Bangsa Ini Terbentuk dari “Sinergitas” Para Wali Sanga dan Keturunan Trah “Ki Ageng”
IMNEWS.ID – FENOMENA stigma negatif yang muncul sebagai paradigma baru di alam republik yang dihadapi kalangan lembaga masyarakat adat, khususnya keluarga besar Dinasti Mataram, secara umum memang sudah menjadi keniscayaan sesuai kaidah “Nut jaman kelakone”. Tetapi, sebagai insan bertaqwa dan berbudaya, pasti tidak berkenan kalau ada yang memanfaatkan itu.
Insiden berlatar-belakang dugaan tindak kejahatan yang belum lama terjadi di (Kecamatan) Sukolilo, Kabupaten Pati (iMNews.id, 27/6), menjadi salah satu contoh dari skenario yang sengaja ingin memanfaatkan situasi dan kesempatan insiden itu. Yaitu, untuk “membantu” meruntuhkan citra Sukolilo yang menjadi bagian Pati sebagai “lumbung” tokoh leluhur Mataram.
Banyak karya penelitian dan kajian sejarah yang lebih dulu dilakukan para intelektual kampus, tetapi sebagian besar malah membuat kesan negatif. Sangat sedikit yang mau berkata jujur tentang tentang citra positif dan kebesaran daerah-daerah di wilayah pegunungan Kendeng utara, sebagai “lumbung” para tokoh Mataram yang banyak membentuk karakter bangsa ini.
Termasuk kejujuran untuk mengakui adanya keniscayaan bertemunya proses kerja spiritual religi yang dilakukan para “Wali Sanga” dengan proses kerja budaya yang dilakukan para tokoh “Ki Ageng dan Nyi Ageng” trah keturunan Prabu Brawijaya V. Padahal, proses sinergitas itu terjadi secara alami yang akulturatif ideal, yang di dalamnya ada unsur spirit kebatinan.
Sosialisasi nilai-nilai, ajaran dan pengetahuan hasil pertemuan sinergik antara proses kerja spiritual religi dan (spiritual) budaya (Jawa) itulah, yang telah mengangkat masyarakat daerah khususnya di kawasan Gunung Muria, lebih khusus Kabupaten Pati. Bahkan daerah di sepanjang pegunungan Kendeng termasuk Blora, yang memanjang sampai Bojonegoro (Jatim).
Tetapi, kebesaran daerah-daerah di wilayah “lumbung” para tokoh leluhur Dinasti Mataram itu, memang nyaris tidak ada titik akselerasinya yang riil, atau tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakatnya. Karena, kondisi riil secara umum lebih mengesankan, hasil alam dan buminya semakin tak bisa diandalkan untuk menyejahterakan masyarakatnya.
Potensi alam terutama pegunungan kapur yang sangat luas dan hanya didominasi tanaman jati sejak ratusan tahun lalu, kini sulit diyakini bisa memakmurkan kehidupan dan menyejahterakan masyarakat setempat. Ladang dan lahan pertanian yang tidak semuanya bisa menghasilkan bahan pangan, juga menjadi penanda rendahnya produktivitas secara ekonomi.
Rendahnya produktivitas karena hasil bumi minim, produk pangan yang tak sebanding dan produk jasa berbasis kayu jati yang semakin habis, tentu semakin mendorong penduduk usia produktif untuk keluar dari daerah asal. Banyak warga dari kawasan pegunungan kapur utara merantau ke daerah lain terutama kota-kota besar, untuk mencari penghidupan yang layak.
Fenomena kesulitan masyarakat di sepanjang pegunungan kapur utara, sudah mulai muncul sejak awal di alam republik. Bahkan semakin masif terjadi, karena ada “kekosongan hukum” di masa transisi dari “negara” Mataram Surakarta (1745-1945) ke NKRI mulai 17 Agustus 1945. Dalam situasi seperti itulah, keberadaan “kelompok kiri” (sosialis-komunis) memanfaatkannya.
Menjelang NKRI lahir, bahkan sudah dimulai sejak tahun 1920-an saat Sinuhun PB X (1893-1939) membuka “kran” demokratisasi dan tatanan kehidupan modern lainnya, pengaruh “isme” dari negara barat (Rusia) dan Asia (China) masuk bersamaan ke Tanah Air. Dua “isme” itu antara lain “sosialisme” dan “komunisme”, yang begitu cepat “bersinergi” dalam kelompok kiri.
Dalam kajian peneliti sejarah Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat di Jogja), antara tahun 1945, beberapa bulan setelah peristiwa proklamasi kemerdekaan, hingga tahun 1971, disebut terjadi pembabatan hutan jati secara besar-besaran dan membabi-buta. Para pelakunya adalah kelompok kiri yang dimotori orang-orang Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).
“Yang dijarah terutama hutan jati di pegunungan Kendeng atau kapur utara. Di bagian barat sampai di wilayah Gunung Muria dan Grobogan, oleh kelompok yang dipimpin Kutil. Di wilayah tengah, Boyolali hingga Blora, MMC dipimpin Suradi Bledheg. Di wilayah timur mulai Ngawi hingga Bojonegoro dipimpin Sastro Lawu. Semua berkolaborasi dengan Pesindo”.
“Begitu posisi mereka sudah kuat menjelang hingga lahir NKRI, ada peluang besar untuk mewujudkan semua yang sudah lama diincar. Yaitu, merebut kekuasaan dan aset-asetnya seperti hutan jati, perkebunan dan sebagainya yang sebenarnya adalah aset-aset Kraton Mataram Surakarta. Termasuk membabat hutan jati itu,” sebut Dr Purwadi menjawab iMNews.id, siang tadi.
Ditambahkan warga Pakasa Cabang Jogja ini, untuk merebut kekuasaan, banyak pejabat Bupati “Manca” aparat “negara” Mataram Surakarta diculik dan dibunuh. Bahkan, para Wedana, Mantri dan Lurah juga diculik dan dibunuh. Sampai tahun 1950, masih terjadi penculikan dan pembunuhan, dan hampir semua Bupati di Jateng dan Jatim diganti karena pengaruh kelompok kiri.
Selain kekosongan hukum pada masa transisi dari Mataram Surakarta ke NKRI, pusat-pusat data seperti kompleks kantor Kepatihan dibakar dan dihancurkan. Inilah yang patut diyakini menjadi penguat alasan semakin masifnya pembabatan hutan jati hingga tahun 1971, yang korbannya juga banyak dialami warga Pati dan kawasan Gunung Muria sekarang ini. (Won Poerwono-bersambung/i1).