Pakasa Cabang Kudus Menjadi Contoh Ideal, Perlu Terus Dilanjutkan
IMNEWS.ID – HADIRNYA putra mahkota KGPH Hangabehi di event ritual “Mapag Wulan Siyam”, Minggu (23/2) yang baru saja berlalu (iMNews.id, 23/2), terkesan memang secara tiba-tiba dan tidak resmi. Kehadirannya di Pakasa Cabang Kudus itu terkesan tidak diagendakan sebelumnya dan tidak melalui prosedur resmi, permohonan ke alamat lembaga “Bebadan Kabinet 2004”.
Fakta itu memang diakui KRRA Panembahan Didik Alap-alap Gilingwesi Singonagoro, yang mengundang hadir KGPH Hangabehi untuk dirayakan ultahnya ke-40 secara sederhana di Pakasa Cabang Kudus. Karena potong tumpeng dan penyerahan nomer perdana cantik sesuai tanggal, bulan dan tahun kelahiran hadiah ultah itu diserahkan Minggu (23/2), maka jadi berbeda.
Berbeda dalam arti “surprise” yang istimewa, yang membuat kehadiran KGPH Hangabehi memenuhi undangan KRRA Panembahan Didik Gilingwesi Singonagoro selaku Ketua Pakasa Cabang Kudus, menjadi tidak resmi atau tidak prosedural melalui ke alamat lembaga Bebadan Kabinet 2004. Selain wujud acaranya, kesan tidak resmi itu terlihat dari busana yang dikenakan.
Busana yang dipakai KGPH Hangabehi saat menghadiri perayaan ultahnya yang ke-40, sekaligus di upacara pembukaan peleasan kirab buday “Mapag Wulan Siyam”, Minggu (23/2), hanya stelan baju batik biasa. Dia tidak mengenakan busana adat Jawa, apalagi busana kebesaran putra mahkota. Ini menjadi pertanda, bahwa KGPH Hangabehi sadar betul alasan kehadirannya di Kudus.

Kesan tidak resmi atau sekadar “mampir” berkunjung itu, karena Gusti Behi tidak disertai protokoler baku. kehadirannya hanya ditemani dua abdi-dalem, bukan rombongan utusan resmi dengan berbagai simbol yang menjadi ciri-cirinya. Semua protokol baku itu tidak ada, walau masuknya KGPH Hangabehi ke tempat upacara “disongsong” karena disiapkan tuan rumah.
Oleh sebab itu, kehadiran Gusti Behi di Pakasa Cabang Kudus untuk menerima ucapan selamat ultah yang dirayakan sederhana sampai memberi sambutan di upacara pembukaan pelepasan kirab budaya “Mapag Wulan Siyam”, jelas murni kreativitas. Sebuah gagasan spontan yang dirangkai dengan unsur-unsur estetika kraton dan nilai Budaya Jawa, hingga menjadi kreativitas.
“Kreativitas” yang datang dari tokoh fenomenal Ketua Pakasa Cabang Kudus, untuk menghadirkan seorang tokoh yang kini sedang “digadang-gadang” menjadi calon pemimpin di Kraton Mataram Surakarta. Oleh sebab itu, nilai popularitas dan publisitas menjadi faktor penting kalau publik secara luas dan kalangan internal peka dan bisa mencermati peristiwa ini.
Ada dua hal yang patut dicatat dan dicermati dari peristiwa hadirnya KGPH Hangabehi di Pakasa Cabang Kudus. Yang pertama peristiwa bersejarah dua event yang dihadiri, dan kedua adalah nilai-nilai publisitas dan popularitas. Dua hal itu perlu diperhatikan berbagai elemen LDA, karena realitas ketokohan putra mahkota itu kini sedang perlu pemikiran operasionalnya.

Di satu sisi, “krativitas” Pakasa Cabang Kudus dan pribadi KRRA Panembahan Didik Gilingwesi Singonagoro patut diacungi jempol karena “cerdik” membidik “celah”. Bila mengingat, Kabupaten Kudus punya potensi upacara adat, tetapi tidak bisa dijadikan kegiatan andalan pengurus Pakasa Cabang Kudus, ini berarti energi Pakasa ini berlebih tetapi kurang objek.
Namun, kreativitas membangun ritual “Mapag Wulan Siyam” sebagai event yang bisa “membumi” dan sangat pantas mendapat “restu” Kraton Mataram Surakarta, sudah bisa terwujud dan sangat membanggakan tampilannya itu fakta nyata. Gusti Behi atau Gusti Moeng dengan rombongan kraton, tak akan “rugi” dan “malu” untuk hadir di event religi berbasis Budaya Jawa itu.
Oleh sebab itu, “kreativitas” Pakasa Cabang Kudus menggelar event dengan menghadirkan KGPH Hangabehi, bisa diteruskan rutin tiap tahun, dengan agenda acara yang lebih diperkaya unsur-unsurnya. Tak putra mahkota, Gusti Moeng dan Pangarsa Pakasa Punjerpun bisa dihadirkan pada kesempatan mendatang, dengan memperluas objek kegiatan pelestarian dan basisnya.
Karena senyatanya, Kudus memiliki latar-belakang sejarah yang erat kaitannya dengan Mataram Islam sejak berIbu Kota di Kartasura, sampai 200 tahun selama berIbu Kota di Surakarta Hadiningrat (1745-1945). Figur tokoh Kanjeng Ratu Kentjana Kudus, putri Bupati Kudus Adipati Tirtakusuma itu, adalah permaisuri Sinuwun Amangkurat Jawi sekaligus mertua Sang Raja.

Alasan-alasan itulah yang perlu dipahami warga Pakasa Cabang Kudus dan masyarakat Kabupaten Kudus, begitu juga keluarga besar Kraton Mataram Surakarta, untuk meningkatkan ikatan kekeluargaan dan kekerabatannya. Maka, berbagai kegiatan ke depan, termasuk khol Kyai Glongsor yang sudah menjadi event, patut digelar rutin dan didukung kraton, khususnya Gusti Behi.
Dengan melihat “kreativitas” itu, bisa disebut bahwa Pakasa Cabang Kudus adalah pioner dalam menggelar ritual inovatif dan penuh makna. Meskipun, dalam hal dihadiri putra mahkota KGPH Hangabehi, Pakasa Cabang Pati jauh lebih dulu mendapat kesempatan itu. Yaitu tatkala pamong makam dan Pakasa cabang setempat menggelar khol Ki Ageng Ngerang, beberapa tahun lalu.

Kini, setelah Pakasa Cabang Kudus “memberi” contoh ideal menciptakan “panggung” dan “jalan lapang” bagi KGPH Hangabehi, Pakasa cabang mana lagi yang bisa “merintis jalan menuju puncak” itu. Karena, membangun daya dukung legitimatif dari bawah dari lingkaran terluar, sepertinya menjadi keniscayaan yang bisa dilakukan, mengingat ada “hambatan serius” di sisi lain.
Pakasa Cabang Ponorogo juga sudah mencoba melakukan “semua itu” dan sukses, saat Gusti Behi dan rombongan Nyadran di semua lokasi makam leluhur Dinasti Mataram yang ada di Kabupaten Ponorogo, pertengahan Ruwah. Dalam kondisi yang berbeda, “panggung” dan “jalan menuju puncak” yang digelar saat Nyadran di makam Sinuhun Amangkurat Agung di Tegal, juga bisa sukses. (Won Poerwono – bersambung/i1)