Supremasi Kelembagaan Diduga Menjadi Kendala Penetapan Hak Cipta Karya-karya Mataram Surakarta
IMNEWS.ID – MARAKNYA content YouTube berisi karya-karya gendhing yang diidentifikasi KPP Nanang melalui buku “Sinuhun Sugih” ternyata karya Sinuhun PB V, di satu sisi bisa dipandang positif. Karena di situ, ada sebuah aktivitas untuk menggali dan memperkenalkan kepada publik tentang adanya karya-karya yang (berkualitas) baik, unik dan spesifik.
Ketiga ciri-ciri gendhing karya-karya para Empu dan Pujangga Jawa atau Mataram Surakarta itu (iMNews.id, 22/5), tentu sangat menonjol bila dibanding dengan jenis lagu (gendhing) serupa karya zaman peradaban setelah 1945. Dan bisa diduga, penggalian karya-karya gendhing lalu dipublikaskan sebagai content YouTube itu, hanya didorong oleh “alasan ekonomis”.
Nilai eksklusivitas karya-karya itu jelas tiada banding dan tiada tanding inilah, yang (diduga) menjadi alasan para produser content YouTube berlomba-lomba menyebarkan di medsos, karena bisa mendatangkan keuntungan besar. Sementara hak cipta atau hak atas kekayaan intelektual (HAKI) bisa dikesampingkan, karena tanpa menyebut identitas penciptanya.
Persoalan posisi dan status hak cipta dan HAKI untuk karya-karya peradaban masa lalu khususnya yang “dilegalisasi” pada zaman Mataram Surakarta, hingga kini nyaris tak ada solusi yang berkepastian hukum nasional maupun internasional. Karena, sistem hukum dan teknologi pada zaman karya seni itu diproduksi, terpisah jauh dari sistem hukum dan teknologi modern.
Sistem hukum di zaman peradaban masa lalu, lebih bersifat komunal karena sebuah produk peradaban termasuk produk seni budaya, bisa dianggap menjadi produk komunal masyarakat yang berada di bawah pemerintahan monarki. Sedangkan ciri masyarakat komunal di bawah pemerintahan monarki yang berdasar adat, begitu menonjol sifat dan ciri kehidupan adatnya.
Ciri-ciri kehidupan masyarakat komunal yang mengikuti aturan adat, salah satunya adalah sangat toleran atau sangat “permisif”. Oleh sebab itu, ketika banyak karya seni budaya pada zaman pemerintahan monarki yang terakhir Mataram Surakarta, dibanding sebelumnya, legalisasi yang terjadi adalah menggunakan nama atau label “representatif” komunal.
Representasi kelembagaan masyarakat komunal yang bisa dijaga keabsahan dan keamanannya, adalah lembaga kerajaan monarki yang direpresentasikan tokoh paling tinggi dan paling dihormati di lingkungan itu, yaitu Raja. Maka, tidak aneh kalau karya-karya seni budaya yang lahir pada zaman pemerintahan monarki Mataram Surakarta, berlabel Sinuhun Paku Buwana (PB).
Sangat berbeda dengan karya produk zaman “civil society” yang sudah “tertata” akibat pengaruh kapitalis liberal, yang berciri super-ego pribadi atau kelompok. Masyarakat dengan sistem sosial komunal pada zaman pemerintahan monarki, sangat menjunjung tinggi kebersamaan, yang tidak bisa disamakan dengan sosial komunis yang berkembang di Rusia dan China.
Karena sifat dan ciri masyarakat komunal Jawa, apalagi di dalam lingkup pemerintahan monarki yang dipimpin dari Panembahan Senapati, Prabu Hanyakrawati, Sultan Agung, Amangkurat I-IV, Sinuhun PB I hingga sampai batas tahun 1945 (PB XII), maka status hak kepemilikan karya-karya seni budayanya sangat terpengaruh oleh sifat dan ciri sosial komunal itu.
“Maka, hampir semua karya-karya seni budaya dari Kraton Mataram Surakarta yang saya ketahui, label penciptanya adalah Sinuhun PB yang saat itu jumeneng nata. Meskipun, kemudian ada yang memberi catatan tambahan nama-nama tim penyusun karya tersebut. Karya-karya yang dilengkapi dengan catatan itu, umumnya karya sastra dan dikerjakan sebuah tim”.
