.id/Won Poerwono)

Dari daftar yang diterima panitia, ada 12 Pakasa cabang yang tercatat hadir tetapi dimungkinkan ada yang menyusul dan belum tercatat. Pakasa Punjer pernah menetapkan 30-an pengurus Pakasa cabang, tetapi banyak yang tidak aktif bahkan vakum. Di antaranya Pakasa Tegal, yang direbut “kesetiaannya dalam tugas”, hingga KRAT Subagyo Teguh (Ketua Cabang) sakit, dan wafat.

Begitu seluruh barisan kirab yang melibatkan seribuan orang berangkat menjalani rute kirab, di dalam kraton berlangsung shalat hajad di Pendapa Magangan. KPP Sinawung membenarkan, shalat hajad yang menyertai kirab pusaka, dulu selalu diadakan di Masjid Pudyasana yang dekat dengan kediaman Sinuhun. Tetapi hingga tahun ini, “tidak diizinkan” untuk shalat hajad.

Referensi yang didapat KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo MFil-I, abdi-dalem “Kanca Kaji” dari Pakasa Cabang Ponorogo, sejak dulu Sinuhun selalu dikelilingi abdi-dalem “Kanca Kaji” sesuai dengan simbol Kraton Mataram Islam. Itu merupakan kewajiban Sinuhun yang menjadi Raja Mataram Islam, seperti pada peristiwa pada malam 1 Sura seperti tadi malam. (won-i1).