Perlu Ditingkatkan Kemanfaatannya, Karena Bukan Milik Pribadi
IMNEWS.ID – WILAYAH Kabupaten Klaten yang begitu luas dan sebagian besar tanahnya subur, sudah selayaknya memiliki kaitan latar belakang sejarah perjalanan Mataram, khususnya Mataram Surakarta yang selama 200 tahun menjadi sebuah “negara” monarki (1745-1945). Karena wilayah kabupaten ini berada di antara sepasang Gunung Merapi – Merbabu di arah barat dan Gunung Lawu di arah timur, yang seolah-olah menjadi “pagar pembatas” dan selalu memberi kesuburan. Di dekat sepasang gunung itu, ada sumber mata air yang tak henti-hentinya mengeluarkan air kehidupan, misalnya di Ponggok dan Cokrotulung, Kecamatan Polanharjo.
Keberadaan Kabupaten Klaten tentu memiliki posisi strategis karena berada di antara berbagai sumber kekayaan yang ada, oleh sebab itu tidak salah para pemimpin Mataram memilih wilayah datar nan luas serta sangat subur itu, untuk mendirikan kerajaan mulai dari Mataram yang berIbu Kota di Kutha Gedhe abad ke-16, Mataram yang berIbu Kota di Kartasura abad ke-17 dan terakhir yang berIbu Kota di Surakarta Hadiningrat abad ke-18 hingga 19. Kabupaten Klaten baru resmi terbentuk pada tahun 1804 di zaman Mataram yang berIbu Kota di Surakarta ketika dipimpin Sinuhun Paku Buwana (PB) IV (1788-1820) dan selalu memperingati hari jadinya pada tanggal 28 Juli.
Karena menjadi bagian wilayah kedaulatan Mataram terutama Surakarta, tidak aneh kabupaten ini memiliki aset-aset budaya peninggalan sejarah yang berkait dengan Mataram, bahkan sudah ada jauh sebelum Surakarta atau Kartasura, yang bersifat tangable maupun intangable. Karena alasan-alasan realitas sejarah itu pula, tidak aneh apabila masih banyak aset-aset budaya peninggalan sejarah berupa situs yang lengkap dengan upacara adatnya, masih terpelihara dengan baik di wilayah itu. Karena ada organisasi Pakasa di tingkat cabang (kabupaten), bisa menjadi jembatan penghubung antara masyarakat, pemerintah kabupaten setempat dan Kraton Mataram Surakarta dalam pelaksanaan pelestarian seni budaya Jawa bersumber dari Kraton Mataram Surakart.
Punya Ritual Yaqowiyu

Salah satu aset budaya peninggalan sejarah yang masih terawat di wilayah Kabupaten Klaten, adalah sebuah masjid di Jatinom dan sejumlah sendang (amata air) di dekatnya sebagai peninggalan Ki Ageng Gribig (Syekh Magribi), beserta upacara adat yang bernama Yaqowiyu atau “Saparan”, berupa ngalab berkah makanan khas apem yang digelar dalam sebuah upacara di lingkungan masjid itu tiap datang bulan Sapar. Dan puncak acara rangkaian ritual memperingati kepulangan Ki Ageng Gribig dari ibadah haji itu di zaman Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma itu (Sejarah Budaya Kabupaten Klaten, Dr Purwadi), berlangsung tanggal tanggal 15 September atau tepat pada tanggal 18 Sapar berupa kirab budaya Yaqoqiyu dan 16 September atau 19 Sapar Tahun Ehe 1956 berupa “Sebar Apem” Yaqowiyu di Masjid Gede Jatinom.
“Tradisi itu sudah lama digelar oleh masyarakat adat di sekitar kompleks Masjid Gede Jatinom. Penyelenggaraannya yang dikembangkan menjadi wisata spiritual religi, dilengkap pula dengan keramaian pasar malam. Sejak 2015, pelaksanaan ritual Yaqowiyu atau Saparan yang sudah didukung Dinas Kebudayaan/Pariwisata Pemkab, ditambah keikutsertaan warga Pakasa Cabang Klaten, menjadi semakin luas daya dukung dan daya tariknya. Ada sejumlah pengurus Pakasa yang terlibat dalam kepanitiaan, dan ada 60-an warga Pakasa yang mendapat tugas sebagai among tamu dalam dua hari nanti (15-16 Sapar),” papar KRA Haryanto Budoyoningrat selaku Bendahara Pakasa Cabang Klaten, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Peran Pakasa Cabang Klaten sebagai basis pelestari budaya Jawa di wilayahnya, sudah sangat tepat dan sudah sewajarnya dilakukan atas dasar berbagai alasan yang sudah tidak terbantahkan. Kini, peran itu bahkan perlu ditingkatkan di saat bangsa dan negara sedang menghadapi rongrongan terhadap segala bentuk ekspresi tradisi, bahkan semua jenis kesenian tradisional yang berbasis budaya Jawa. Terlebih, yang dirongrong dan dirusak adalah cirikhas kebhinekaan, sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang dilakukan kelompok-kelompok radikal yang selalu menebarkan sikap intoleran terhadap perbedaan dan kemajemukan.
Dikelola Pakasa