“Karena, proses penyusunan karya, bahkan termasuk surve lapangan, pasti ada sebuah tim yang mengerjakan. Misalnya, karya Serat Centhini yang diproduksi Balai Pustaka itu. Saya lihat ada tulisan kecil ‘Karya : Ngabehi Ranggasutrasna dkk’. Tetapi memang, harus dicantumkan tokoh yang jumeneng nata (penguasa) saat karya diciptakan,” jelas KP Budayaningrat.
Penjelasan “dwija” Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta bernama KP Budayaningrat itu, hendak menunjukkan bahwa produk seni budaya dan apapun yang dihasilkan pada zaman Raja yang jumeneng, misalnya Sinuhun Paku Buwana, berada dalam pengertian atau terminologi bahwa produk itu dibuat atas nama lembaga negara/pemerintahan yang sah waktu itu.
Sampai di sini, duduk persoalannya bisa dipahami bahwa ketika pada zaman tatanan dunia berubah apalagi mengedepankan “supremasi” ego yang lahir dari faham kapitalis liberal yang juga pernah terpengaruh oleh sosial komunis, di situlah letak “inferioritas” atau satu sisi “kekalahan” produk peradaban zaman masa lampau, di antaranya karya-karya seni budaya Jawa.
Karya-karya seni budaya Jawa termasuk “gendhing-gendhing” yang memiliki kandungan makna filosofi, edukasi ideal, data sejarah peristiwa penting, bisa bergeser menjadi karya orang lain yang kali pertama mengunggah di berbagai situs internet. Karena, internet hanya bisa mengakui siapa yang kali pertama mengunggah karya, dialah yang dicatat sebagai penciptanya.
Dengan asumsi bahwa cara kerja internet dalam “menentukan” identitas pencipta seperti itu, bisa diasumsikan semua karya gendhing yang diunggah ke medsos, walau hanya mencantumkan label channel saja, bisa dianggap sebagai pemilik hak cipta secara sah oleh internet. Tindak kejahatan seperti inilah yang rata-rata tidak disadari para pemburu honor dari “google”.
Beberapa contoh kasus dan proses kerja yang berbeda antara dua sistem yang berada di zaman berbeda itu, yang menjadikan karya-karya peradaban masa lampau sulit dilindungi secara hukum hak-hak kepemilikan dan hak yang muncul atas identitas asli penciptaannya. Terlebih, kekuasaan yang menjalankan negara ini, terkesan tidak berpihak untuk melindunginya.
Kekuasaan yang berganti-ganti menjalankan pemerintahan hingga NKRI kini berusia 78 tahun, boleh dikatakan “malah membiarkan” karya-karya besar peradaban nenek-moyangnya “hancur dirusak”, dijarah dan pelan-pelan hilang dari muka bumi. Kecenderungan ini menjadi dugaan kuat, karena tak pernah ada tanda-tanda berusaha melindungi keselamatan dan keamanannya.
Sebab itu, berbagai potensi ancaman seperti tersebut di atas, akan semakin menjadi tantangan berat bagi masyarakat adat yang meneruskan pelestarian dan menjaga kelangsungan lembaga Kraton Mataram Surakarta. Karena, lembaga Mataram Surakarta terbukti memiliki jumlah dan jenis karya paling banyak dan beragam di antara lembaga-lembaga masyarakat adat yang ada.
Melihat realitas dan kecenderungan kehidupan yang penuh potensi ancaman itu, mungkin hanya bangsa yang hidup dengan menjaga dan memelihara karya-karya peninggalan peradaban nenek-moyangnya, akan bisa bertahan sampai akhir zaman. Karena menjadi bangsa yang terjaga harmoni kehidupannya, dihormati cirikhas, identitas dan simbol-simbol kebesaran budayanya.
Kalau kekuasaan di berbagai tingkatan sudah tidak bisa diandalkan menjamin kelangsungan dan keberadaannya, karena sudah “terkontaminasi” sifat-sifat industrial kapitalis liberal, rupanya tinggal kelembagaan masyarakat adat itu sendiri yang harus menentukan sikap. Akan ikut larut peradaban modern dengan sifat-sifat super ego itu, atau bertahan untuk “survive”?
Kalau Kraton Mataram Surakarta konsisten menggelar “Konser Karawitan Weton Selasa legi” atau berbagai kegiatan pelestarian seni budaya Jawa yang bersumber dari kraton, tentu akan masih ada setitik harapan. Yaitu harapan menjaga kelestarian dan kelangsungannya, karena ada Lembaga Dewan Adat yang punya banyak elemen yang bisa diandalkan untuk urusan itu. (Won Poerwono-habis/i1).