“Bukan Konser Musik Biasa”, Tetapi “Konser Musik” Sumber Data Sejarah
IMNEWS.ID – KONSER orkestra musik “Karawitan” Jawa gaya khas Mataram Surakarta, untuk memperingati “weton pasaran” hari kelahiran Sinuhun PB XII yaitu “Selasa Legi” yang digelar di Bangsal Smarakata, Senin Kliwon malam (14/5), adalah bentuk aktivitas berkesenian yang memiliki fungsi dan manfaat berlipat-lipat bagi publik peradaban secara luas.
Konser karawitan “Weton Selasa Legi” yang diaktifkan kembali “Bebadan Kabinet 2004” Kratron Mataram Surakarta itu, bisa disebut “Bukan Konser Musik Biasa”. Salah satu indikatornya, adalah (masih bisa) disebut sajian “perdana” di kesempatan momentum “insiden Gusti Moeng Kondur Ngedhaton” (17 Desember 2022) sekaligus “insiden damai” 3 Januari 2023.
Bila disebut “Bukan Konser Musik Biasa”, itu bisa diartikan “Konser Musik Luar Biasa”, karena punya indikator lain, yaitu sajian musik karawitan yang mengiringi lagu atau gendhing berkapasitas dan dan memiliki kategori sebagai “sumber sejarah”. Di dalam syair-syair gendhing itu, tersimpan data-data informasi sejarah peradaban masa lalu.
Di lingkungan masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, karya lagu yang dikenal dengan nama “gendhing”, ada yang disajikan tanpa iringan musik, misalnya gedhing “Macapat”, yang di zaman modern mirip yang disebut “akapela”. Di lingkungan aktivitas seni karawitan di luar kraton, sering disebut (dengan gaya kelakar) “garingan” atau tanpa iringan gamelan.
Gendhing “Macapat” yang syair atau “cakepan”-nya bisa dinyanyikan “garingan” atau “akapela”, tetap saja menjadi “bukan karya lagu biasa” tetapi “karya lagu luar biasa”. Karena di dalam “cakepan” atau syairnya, berisi “piwulang luhur” atau pesan-pesan moral untuk menuntun kehidupan peradaban, bahkan berisi data bahkan fakta sejarah peradaban masa lalu.
“Maka, saya sangat setuju kalau ada pendapat yang menyatakan bahwa karya-karya gendhing tanpa iringan maupun yang diiringi iringan karawitan, adalah karya seni yang tak bisa dibandingkan dengan karya lagu (musik) para musisi modern, siapapun dan dari bangsa manapun. Karena, benar adanya kalau tidak sebanding”.
“Salah satu keunggulan karya gendhing (Macapat dan sebagainya) terutama dari zaman Mataram Surakarta, tidak hanya indah dinikmati secara auditif. Tetapi, di dalamnya terkandung data-data peristiwa, sejarah peradaban dan perjalanan tokoh-tokoh pentingnya pada masanya. Saya menyebut, gendhing adalah sumber (informasi) sejarah,” tandas KRT Dr Joko Daryanto.
Abdi-dalem Keparak Mandra Budaya Kraton Mataram Surakarta, KRT Dr Joko Daryanto yang sempat dimintai konfirmasi iMNews.id, tadi pagi, adalah salah seorang tokoh penting yang ikut bertanggungjawab pada penyajian “Konser Karawitan Weton Selasa Legi”, yang digelar “Bebadan Kabinet 2004” di Bangsal Smarakata, Senin malam (13/5).
Hasil penelitian dan kajiannya terhadap karya-karya gendhing dan karawitan di kraton, banyak mengungkapkan informasi tentang data-data dan fakta sejarah selama perjalanan kraton. Meskipun, informasi data-data sejarah itu tidak lengkap didapati untuk setiap tokohnya, tiap periode zamannya, tiap aktivitas kegiatannya dan sebagainya karena berbagai faktor.
Oleh sebab itu, KRT Dr Joko Daryanto yang juga dosen pengajar di FKIP UNS itu juga sangat setuju, bahwa karya-karya “gendhing” tanpa atau dengan iringan karawitan yang menjadi aset produk budaya Jawa dari Kraton Mataram Surakarta, akan selalu aktiual dan selalu dibutuhkan sepanajang masa, karena anatara lain sebagai sumber penelitian sejarah seni.
Setidaknya, setiap tiba hari “pengetan” (peringatan) “adeging Nagari Mataram Surakarta Hadiningrat” yang diambil kalender Jawa-nya yaitu tiap tanggal 17 Sura, pasti terdengar nyanyian indah dari tembang “Macapat”, yaitu tembang “Dhandhanggula”
yang “cakepan” atau liriknya mengisahkan peristiwa/aktivitas pindahnya (Ibu Kota) kraton dari Kartasura ke Surakarta.
