“Hari Tari Dunia = Hari Besar Budaya Jawa”, Berbagai Kelompok Pelaku Seni Menyajikannya (seri 4 – habis)

  • Post author:
  • Post published:May 16, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:9 mins read
You are currently viewing “Hari Tari Dunia = Hari Besar Budaya Jawa”, Berbagai Kelompok Pelaku Seni Menyajikannya (seri 4 – habis)
"LABEL SOERAKARTA" : Hampir semua karya seni yang lahir dari masa Mataram yang berlabel "Soerakarta", tentu memiliki kaliber dunia, karena terutama punya label estetika tinggi seperti yang tampak dari sajian tari "Bandayuda" atau "Wireng Lawung" di peringatan HTD yang digelar di Bangsal Smarakata, belum lama ini. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Perlu Edukasi Bagi Para Calon Penikmat Seni Tari, Agar Menjadi “Sutresna” dan “Penghayat”

IMNEWS.ID – DALAM suasana kehidupan masyarakat yang sudah “keracunan” anasir buruk dari berbagai budaya asing yang masuk ke Tanah Air, mencari berbagai alternatif cara untuk menjaga kelestarian kehidupan seni budaya (Jawa) yang sumbernya dari Kraton Mataram Surakarta, menjadi keharusan untuk terus dilakukan semua elemen yang ada di lingkungan masyarakat adat.

Karena kondisi kehidupan sekarang ini, nyata-nyata ada potensi kesengajaan dan ada pengaruh langsung atau tidak langsung yang menginginkan atau mengakibatkan segala jenis kesenian produk budaya kraton-kraton di Tanah Air, terutama Kraton Mataram Surakarta, mati dan hilang secara pelan-pelan atau “secepatnya”.

Yang jelas, publik secara luas terkesan “digiring” atau “dipaksa” untuk “bersepakat” dan tunduk pada kekuasaan dan kekuatan-kekuatan yang dilegalkan oleh aturan hukum. Tujuannya, untuk mempraktikkan segala kebijakan dan programnya yang bisa mendegradasi makna filosofi, mendelegitimasi, menyingkirkan dan mematikan budaya dan segala bentuk produk seninya.

Oleh sebab itu, peringatan HTD ke-18 yang “terkesan” didukung oleh pemerintah melalui berbagai kelembagaannya selama ini, perlu dipahami masyarakat bangsa ini agar selalu dijadikan momentum untuk memperluas dan meningkatkan kualitas kesadaran bersama terhadap upaya pelestarian seni budaya dalam pengertian, semangat dan makna sesungguhnya.

Upaya itu jelas bukan untuk megajak kembali masyarakat bangsa ini menjalankan kehidupan seperti di masa lalu. Dan jangan pula diputarbalikkan logikanya sebagai upaya mengajak kembali ke kehidupan masa lalu. Tetapi, kesadaran dan pemahaman yang mulai muncul dari kalangan masyarakat, harus diarahkan ke tujuan bersama sebagai upaya menjaga ketahanan budaya bangsa.

Masyarakat bangsa NKRI ini, kini sangat butuh ketahanan nasional di bidang budaya bangsa yang punya cirikhas kuat sebagai simbol Bhineka Tunggal Ika itu. Karena menurut tokoh ulama KH Said Aqil Siradj, kekuatan dan kebesaran bangsa Indonesia itu terletak pada supremasi budayanya yang berbhineka dan sangat indah itu, bukan agamanya.

LEVEL PENGHAYATAN : Untuk bisa menangkap makna di balik sajian tari “Sancaya-Kusumawicitra” pada peringatan HTD ke-18 di Bangsal Smarakata, belum lama ini, membutuhkan ruang dan waktu cukup untuk mengapresiasi sampai level menghayati. Inilah esensi sebenarnya yang harus dicapai kegiatan peringatan HTD, terutama di luar kraton.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dukungan berbagai pihak (pemerintah) terutama lembaga pendidikan dan budaya, donatur swasta dan juga lembaga legislatif yang menyetujui penganggarannya, itu bukan berarti sebagai bentuk jaminan pelestarian seni budaya dalam arti sesungguhnya, apalagi upaya penguatan ketahanan budaya bangsa. Dukungan itu hanya dalam batas “asal ada”, sebagai “pemanis” saja.

Ketua Lokantara Pusat di Jogja, Dr Purwadi lebih setuju menyatakan, dukungan berbagai pihak yang selama ini diberikan dalam kegiatan seni budaya, tidak hanya peringatan HTD itu, hanya dalam batas “ala kadarnya”. Berbagai kegiatan dalam rangka memperlihatkan adanya aktivitas seni budaya itu, tidak akan sampai pada bentuk penghayatan dan lebih dari itu.

Dari pandangan Dr Purwadi itu, bisa diartikan bahwa kekuasaan dan berbagai pihak di zaman modern ini sudah tidak memberi ruang penghayatan yang cukup berikut pembiayaan yang dibutuhkan sebagai konsekuensinya. Karena itu, dalam suasana kehidupan industrial kapitalis liberal seperti sekarang ini, sudah tidak bisa diharapkan hal-hal yang idealistik itu.

Tetapi, bagi pihak-pihak yang sudah punya kesadaran seperti lembaga Kraton Mataram Surakarta bersama berbagai elemen yang terwadahi dalam Lembaga Dewan Adat (LDA) misalnya, tidak perlu pesimistik. Karena masih banyak celah peluang dan cara serta upayanya yang bisa dilakukan untuk membangun kembali kekuatan legitimasi seni budaya dari kraton-kraton yang ada.

