Stigma Negatif Mulai Muncul di “Bumi Pati”, Sebagai Paradigma Baru di Alam Republik  (seri 2 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:June 27, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Stigma Negatif Mulai Muncul di “Bumi Pati”, Sebagai Paradigma Baru di Alam Republik  (seri 2 – bersambung)
MENDAPAT PRIORITAS : "Bumi Pati" selalu mendapat perhatian dan prioritas khusus dari "Bebadan Kabiner 2004" dan Lembaga Dewan adat, mengingat banyak tokoh leluhur Dinasti Mataram bersemayam di wilayah kabupaten ini. Contohnya, ritual haul Pangeran Benawa I, walau perlu "perjuangan" untuk menjangkau makamnya, tetap dilakukan Gusti Moeng. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pengurus Pakasa Pati “Prihatin”, Karena Kecamatan Sukolilo Bagian dari “Lumbung Tokoh”

IMNEWS.ID – PERISTIWA upacara adat “khol” atau haul wafat Pangeran Benawa I yang digelar pengurus makam dengan pengurus Pakasa Cabang Pati, belum lama ini (iMNews.id, 19/6), memang sama sekali tidak membahas soal stigma negatif berbunyi “Sukolilo Sarang Maling” seperti yang tuduhan pihak-pihak tertentu melalui media sosial, beberapa waktu lalu.

Tetapi, melihat tanda-tanda di wajah semua yang hadir khususnya warga Kabupaten Pati, suasana batinnya masih tampak prihatin dan sedih sebagai ekspresi atas peristiwa yang memilukan di Sukolilo. Karena akibat peristiwa itu, muncul stigma negatif yang disebar melalui medsos, dengan tuduhan yang benar-benar menjadi tekanan/beban psikologis warga Pati.

Ekspresi seperti itu, setidaknya diungkapkan KRAT Mulyadi Puspopustoko selaku Ketua Pakasa Cabang Pati, saat dimintai komfirmasi iMNews.id melalui telepon, siang tadi. Bahkan, KRT Nurqusaini (Sekretaris Pakasa), KRT Syahroni (Bendahara) dan Mujiyono (warga) di tempat terpisah, juga menyatakan sedih karena adanya tudingan itu.

BESAR JASANYA : Ki Ageng Penjawi yang disebut sebagai leluhur masyarakat Pati, ternyata tokoh leluhur Dinasti Mataram ini yang ditunjuk untuk “mengayomi” dan “mengamankan” para leluhur keturunan Prabu Brawijaya V yang banyak bermukim di wilayah Kabupaten Pati. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Atas nama pribadi dan sebagai pengurus Pakasa Pati, saya sangat keberatan dan prihatin atas label negatif kepada Sukolilo sebagai desa maling, desa bandit dan sarang penadah kendaraan bodong. Tuduhan yang didasarkan atas satu kasus yang diduga pelakunya hanya segelintir orang, tetapi dampaknya dirasakan seluruh masyarakat Kabupaten Pati”.

“Kalaulah benar, yang diduga pelakunya hanya di satu desa. Tetapi yang disebut adalah Sukolilo yang bisa berarti satu kecamatan. Kami justru bertanya, mengapa tidak melibatkan aparat berwajib untuk melacak/menangkap? Mengapa kemudian ada tudingan negatif diarahkan ke Sukolilo yang notabene ada di Kabupaten Pati?,” sebut KRT Nurqusaini bertanya-tanya.

Menurut Sekretaris Pakasa Cabang Pati yang kesehariannya berprofesi sebagai pendidik itu, Pati sudah lama dikenal sebagai daerah berbudaya yang aman dan damai. Peristiwa itu memang hanya “setitik nila” yang tidak bisa digeneralisasi untuk semua warga Sukolilo, apalagi Pati, walaupun dampak psikologisnya juga bisa dirasakan seluruh masyarakat kabupaten.

PEPUNDEN SUKOLILO : Sunan Prawata yang merupakan Raja ke-4 Kraton Demak (abad 15) itu, menjadi pepunden masyarakat (Kecamatan) Sukolilo yang juga tokoh kebanggaan masyarakat Kabupaten Pati. Cungkup makamnya tampak belum selesai tuntas, tetapi KRA Panembahan Didik Gilingwesi (Ketua Pakasa Kudus) tak segan menziarahinya. (foto : iMNews.id/Dok)

Pernyataan sikap pengurus Pakasa di luar forum ritual haul Pangeran Benawa I itu, memang tidak terkoneksi langsung dengan yang diungkap Gusti Moeng dalam “sesorah” (sambutan) singkatnya, menutup ritual haul, Selasa (18/6) sore itu. Karena, Pangarsa LDA lebih banyak mengungkap sisi Pangeran Benawa I yang menurunkan tokoh penting dari garis wanita atau istri.