Bahkan, salah satu “pada” atau bait tembang “Dhandhanggula” itu, menyebut data informasi pindahnya Kraton Mataram dari Ibu Kota Plered ke Ibu Kota baru, yaitu Kartasura, Raja ke-4 Mataram yaitu Sinuhun Amangkurat I atau Agung wafat dan dimakamkan di Tegalwangi atau (Astana Pajimatan) Tegalarum (kini Kabupaten Slawi/tegal) pada tahun 1677.
Syair atau “cakepan” lagu atau tembang “Dhandhanggula” yang diambil dari dokumen manuskrip “Serat Pindhah Kedhaton” itu, salah satu bait atau “padanya” berbunyi : “Kang cinatur sujarah Matawis; Wusnya Nata Hagung Hamangkurat; Surud neng Tagalwangine; Kuthagora Kadhatun: Plered dinulu risak sami; Marma takn pantes dadya; Pusering praja Gung……..”.
Lanjutan berikut : “….. Sigra Sang Narendra arsa; Ngalih hamrih lumastarinya kang nagri; Rinembag lan para patya”. Bait atau “pada” lanjutannya adalah : “Sangprabu prapteng Kertawani; Gumarudug sawadyabalanya; Kawula lan Sentanane; Kadya sinebut-sebut; Katon Sunya Hangrasa Wani; Ya sangkalaning candra; Ri Buda Pon nuju; Kaping pitulikur Ruwah;…….”.
Berikut selengkapnya : “…. Alip Sewu nenem atus telu dadi; Kartasura diningrat”. Dua lirik tembang “gendhing” di atas, kurang lebih melukiskan rusaknya Ibu Kota Mataram (Islam) Lama, Plered dan wafatnya Sinuhun Amangkurat Agung. Kemudian, juga dilukiskan terjadinya Ibu Kota baru Kraton Mataram Islam, yaitu di Kartawani yang kemudian diganti nama “Kartasura”.
Masih ada empat bait atau “pada” lagu atau “gendhing Dhandhanggula” yang selalu dinyanyikan bergantian antara KP Winarno Kusumo (almarhum Wakil Pengageng Pengageng Sasana Wilapa) dengan beberapa abdi-dalem pesinden, setiap ada pisowanan peringatan berdirinya Kraton Mataram Surakarta, sebelum 2017. Pisowanan untuk itu, sering digelar di Sasana Handrawina.
Empat bait itu, adalah kelanjutan dari dua bait di atas. Salah satunya tertulis :” Sigra jengkar saking Kartawani; Ngalih Kedhatun mring Shusun Sala; Kebut sawadya balane; Busekan sapraja gung; Pinengetan hangkate nguni; Hanuju Ari Buda; Henjing wancinipun; Wimbaning lek ping Sapta wlas; Sura Eje; Kombuling Pudya Kapyarsi; Hing Nata kang sangkala”.
Informasi data yang melukiskan peristiwa pindahnya Ibu Kota Kraton mataram Islam yang terkandung dalam satu dari dua bait di atas, esensi yang melukiskan kepindahan itu ada pada satu di antara empat bait lagu “Dhandhanggula” berikut. “Nata lenggah ing Bangsal Pangrawit; Para opsir kalawan kumendhan; Samya ngadeh neng kirine; Bangsal lenggahan Prabu;….”.
Selanjutnya :”…. Pra prajurit banjeng habaris; Jawa miwah Walanda; Pancak halun-halun; Sri Narendra lon ngandika; Dhusun Sala hingelih nama Nagari; Surakarta Diningrat”. Jadi, enam bait lagu “Dhandhanggula” dari “Serat Pindah Kedhaton” itu, esensinya menegaskan bahwa Ibu Kota kraton pindah ke Surakarta dan nama itu dideklarasikan tanggal 17 Sura tahun Je 1670.
Masih banyak informasi lain di dalam syair “gendhing” Macapat Dhandhanggula itu, misalnya soal pergantian nama (Desa) “Kartawani” menjadi nama “Kartasura”, begitu pula “dihapusnya” nama Desa Sala dan diganti Sinuhun PB II menjadi Surakarta (Ha)-Diningrat”. Begitu kaya informasi karya “lagu-lagu Jawa” masa lalu, selain terdengar menenangkan kalbu iramanya.
Jadi, lagu “Dhandhanggula” ini saja, sudah melukiskan banyak peristiwa dan memberi banyak manfaat terutama informasi data sejarah. Padahal, dari rumpun tembang “Macapat”, ada belasan jenis tembang atau lagu yang terangkai urut dan melukiskan perjalanan hidup manusia. Yaitu diawali dengan tembang “Mijil” (lahir) hingga diakhiri “Megat-ruh” (Megatruh) mati. (Won Poerwono-bersambung/i1).