Potensi Perpecahan Akibat “Ngundhuh Wohing Pakarti”, Karena “Ngalab Berkah” itu “Lelaku”
IMNEWS.ID – SETELAH melihat realitas pemandangan pada beberapa pelaksanaan upacara adat khususnya “hajad-dalem Malem Selikuran”, yang melukiskan proses berkurangnya dukungan publik secara luas di satu sisi, kemudian menguatnya legitimasi organisasi Pakasa di sisi lain, muncullah beberapa pertanyaan penting.
Salah satunya adalah, “mungkinkah Maleman Selikuran, Minggu (31/3) itu bisa menjadi refleksi untuk mengevaluasi yang sudah pernah berjalan, lalu dijadikan momentum untuk kebangkitan kembali semangat (lelaku) ngalab berkah?”. Tentu saja, “lelaku ngalab berkah” untuk setiap upacara adat dalam cakupan lebih luas.
Terminologi cakupan “ngalab berkah” yang lebih luas, dimaksudkan, selain berbagai upacara adat yang digelar Kraton Mataram Surakarta sesuai agenda baku yang ditentukan sesuai kalender tahun Jawa, di masing-masing lingkungan masyarakat adat yang tersebar di berbagai wilayah tentu juga ada sejenis upacara adat.

Hal ini dimaksudkan, bahwa upacara adat yang digelar Kraton Mataram Surakarta yang punya ciri-ciri dan kekhasan cukup unik dan spesifik sebagai cerminan budaya Jawa, tetap mendapatkan perhatian dan dukungan masyarakat adat. Karena, sikap spiritual kebatinannya tetap membutuhkan “ngalab berkah” sebagai “lelaku”.
Di luar itu atau mungkin masih berada di waktu-waktu yang sama sesuai kalender tahun Jawa, masyarakat adat juga tetap mendapat kesempatan terbuka untuk memelihara dan menjaga sikap spiritual kebatinannya di lingkungan tempat tinggal masing-masing. Yaitu “ngalab berkah” ritual adat yang ada di lingkungannya.
Karena sebaran budaya Jawa meliputi dua sepertiga pulau Jawa bahkan lebih, sangat diyakini masing-masing daerah yang pernah menjadi wilayah kedaulatan “Negari” Mataram Surakarta sebagai penerus “Negara” Mataram sebelumnya, memiliki agenda ritual adat sebagai aktivitas rutin dan kebanggaan masyarakat setempat.

Perkembangan positif dengan menguatnya organisasi Pakasa secara akumulatif sebagai daya dukung legitimatif terhadap budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta, perlu dikelola dengan baik dan diarahkan lebih fokus sebagai “mesin penggerak” pelestarian budaya Jawa dan penjamin kelangsungan kraton.
Di luar itu, perlu pemikiran berbagai pihak agar tercipta kembali ruang yang longgar bagi masyarakat atau warga peradaban secara luas di luar organisasi Pakasa, yang sama-sama punya keinginan untuk “ngalab berkah”. Kini dan ke depan, para “sutresna budaya” dalam wujud “lelaku ngalab berkah” itu akan tetap dibutuhkan.
Harapan itu bukan berarti sebagai cara pandang untuk diwujudkan dalam praktik seperti yang dimaksud “politik identitas” (Jawa). Tetapi struktur logikanya harus dibalik sebagai proses upaya penguatan ketahanan budaya lokal, regional dan nasional, yang telah lama sekali menjadi salah satu cirikhas dan identitas bangsa.

Tetapi dalam kondisi yang sudah sangat “parah” sekarang ini, memang perlu kerja keras dan kerjasama berbagai pihak dan elemen yang masih peduli terhadap ketahanan budaya bangsa. Kerjasama itu tentu harus merubah peran kekuasaan (pemerintah) yang dengan kebijakannya ikut merusak “lelaku ngalab berkah”, menjadi sebaliknya.
Ketika para tokoh nasional lintas lembaga “berkeluh-kesah” tentang maraknya potensi anasir radikalisme dan intoleransi beberapa waktu lalu, mangajak lembaga kraton anggota DPP Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN) untuk bekerjasama mengatasi ancaman itu, bisa dipandang sebagai bentuk kesadaran dan kekhawatiran.
Tetapi ketika dicermati lebih dalam, itu bisa dipandang sebagai sebuah “konsekuensi” yang bersifat kausalitas, kalau tidak boleh disebut “Senjata Makan Tuan” atau “Ngundhuh wohing pakarti”. Karena, negara yang dikelola pemerintah (tingkat daerah-nasional) itu, tidak sepenuhnya menjalankan amanat konstitusi.

Mengapa diibaratkan seperti “Senjata Makan Tuan” atau dengan bahasa plesetan “Tokoh Panakawan” disebut “Gaman Nyampluk Lik (pak Cilik-Red)”? Karena, kekuatan terbesar yang telah ikut merusak ketahanan budaya (Jawa) adalah pemerintah sendiri, melalui berbagai kebijakan, dari rezim Orla, Orba hingga rezim reformasi.
Tetapi dalam terminologi sikap spiritual kebatinan masyarakat (Jawa) masih ada yang memahami nilai-nilai sakralitas “halad” atau “kuwalat”. Maka, kalau para tokoh nasional lintas lembaga pernah berkeluh-kesah dan khawatir bangsa dan NKRI terancam perpecahan, itu karena kekacauan yang timbul akibat ulahnya sendiri.
Adagium dalam terminologi spiritual kebatinan Jawa itu menyebut, “ngundhuh uwoh-ing pakarti” atau menuai akibat dari perbuatannya sendiri. Namun, hukum sebab-akibat dalam perpesktif spiritual Jawa ini tak akan pernah diakui atau dibenarkan pihak-pihak yang anti kesakralan, mitos, magis, ngalab berkah dan sebagainya. (Won Poerwono-bersambung/i1)