Gelar Kekerabatan Bisa Dipersoalkan Dalam Administrasi Kependudukan Jika tak Ada Landasan Hukumnya (seri 5 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:June 20, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Gelar Kekerabatan Bisa Dipersoalkan Dalam Administrasi Kependudukan Jika tak Ada Landasan Hukumnya (seri 5 – bersambung)
BUPATI DEMAK : Gelar kekerabatan dianugerahkan Gusti Moeng atas nama Pangarsa LDA Kraton Mataram Surakarta kepada Bupati Demak di Pendapa Rumah Dinas Bupati, beberapa tahun lalu. Bupati bersedia menjadi "pengayom" pakasa cabang setempat. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Lembaga Berwenang yang Memiliki Payung Hukum Sebagai Perlindungan Gelar yang Diregistrasi

IMNEWS.ID – BERBAGAI fenomena kasus dalam soal “gelar kekerabatan” yang “diperjual-belikan” oleh “event organizer” (EO) dan diduga melibatkan seorang kerabat sentana bergelar “Pangeran”, diidentifikasi setidaknya melalui dua cara. Cara pertama dengan melakukan upacara wisuda di luar negeri bagi para pemohon yang dijaring dari dalam dan luar negeri.

Identifikasi terhadap praktik “EO” yang melakukan wisuda terhadap “para pembeli” gelar itu, diduga lokasinya di Malaysia dan Singapura. Praktik ini diduga baru berjalan beberapa tahun antara 2010-2017, atau ketika Sinuhun Suryo Partono masih bermobilitas normal. Karena, “paket wisuda” yang dijual sangat mengandalkan kehadiran Sinuhun agar lebih meyakinkan.

Sedang identifikasi untuk cara kedua praktik “EO” itu, kurang lebih dilakukan sejak 2010 hingga kini dan upacara wisudanya diduga berlangsung di kraton, dengan memperlihatkan Sinuhun dalam kondisi fisik yang jauh dari kata sehat dan normal, tetapi masih bisa meyakinkan para “peminat” gelar kekerabatan tersebut.

MEMBUTUHKAN MITRA : Bupati Demak dalam sambutannya setelah mendapat anugerah gelar kekerabatan, beberapa tahun lalu, menyatakan sanggup menjadi pengayom Pakasa cabang setempat, karena lembaga yang dipimpinnya membutuhkan mitra yang bisa diajak membangun kembali rasa cinta budaya Jawa. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Untuk cara kedua yang diidentifikasi, hampir semuanya adalah peminat lokal atau regional, yang di antaranya kalangan pejabat tinggi negara seperti anggota Badan Pemeriksa Keungan (BPK) dan pejabat pemerintah di tingkat regional dan lokal, misalnya Wali Kota Surakarta. Soal jumlah yang berhasil dijaring “membeli” gelar dan nilainya, sulit diperkirakan.

Hingga kini, perjalanan kegiatan “perdagangan gelar kekerabatan” itu secara efektif waktu yang dimanfaatkan mungkin sudah menembus durasi satu dekade. Dan mungkin baru belakangan ini, sudah muncul kasus di berbagai daerah ada pihak lembaga administrasi kependudukan di wilayah Pemkab setempat mempersoalkan gelar itu saat ada pendataan ulang.

Karena “gelar kekerabatan” hanya diberikan kepada yang sudah dewasa yang indikatornya sudah berumah-tangga, maka persoalan “gelar kekerabatan” muncul saat yang bersangkutan hendak mengurus pendataan ulang. Pendataan dalam administrasi kependudukan dimaksud, bisa saat mengurus KTP, KK, SIM dan sebagainya yang semuanya berbasis data awal pada KK.

MENJADI KETUA : Wakil Bupati Ngawi (Jatim) yang mendapat anugerah gelar kekerabatan dari Kraton Mataram Surakarta yang diserahkan Gusti Moeng selaku Pangarsa LDA< sekitar setahun lalu, malah bersedia menjadi Ketua Umum Pakasa Cabang Ngawi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“La, dari situ akhirnya ketahuan bahwa gelar kekerabatan yang hendak ditempelkan pada namanya agar kelihatan gagah itu, muncul menjadi masalah. Karena, pihak pencatat administrasi kependudukan, pasti mencocokkan dengan data asli dari KTP, KK (kartu keluarga) dan dokumen kependudukan lainnya. Kalau gelar pendidikan, pasti dicocokkan dengan ijazahnya”.