Instrumen hukum berupa UU Perlindungan Masyarakat Adat yang kini masih berstatus RUU dan sudah masuk Badan Legislasi (Baleg) di DPR-RI, perlu didorong terus untuk segera disahkan. Setelah itu, juga perlu didorong agar pemerintah di berbagai tingkatan sungguh-sungguh menjalankannya, kemudian selalu dikawal dengan sistem pengawasannya.

Berbagai elemen yang banyak lahir dari “civil society” perlu didorong dan diajak untuk memberi masukan pada para wakil rakyat di DPR, agar aktif mengawasi kekuasaan (pemerintah) saat menjalankan amanat segala ketentuan hukum. Karena, kebebasan melakukan tradisi dan adat-istiadat budayanya, perlu jaminan keamanan semua instrumen lembaga penegak hukum.

RUANG PENGHAYATAN : Untuk kembali membangun ketahanan budaya bangsa, harus dimulai dari kegiatan apresiasi seni. Kraton Mataram Surakarta yang menggelar peringatan HTD ke-18 di Bangsal Smarakata, belum lama ini, adalah dalam rangka memberi ruang penghayatan untuk membangun kekuatan “sutresna” budaya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Lembaga Dewan Adat yang ditetapkan oleh keputusan Mahkamah Agung (MA) dan ditetapkan PN Surakarta sebagai “payung hukum” bagi Kraton Mataram Surakarta bersama segala bentuk dan jenis aset-asetnya, harus dipandang dan dihormati sebagai contoh lembaga yang sangat tepat dan mendasar dalam merawat, menjalankan dan melindungi kekayaan adat, seni dan budayanya.

Maka, gelar beberapa repertoar tari dalam peringatan HTD yang diinisiasi “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa dan Pangarsa LDA, 13 Mei lalu (iMNews.id, 14/5), merupakan aktivitas seni budaya yang sangat tepat dan ideal dari berbagai sisi persyaratan yang dibutuhkan, baik dari internal maupun eksternal.

Artinya, pementasan tari “Sancaya Kusumawicitra”, tari “Srimpi Sangupati”, tari “Bedhaya Sukojaro” dan tari “Bandayuda” di Bangsal Smarakata, malam itu, bukan sajian yang “asal ada”, walaupun tidak dibiayai negara atau tidak disumbang pihak swasta. Melainkan sajian yang serius, di tempat yang prestisius untuk tujuan penghayatan dalam rangka pelestarian budaya.

Mencermati contoh-contoh yang ideal dari berbagai sudut pandang ini, seharusnya dijadikan pelajaran semua pihak, terutama yang sadar bahwa cahaya seni budaya yang terpancar dari kraton-kraton, perlu dirawat dan dijaga kelangsungannya. Juga bagi yang sadar, bahwa cahaya seni budaya prlu didukung upaya-upaya pelestariannya dengan berbagai kekuatan yang ada.

Inisiasi Kraton Mataram Surakarta menggelar peringatan HTD ke-18 secara swadaya, serius dan prestisius ideal itu, bisa  menginspirasi dan mengedukasi berbagai pihak dan khalayak luas. Apalagi kalau sadar bahwa bangsa besar dalam wadah NKRI ini butuh stabilitas nasinonal terjaga baik, pasti sangat butuh ketahanan budaya bangsa dari cahaya seni budaya kraton.

Stabilitas nasional yang sudah terbukti ditopang keragaman budaya bangsa, tentu tidak bisa disamakan atau bahkan diharapkan datang dari ketahanan “agama” bangsa. Karena, sejarah dunia sudah mencatat, kehidupan di dalamnya ada banyak agama, tetapi tidak ada yang bisa mempersatukan. Hanya budaya yang bisa mewadahi dan membuat damai kehidupan beragama.

NEGARA MEMBUTUHKAN : Bangsa Indonesia yang terwadahi dalam NKRI sekarang ini, sangat membutuhkan ketahanan budaya tangguh yang menjadi modal stabilitas nasional. Pentas swadaya murni untuk peringatan HTD ke-18 yang digelar di Bangsal Smarakata belum lama ini, mutlak diperlukan untuk mewujudkan ketahanan dan stabilitas itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dengan melihat realitas, peta potensi dan kebutuhan ideal untuk kebutuhan besar harmoni kehidupan bangsa, maka teta-kelola dan tata laksana peringatan HTD perlu dirubah sedikit demi-sedikit agar semakin terarah ke tujuan idel itu. Untuk itu, penyelenggaraan HTD perlu dijauhkan dari praktik korupsi dan sejenisnya (KKN) dan pengaruh politik (praktis).

Dua hal besar itu merupakan gangguan dan hambatan besar untuk pencapaian tujuan membangun kembali kekuatan ketahanan budaya bangsa sebagai syarat terpeliharanya stabilitas nasional. Dua hal besar itu juga bisa membelokkan atau mempersulit pencapaian terbangunnya keasadaran kolektif seluruh lapisan bangsa di berbagai generasi, apalagi level penghayatan.

Bangsa yang memiliki kecintaan terhadap seni budaya hingga disebut “sutresna” (level penghayatan), karena karya-karya seni budayanya punya makna filosofi dan edukasi tentang idealisme keindahan, pasti akan memiliki ketahanan budaya yang tinggi. Negara yang punya ketahanan budaya unggul dan kuat, pasti memiliki stabilitas nasional yang luar biasa kuat. (Won Poerwono – habis/i1).