Namun, ketika dicermati antara esensi persoalan yang “diprotes” para pengurus Pakasa Cabang Pati dan esensi kehadiran Gusti Moeng yang selalu ingin memuliakan para leluhurnya di Pati, tentu ada kaitan eratnya atau terkoneksi. Karena,  stigma negatif yang bisa merendahkan “kualitas masyarakat” Pati, juga bisa merendahkan para tokoh leluhur dinasti.

Karena di Kecamatan Sukolilo, ada beberapa tokoh leluhur Dinasti Mataram yang di makamkan di situ, yaitu Sunan Prawoto di Desa Prawoto, Buyut Sriyah di Desa Wotan dan Nyi Mas Rara Semangkin yang juga di Desa Wotan. Mereka itu berasal dari keluarga besar Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Tarub, tokoh berpengaruh dalam syi’ar Islam di luar tugas para Wali Sanga.

KIRAB BUDAYA : Kirab budaya dalam rangka haul wafatnya Raja ke-4 Kraton Demak, Sunan Prawata di Desa Prawoto, Kecamatan Sukolilo, tahun lalu, masih membuktikan bahwa kebesaran nama tokoh itu masih menebarkan nilai-nilai kehidupan berbudaya (Jawa) yang penuh keindahan, bukan stampel negatif yang tidak seharusnya diberikan kepada Sukolilo. (foto : iMNews.id/Dok)

“Bumi Pati”, identik dengan Ki Ageng Penjawi karena secara langsung atau tidak “mendapat tugas” dan “tanggung-jawab” dari Sultan Hadiwijaya (Raja Kraton Pajang) untuk melindungi wilayah “Bumi Pati”. Ketika ditelaah lebih jauh, “Bumi Pati” faktanya mengesankan sekali sebagai “base camp” sejumlah tokoh leluhurnya keturunan Raja Kraton Majapahit, Brawijaya V.

Dalam kajian sejarah Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat di Jogja), “Bumi Pati” dan daerah-daerah di wilayah Gunung Muria dan di sepanjang pegunungan kapur Kendeng utara, adalah jalur utama perjalanan “penyelamatan” (escape-Red) keluarga keturunan Prabu Brawijaya V. Sekaligus, sebagai wilayah pengembaraan dan penyebaran pengaruh tokoh-tokohnya.

Bahkan tak hanya “Bumi Pati” dan daerah lain di kawasan Gunung Muria, tiga kabupaten lain yaitu Grobogan, Blora dan Kabupaten Sragen berada di jalur “penyelamatan” yang sama untuk pengembaraan dan penyebaran pengaruh nilai-nilai dan ajarannya. Ketiga daerah ini juga bagian dari aset tokoh keturunan Prabu Brawijaya V yang memiliki banyak kemiripan.

RITUAL HAUL : Sunan Prawata yang lebih banyak menghabiskan waktunya menjadi Sultan arau Raja di Kraton Demak, tetapi sudah menjadi tokoh kebanggaan warga (Kecamatan) Sukolilo apalagi masyarakat Kabupaten Pati. Dalam ritual haulnya tahun lalu, justru dikunjungi rombongan kirab dari Pakasa Cabang Kudus. (foto : iMNews.id/Dok)

“Bumi Pati” menjadi garis sebaran tokoh dan pengaruhnya seakan menjadi keniscayaan “dipilihnya” Ki Ageng Penjawi menjadi “pengayom” dan “penanggungjawab” wilayah Pati dan kawasan lebih luas lagi. Asumsi wilayah dalam terminologi zaman Kraton Pajang (abad 15-16), tidak sebatas wilayah adiminstratif kabupaten seperti sekarang, tetapi bisa beberapa daerah.

Tetapi, “hadiah” yang diterima Ki Ageng Penjawi untuk mengayomi “Bumi Pati” ternyata tepat sekali karena ketika diidentifikasi ada sedikitnya 13 titik lokasi makam tokoh leluhur Dinasti Mataram. Dan menurut KRAT Mulyadi Puspopustoko, masih ada belasan titik lokasi makam di sejumlah kecamatan yang belum ditetapkan Pemkab Pati sebagai makam leluhur.

Zaman Kraton Demak (abad 15), hampir semua Raja dan tokoh penting kerajaan bisa disebut menjadi bagian dari syi’ar agama resmi atas nama “negara” (monarki), di luar tugas para tokoh Wali Sanga. Sebab itu, Sunan Prawoto sebagai Raja ke-4 Kraton Demak yang makamnya di wilayah Sukolilo, tepat sekali menjadi bagian tanggungjawab pengamanan Ki Ageng Penjawi. (Won Poerwono-bersambung/i1).