Grup Seni Religi itu Pernah Berkembang Subur, Tetapi Rata-rata Hilang Setelah Tahun 1990-an
IMNEWS.ID – PENELITIAN dan kajian sejarah masih diperlukan sepanjang data-data informasi tentang fakta sejarah ada yang terputus atau belum ada kejelasan urutan proses perjalanannya. Bidang keilmuan ini punya tanggung-jawab besar untuk bisa menggali informasi sebanyak mungkin, sejelas mungkin dan menghasilkan kajian yang bisa diterima akal meski beragam.
Tentu saja juga termasuk fakta adanya musik bernuansa religi pada iringan karawitan tarian sakral Bedaya Ketawang, jenis tarian ekslusif dan khusus hanya dimiliki Kraton Mataram Surakarta, yang “konon” diciptakan dua Raja Mataram untuk Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, yang disempurnakan oleh Raja Mataram ke-3 itu.
Selain memiliki banyak nilai terutama nilai ekseklusivitas, karawitan, gendhing sekaligus tarian Bedaya Ketawang juga menegaskan, bahwa Kraton Mataram Surakarta merupakan penerus Kraton Mataram sebelumnya, yaitu Kartasura (Amangkurat I hingga Sinuhun PB II), Plered/Kerta (Sultan Agung Hanyakrakusuma) dan Kutha Gedhe (Panembahan Senapati dan Prabu Hanyakrawati).
Walau Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma diakui keluarga besar Dinasti Mataram sebagai pendiri Mataram Islam, tetapi hingga kini belum ada data pendukung yang bisa menjelaskan bahwa instrumen “Kemanak” yang menjadi cirikhas karawitan iringan tari Bedaya Ketawang, ada hubungannya dengan seni Santiswaran atau Laras Madya yang juga menggunakan instrumen “Kemanak”.
Dosen pengajar di FKIP UNS, Dr Joko Daryanto yang juga abdi-dalem karawitan kantor Pengageng Mandra Budaya menegaskan bahwa kedua seni karawitan itu tidak ada hubungannya. Tetapi diakui dan dibenarkan, dua jenis seni karawitan yang sama-sama menggunakan instrumen “Kemanak”, berasal dari Kraton Mataram Surakarta, bahkan kekhasannya hanya dimiliki kraton.
Meskipun seni Santiswaran atau Laras Madya pernah hidup dan berkembang tidak merata di luar kraton sampai puluhan tahun hingga sekarang, tetapi menurut abdi-dalem “Kanca Kaji” asal Kabupaten Ponorogo, KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo MFil-I, hampir semuanya menggunakan instrumen pengganti, yaitu “Kenong” atau “Saron”.
“Gembrungan yang ada di (Kabupaten) Ponorogo tidak menggunakan ‘Kemanak’, juga tidak ada penggantinya. Karena memang tidak ada unsur bunyi dari jenis instrumen itu. Yang ada, hanya kendang, terbang kecil dan besar yang biasa disebut samroh dan hadrah. Dalam catatan saya, Laras Madya diambil dari unsur nadanya. Sedangkan Santiswaran diambil dari unsur syairnya”.
“Dengan melihat itu, instrumen ‘Kemanak’ jelas menjadi ciri seni Laras Madya/Santiswaran dari kraton, atau berasal dari Kraton Surakarta. Saya juga tidak mendengar atau menemukan data jenis kesenian itu dari kraton-kraton lain, khsusunya keluarga besar Dinasti Mataram. Syairnya berupa puji-pujian dalam keagamaan, itu memang betul,” tandas KRT Ahmad Faruq.
Karena instrumen yang sangat sederhana dan mudah dibawa ke mana-mana, maka seni Laras Madya atau Santiswaran pernah hidup berkembang sampai puluhan tahun di luar kraton. Dulu, antara tahun 1970-1990-an, di Kelurahan Serengan, Kecamatan Serengan, Kota Surakarta, hidup sekelompok musik Santiswaran yang sering berlatih di Balai Kampung, kelurahan setempat, sebulan sekali.
Seni musik Laras Madya yang sering memperdengarkan suara khas “Kemanak”, meski diganti instrumen lain, bisa didengar jelas mulai pukul 21.00 WIB, mendendangkan gendhing-gendhing tentang “piwulang” kebajikan. Tetapi, grup yang didukung Pakde Tjokro Enthong, Pakde Darso, Pakde Darmo sekalian istri, mas Yamto dan mas Yanto itu sudah bubar setelah tahun 1990-an.
Walau bubar karena tidak ada generasi anak-anak mereka yang “tertarik” meneruskan, Mbokde Darmo masih sering hadir di Kraton Mataram Surakarta dan bergabung dengan seni Laras Madya/Santiswaran kraton, saat ritual Malem Selikuran digelar. Beberapa kali, iMNews.id bertemu dengannya sejak 2004, tetapi setelah tahun 2010 sudah tidak kelihatan.
Grup Laras Madya/Santiswaran yang disebut KP Probonagoro (Ketua Pakasa Klaten) sering latihan di kediamannya, juga menjadi contoh eksistensi kesenian itu hidup di tengah masyarakat. Walaupun, rata-rata usia senimannya sudah di atas 60 tahun usianya. Penampilan senimannya mirip dengan grup Santiswaran dari Desa Jatisobo, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo.
Wilayah eks Karesidenan Surakarta atau enam kabupaten di sekitar Kraton Mataram Surakarta, menjadi daerah yang pernah subur berkembanganya seni Laras Madya atau Santiswaran. Tetapi mungkin karena dianggap kurang menarik dari beberapa unsur/faktor oleh kalangan generasi muda, kesenian karawitan “ringkes” itu rata-rata tidak berhasil melahirkan generasi penerusnya.
Tetapi hal yang berbeda atau sebaliknya, justru bisa dilakukan “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat. Karena, pada ritual “Malem Selikuran” yang digelar Minggu (31/3) lalu, grup seni Laras Madya/Santiswaran yang tampil, hampir 100 persen wajah generasi muda, rata-rata usianya di bawah 50 tahun.
Grup yang di dalamnya ada abdi-dalem KRT Rawang Gumilar Lebdodipuro (30-an) itu, malam itu tampak bersemangat membawakan gendhing-gendhing bernuansa “piwulang” kebajikan yang diambil dari “Serat Centhini”. Ada 15-an abdi-dalem yang penuh “power” memainkan instrumen “campuran”, mengiringi koor wiraswara dan swarawati yang sedang “gerong” mendendangkan syairnya. (Won Poerwono-bersambung/i1).