Dalam sambutan Pangarsa Pakasa Punjer, KPH Edy Wirabhumi, pada upacara wisuda abdidalem penerima anugerah gelar kekerabatan dan penetapan/pelantikan pengurus Pakasa Anak Cabang se-Kabupaten Klaten di pendapa kabupaten, Sabtu, 10 September (iMNews.id 10/9), sempat menyinggung banyak hal termasuk potensi ancaman radikalisme dan intoleransi itu. Tetapi Pimpinan Lembaga Hukum Kraton Surakarta (LHKS) itu juga menekankan bahwa kini para pemimpin negara dari sejumlah lembaga tinggi negara, sedang menjalin kesepakatan dengan Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN), guna menggalang kekuatan untuk menghadapi rongrongan dan potensi ancaman perusakan itu.
Dalam rangka itu pula, ada banyak potensi yang dikelola kalangan lembaga tinggi negara itu untuk dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan bersama dalam rangka memperkuat ketahanan budaya sebagai benteng untuk menghadapi potensi rongsongan dan perusakan itu. Termasuk pula, aset yang dikelola TNI dan BUMN sebagai peninggalan sejarah Mataram yang ada di Kabupaten Klaten, karena memang bukan milik pribadi siapapun, sebaiknya ditingkatkan pemanfaatannya agar bisa dirasakan masyarakat yang lebih luas, termasuk Kraton Mataram Surakarta beserta kalangan abdidalem seperti warga Pakasa yang ada di Kabupaten Klaten.
Mendengar pemanfaatan aset peninggalan sejarah, Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Klaten, Nugroho, dalam sambutannya mewakili Bupati Sri Mulyani yang menjadi Dewan Penasihat Pakasa Klaten, menyebutkan bahwa ada sebuah masjid di Kecamatan Karangnongko yang terdapat prasasti bertuliskan (Sinuhun) Paku Buwana (PB) XI. Secara pribadi maupun kedinasan dia berharap agar masjid itu bisa dikelola pengurus Pakasa anak cabang di kecamatan tersebut, agar bisa dijamin perawatan dan kelangsungannya sebagai situs peninggalan sejarah untuk anak-cucu warga peradaban.
Sedikitnya Sekali

Melihat pentingnya eksistensi, peran dan fungsi Pakasa Cabang Klaten menghadapi tugas, tanggungjawab sesuai “gawa-gawene” dan kewajibannya, GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) selaku tangan panjang berbadan hukum dari Kraton Mataram Surakarta banyak berharap kepada Pakasa cabang agar bisa bersinergi dengan Pemkab dan semua elemen masyarakat kabupaten untuk menjadi ujung tombak pelestarian budaya Jawa. Kalau budaya Jawa tetap eksis dan kuat, memberi jaminan eksistensi kuatnya kebhinekaan yang menjadi ciri fundamental bangsa dan negara ini, ketika menghadapi rongrongan dan potensi perusakan.
Melihat potensi strategis keberadaan Pakasa dan begitu besarnya ancaman serta tanggungjawabnya, maka tidak aneh kalau Pakasa Cabang Klaten juga termasuk pesat perkembangannya, hingga 19 kecamatan yang ada di kabupaten ini sudah semuanya memiliki kepengurusan Pakasa anak cabang. Kesembilanbelas pengurus Pakasa anak cabang itu, dalam upacara di pendapa kabupaten siang itu, secara setentak ditetapkan dan dilantik KPH Edy Wirabhumi selaku Pangrsa Pakasa Punjer di Kraton Mataram Surakarta.
Upacara wisuda warga Pakasa penerima penghargaan gelar kekerabatan yang bersamaan dengan pelantikan pengurus Pakasa anak cabang itu, ada 106 warga yang mendapatkan kenaikan pangkat dan gelar dan sama sekali baru mendapatkan, mulai dari pangkat “Penewu” hingga “Bupati Anom”. Menurut Bendahara Pakasa Cabang, KRA Haryanto Budoyoningrat, sedikitnya sekali dalam setahun Pakasa cabang menggelar upacara wisuda bagi para penerima paringdalem gelar kekerabatan, seperti yang berlangsung siang itu, hingga menambah kekuatan Pakasa cabang yang di tahun ini diperkirakan mencapai 10 ribuan orang, tersebar merata di 19 kecamatan. (Won Poerwono-i1)