Hak Adat Trah Bisa Dilihat dari Dokumen Kependudukan Orangtua dan Kakek-neneknya
IMNEWS.ID – APABILA seseorang yang menyertakan gelar kekerabatan di depan namanya, apalagi juga ditulis dalam dokumen kependudukan, perlu waspada dan berhati-hati. Karena, semua dokumen kependudukan dalam bentuk apapun, sumber datanya adalah KTP dan KK. Sedangkan KTP ditulis berdasar atas verifikasi yang melalui proses selektif, teliti dan detil.
Oleh sebab itu, pencantum gelar kekerabatan dalam KTP dan berbagai jenis dokumen kependudukan lainnya pasti didasarkan dokumen-dokumen keterangan lain yang menunjukkan asal-usul gelar kekerabatan itu. Dan bagi lembaga Kraton Mataram Surakarta, gelar kekerabatan sebagai hak secara adat, diberikan berdasar dokumen keterangan asal-usul secara adat.
Selain mekanisme prosedurnya seperti itu, sejak tahun 2004 “Bebadan Kabinet” mulai merintis untuk mendapatkan perlindungan hukum bagi masyarakat. Perlindungan hukum yang menjadi payung hukum bagi seluruh masyarakat Kraton Mataram Surakarta itu itu, termasuk pemberian/pemakaian gelar kekerabatan baik karena hak adat maupun anugerah atau “anon-anon”.
Perlindungan kelembagaannya, terletak pada eksistensi Lembaga Dewan Adat yang telah ditetapkan sebagai lembaga yang “mengayomi” Kraton Mataram Surakarta dengan segala aset-asetnya, termasuk kegiatan adat. Ketetapan Pengadilan Negeri (PN) Surakarta yang terbit tanggal 29 Agustus 2022 itu, adalah keputusan Mahkamah Agung No.87/Pdt.G/2019/PN.Skt (Ska-Red).
Ketika dianalisis, lahirnya keputusan Mahkamah Agung (MA) itu sudah jelas dan tegas memberi perlindungan hukum bagi kraton dengan segala aset-asetnya dan aktivitas adatnya. Sedangkan lembaga yang secara spesifik memberi gelar kekerabatan itu, juga sudah mendapatkan legal standing dari Kemendagri dan Kemen-Polhuk dan HAM.
Kelak, jika RUU Perlindungan Masyarakat Adat disyahkan DPR RI menjadi UU, tentu akan semakin memperkuat eksistensi masyarakat adat, khususnya bagi Mataram Surakarta. Karena, kini hanya kegiatan masyarakat adatnya yang belum mendapat perlindungan hukum, walau hampir semua aktivitasnya hanya untuk pelestarian adat, tradisi budaya, jauh dari sifat onar.
Peta potensi perlindungan hukum bagi kelembagaan masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta yang ada, kira-kira seperti itu. Kemudian, perlu disandingkan peta potensi hal yang bisa dijangkau perangkat perlindungan itu. Yaitu realitas jalannya kegiatan-kegiatan dalam wilayah jangkauan perangkat perlindungan, maupun yang terjadi di luar itu.
Sepanjang pengamatan iMNews.id hampir semua kegiatan adat yang digelar masyarakat adat di dalam wilayah maupun di luar wilayah masyarakat adat, mekanisme dan prosedur yang ditempuh dan pelaksanaannya berada dalam jangkauan perlindungan hukum Lembaga Masyarakat Adat dengan perangkat-perangkat perlindungan hukum lainnya.
Yang menjadi fenomena persoalan hampir dalam 2 dekade ini, adalah aktivitas adat yang diselenggarakan pihak-pihak yang tidak memiliki legal standing secara hukum dan tidak memiliki perangkat perlindungan hukum. Meskipun, aktivitas yang dilakukan mirip yang terjadi di dalam jangkauan perlindungan hukum Lembaga Dewan Adat.
Masyarakat awam dan pihak-pihak dari lingkungan kekuasaan perlu waspada, karena gelar kekerabatan yang akan “dibeli” atau sudah diterimanya dari hasil “membeli” dari “EO” yang memperdagangkan gelar kekerabatan itu, suatu saat bisa menjadi “bumerang” bagi dirinya. Setidaknya, akan menjadikannya masalah dalam pencatatan dokumen kependudukan.
Potensi menjadi “bumerang” yang beberapa kali disebut GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Mong selaku Pangarsa LDA di forum rapat koordinasi Pakasa cabang dengan Punjer, Minggu (2/6), yaitu bisa dipermalukan di depan umum atau mendapat sanksi sosial. Karena, identitas diri sewaktu-waktu bisa diungkap secara terbuka dan bebas melalui medsos.
“Misalnya, suatu saat, identitas di KTP, paspor atau dokumen lain ditanya petugas karena ada dingkatan ‘RM’, begitu pula yang memakai gelar ‘KP’ atau ‘KPH’. Kalau tidak bisa menunjukkan dokumen keterangan silsilah atau asal-usul adat, apa tidak malu?. Apalagi kalau peristiwa itu sampai tersebar di medsos, jadi malu ‘kan?,” tandas Gusti Moeng.
Fenomena “perdagangan gelar kekerabatan” melalui “EO” yang bekerjasama dengan “orang dalam” sekitar Sinuhun sejak awal 2004 hingga kini, bisa saja lambat-laun akan semakin berkurang ketika masyarakat luas calon peminatnya mengetahui mekanisme prosedur dan kewenangan pihak yang mengeluarkan serta keabsahan gelar yang akan didapatnya.
Seiring dengan seleksi secara alamiah itu, perlu ada edukasi yang tepat dilakukan pihak-pihak berwenang, baik langsung dari LDA, maupun melalui elemen-elemen strategisnya seperti pengurus Pakasa di tingkat cabang. Bahwa, ketika di tengah masyarakat dan lingkungan pemerintah ada yang menawarkan gelar kekerabatan, perlu segera dilakukan konfirmasi ke LDA.
Selain itu, edukasi penting menyangkut situasi dan kondisi di kraton perlu juga dipahamkan kepada masyarakat luas melalui Pakasa cabang, misalnya yang menyangkut mekanisme prosedur permohonan. Karena, selain LDA yang punya akses ke “Bebadan Kabinet” di kraton dan Pakasa cabang, tidak ada lagi yang bisa memberi jaminan legal standing gelar yang dikeluarkan. (Won Poerwono-bersambung/i1).