Lembaga Berwenang yang Memiliki Payung Hukum Sebagai Perlindungan Gelar yang Diregistrasi
IMNEWS.ID – BERBAGAI fenomena kasus dalam soal “gelar kekerabatan” yang “diperjual-belikan” oleh “event organizer” (EO) dan diduga melibatkan seorang kerabat sentana bergelar “Pangeran”, diidentifikasi setidaknya melalui dua cara. Cara pertama dengan melakukan upacara wisuda di luar negeri bagi para pemohon yang dijaring dari dalam dan luar negeri.
Identifikasi terhadap praktik “EO” yang melakukan wisuda terhadap “para pembeli” gelar itu, diduga lokasinya di Malaysia dan Singapura. Praktik ini diduga baru berjalan beberapa tahun antara 2010-2017, atau ketika Sinuhun Suryo Partono masih bermobilitas normal. Karena, “paket wisuda” yang dijual sangat mengandalkan kehadiran Sinuhun agar lebih meyakinkan.
Sedang identifikasi untuk cara kedua praktik “EO” itu, kurang lebih dilakukan sejak 2010 hingga kini dan upacara wisudanya diduga berlangsung di kraton, dengan memperlihatkan Sinuhun dalam kondisi fisik yang jauh dari kata sehat dan normal, tetapi masih bisa meyakinkan para “peminat” gelar kekerabatan tersebut.

Untuk cara kedua yang diidentifikasi, hampir semuanya adalah peminat lokal atau regional, yang di antaranya kalangan pejabat tinggi negara seperti anggota Badan Pemeriksa Keungan (BPK) dan pejabat pemerintah di tingkat regional dan lokal, misalnya Wali Kota Surakarta. Soal jumlah yang berhasil dijaring “membeli” gelar dan nilainya, sulit diperkirakan.
Hingga kini, perjalanan kegiatan “perdagangan gelar kekerabatan” itu secara efektif waktu yang dimanfaatkan mungkin sudah menembus durasi satu dekade. Dan mungkin baru belakangan ini, sudah muncul kasus di berbagai daerah ada pihak lembaga administrasi kependudukan di wilayah Pemkab setempat mempersoalkan gelar itu saat ada pendataan ulang.
Karena “gelar kekerabatan” hanya diberikan kepada yang sudah dewasa yang indikatornya sudah berumah-tangga, maka persoalan “gelar kekerabatan” muncul saat yang bersangkutan hendak mengurus pendataan ulang. Pendataan dalam administrasi kependudukan dimaksud, bisa saat mengurus KTP, KK, SIM dan sebagainya yang semuanya berbasis data awal pada KK.

“La, dari situ akhirnya ketahuan bahwa gelar kekerabatan yang hendak ditempelkan pada namanya agar kelihatan gagah itu, muncul menjadi masalah. Karena, pihak pencatat administrasi kependudukan, pasti mencocokkan dengan data asli dari KTP, KK (kartu keluarga) dan dokumen kependudukan lainnya. Kalau gelar pendidikan, pasti dicocokkan dengan ijazahnya”.
“Langkah pemerintah menyelaraskan data administrasi kependudukan setiap warga negaranya itu sudah tepar. Agar database kependudukan bisa berlaku final secara nasional dan sesuai untuk semua dokumen yang dimiliki. Kalau ada huruf ‘R’ di depan nama, pasti dipertanyakan saat pemeriksaan paspor misalnya”.
“Apalagi ada yang menempelkan gelar ‘KPH’ (anon-anon-Red) di depan namanya, pasti bermasalah saat mau naik pesawat ke luar negeri. Karena, akan dicocokkan dengan database kependudukan, di antaranya KTP yang dibawanya. Jadi, gelar yang ditawarkan melalui ‘EO’ itu sampai level ‘KPH’,” ujar Gusti Moeng di depan para pengurus Pakasa cabang, belum lama ini.

Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat itu menyinggung dan sedikit membahas praktik “dagang” gelar kekerabatan, lebih dari 5 kali dilakukan dalam kesempatan berbeda, sekitar setahun belakangan ini. Termasuk saat berpidato di depan ibu-ibu anggota “Komunitas Wanita Berkebaya Bersanggul Indonesia” di Sasana Handrawina, Minggu (2/6).
Berpijak dari fenomena-fenomena kasus yang datang kepadanya karena laporan berbagai pihak itu, sudah memberi sinyalemen jelas bahwa “gelar kekerabatan” bisa menjadi persoalan apabila tidak jelas dasar legalitas kepemilikannya. Apalagi, gelar itu diperoleh dari pihak atau lembaga yang tidak memiliki legalitas dasar hukum kelembagaannya.
Tidak hanya itu, “gelar kekerabatan” yang “diperdagangkan” melalui “EO” itu, jelas tidak memiliki “database” administrasi keanggotaan kekerabatannya seperti yang dimiliki kelembagaan LDA yang terkoneksi ke lembaga Bebadan Kabinet 2004, terutama lembaga kantor Pengageng Sasana Wilapa dan kantor Pengageng Kusuma Wandawa atau Kasentanan.

“Jadi, LDA punya database yang menyimpan data pencatatan administrasi semua pegawai di kraton. Baik sentana-dalem, sentana garap, abdi-dalem garap dan juga anggota kekerabatan yang terhimpun antara lain melalui Pakasa di tiap cabang. LDA punya payung hukum yang melindungi kebasahan gelar kekerabatan yang sudah diterbitkan”, ujar Gusti Moeng.
GKR Wandansari Koes Moertiyah dalam beberapa kali percakapan dengan iMNews.id juga sempat menyinggung, cara-cara “memperdagangkan” gelar yang tidak sepatutnya dilakukan itu akan mengalami masalah, cepat atau lambat. Masalah utama bisa datang dari kelembagaan yang mengeluarkan gelar itu, berwenang atau tidak, tercatat atau tidak dan sebagainya.
Bahkan, ketika menganalisis penjelasan Gusti Moeng itu didapat banyak tafsir kemungkinan yang bermuara pada kerugian secara moral etika bagi para “pembelinya”. Yaitu yang menyangkut legal rasional dalam terminologi paugeran adat, legalitas kelembagaan yang mengeluarkan, kekuatan hukum gelar yang “dipasarkan” dan administrasi pencatatan data-datanya.
(Won Poerwono-bersambung/i1)