“Langkah pemerintah menyelaraskan data administrasi kependudukan setiap warga negaranya itu sudah tepar. Agar database kependudukan bisa berlaku final secara nasional dan sesuai untuk semua dokumen yang dimiliki. Kalau ada huruf ‘R’ di depan nama, pasti dipertanyakan saat pemeriksaan paspor misalnya”.

“Apalagi ada yang menempelkan gelar ‘KPH’ (anon-anon-Red) di depan namanya, pasti bermasalah saat mau naik pesawat ke luar negeri. Karena, akan dicocokkan dengan database kependudukan, di antaranya KTP yang dibawanya. Jadi, gelar yang ditawarkan melalui ‘EO’ itu sampai level ‘KPH’,” ujar Gusti Moeng di depan para pengurus Pakasa cabang, belum lama ini.

BEBERAPA TOKOH : Gusti Moeng selaku Pangarsa LDA menganugerahkan gelar kekerabatan kepada beberapa tokoh wanita dalam momentum HUT Pakasa Punjer di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, tahun lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat itu menyinggung dan sedikit membahas praktik “dagang” gelar kekerabatan, lebih dari 5 kali dilakukan dalam kesempatan berbeda, sekitar setahun belakangan ini. Termasuk saat berpidato di depan ibu-ibu anggota “Komunitas Wanita Berkebaya Bersanggul Indonesia” di Sasana Handrawina, Minggu (2/6).

Berpijak dari fenomena-fenomena kasus yang datang kepadanya karena laporan berbagai pihak itu, sudah memberi sinyalemen jelas bahwa “gelar kekerabatan” bisa menjadi persoalan apabila tidak jelas dasar legalitas kepemilikannya. Apalagi, gelar itu diperoleh dari pihak atau lembaga yang tidak memiliki legalitas dasar hukum kelembagaannya.

Tidak hanya itu, “gelar kekerabatan” yang “diperdagangkan” melalui “EO” itu, jelas tidak memiliki “database” administrasi keanggotaan kekerabatannya seperti yang dimiliki kelembagaan LDA yang terkoneksi ke lembaga Bebadan Kabinet 2004, terutama lembaga kantor Pengageng Sasana Wilapa dan kantor Pengageng Kusuma Wandawa atau Kasentanan.

TANDA IKATAN : Ikatan kekerabatan antara berbagai elemen masyarakat dan Pemkab Ponorogo (Jatim), sudah terjadi sejak Ipong Muchlisoni menjabat Bupati, jauh sebelum 2017. Gusti Moeng yang datang ke Ponorogo bersama rombongan, tampak menyerahkan gelar kekerabatan itu kepada Bupati. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Jadi, LDA punya database yang menyimpan data pencatatan administrasi semua pegawai di kraton. Baik sentana-dalem, sentana garap, abdi-dalem garap dan juga anggota kekerabatan yang terhimpun antara lain melalui Pakasa di tiap cabang. LDA punya payung hukum yang melindungi kebasahan gelar kekerabatan yang sudah diterbitkan”, ujar Gusti Moeng.

GKR Wandansari Koes Moertiyah dalam beberapa kali percakapan dengan iMNews.id juga sempat menyinggung, cara-cara “memperdagangkan” gelar yang tidak sepatutnya dilakukan itu akan mengalami masalah, cepat atau lambat. Masalah utama bisa datang dari kelembagaan yang mengeluarkan gelar itu, berwenang atau tidak, tercatat atau tidak dan sebagainya.

Bahkan, ketika menganalisis penjelasan Gusti Moeng itu didapat banyak tafsir kemungkinan yang bermuara pada kerugian secara moral etika bagi para “pembelinya”. Yaitu yang menyangkut legal rasional dalam terminologi paugeran adat, legalitas kelembagaan yang mengeluarkan, kekuatan hukum gelar yang “dipasarkan” dan administrasi pencatatan data-datanya.
(Won Poerwono-bersambung/i1)