Setelah Abad 15, Kabupaten Kudus Tetap Menjadi Kota Religi, Kawasan Industri dan Dagang (seri 3 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:July 22, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read
You are currently viewing Setelah Abad 15, Kabupaten Kudus Tetap Menjadi Kota Religi, Kawasan Industri dan Dagang (seri 3 – bersambung)
IKON SANTRI : Kompleks "Taman Menara, Makam dan Masjid Kudus" adalah simbol ikon paling kuat Kabupaten Kudus sebagai Kota Santri hingga kini. Meskipun sifat-sifat simbol kehidupan akulturatif antara Budaya Jawa dan Islam yang ideal itu, kini sudah timpang karena semakin mundur dan luntur budayanya. (foto : iMNews.id/Dok)

Pakasa Merasakan Mundur dan Lunturnya Budaya Jawa yang Menjadi Adat Ketimuran Masyarakat Bangsa

IMNEWS.ID – BANGKITNYA elemen kesadaran kolektif di berbagai daerah, yang kembali berekspresi menirukan tradisi adat para leluhurnya beberapa generasi lalu, dalam satu dekade terakhir ini cukup membanggakan bagi bangsa di dalam wadah NKRI ini. Terlebih, kebangkitan itu sangat dirasakan di wilayah-wilayah bekas teritorial kedaulatan “nagari” Mataram Surakarta.

Masyarakat bangsa yang tersebar di wilayah eks Kraton Mataram Surakarta adalah penerus kraton sebelumnya, bahkan Kediri (abad 12) dan Majapahit (abad 13-14), menjadi wilayah sebaran budaya Jawa yang bersumber dari kraton. Setidaknya sudah mencapai puncaknya dalam 200 tahun selama Mataram Surakarta, dan 300 tahun sebelumnya sejak mendapat sentuhan Wali Sanga.

Kini, baru 79 tahun sejak bangsa di eks wilayah “nagari” Mataram Surakarta ini ikut menikmati suasana alam republik(NKRI). Tetapi, kehidupan spiritual kebatinannya secara adat dan budaya Jawa, sudah demikian mundur jauh dari suasana sebelum 1945. Banyak tokoh masyarakat adat di beberapa lokasi di wilayah sebaran budaya Jawa, benar-benar merasakannya.

Di wilayah timur (Jatim), Bupati Sidoarjo pernah mengungkapkan “kemunduran” itu dalam “bahasa bersayap”, saat menerima kunjungan silaturahmi utusan Kraton Mataram Surakarta di tahun 2020 lalu. Begitu pula ungkapan Bupati Jepara dan Bupati Demak di tahun 2021 dari sudut berbeda. Inti semua ungkapan itu menegaskan, budaya Jawa dan adat ketimuran sudah luntur.

IKON AKULTURATIF : Pembagian “Sega Jangkrik” yang merupakan simbol ikon akulturatif karena lauknya daging kerbau itu, semakin diminati masyarakat dari berbagai daerah yang “ngalab berkah” tradisi Masjid Agung Kudus setiap peringatan 10 Sura. Tetapi, simbol-simbol nilai budayanya semakin mundur dan luntur. (foto : iMNews.id/Dok)

Ungkapan Bupati Sidoarjo di kawasan industri penyangga (hinterland) kota pelabuhan Surabaya, memang rasional kalau mengindikasikan demikian jauh mundur dan lunturnya Budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta. Lalu bagaimana “nasib” daerah-daerah di wilayah ujung timur Pulau Jawa? Mengingat, wilayah ini juga eks Mataram Surakarta.

Di wilayah Provinsi Jateng, memang baru Bupati Demak dan Jepara dan juga Bupati Klaten Sri Mulyani yang mengungkapkan “kegelisahannya”, karena Budaya Jawa di kalangan masyarakatnya telah luntur. Bahkan terkesan “tidak punya kemampuan” untuk menghindarkan “rasa bangga” generasi muda masyarakatnya, untuk memiliki dan mengekspresikan budaya “manca” negara.

Tantangan besar terhadap legitimasi dan sakralitas Budaya Jawa dengan segala bentuk macam dan ragamnya, yang bisa dibaca dari kebijakan dan aktivitas para penguasa di tingkat kabupaten dan kota, bahkan provinsi di wilayah Jateng, Jatim bahkan DIY, terkesan tidak serius, hanya sekadar formalitas dan sekadar ada yang dibuktikan dengan dibiayai APBD.

Selain terkesan formalitas dan sekadar ada, karena banyak yang memandang sikap semacam itu lebih penting unsur penganggaran atau pengeluaran biayanya dari keuangan negara atau daerah. Karena, rata-rata pemimpin yang sedang berkuasa tidak memahami makna penting kepemimpinan dalam terminologi Budaya Jawa, yang salah satunya selalu jadi teladan baik.

SEGA JANGKRIK : Gabungan aparat keamanan selalu turun tangan untuk mengatur kelancaran pembagian “Sega Jangkrik” atau nasi berlauk dagung kerbau berbungkus daun jati, yang semakin diminati sampai 10-an ribu warga yang berdatangan dari berbagai daerah, setiap Masjid Agung Kudus menggelar peringatan 10 Sura, belum lama ini. (foto : iMNews.id/Dok)

Walau bukan berasal dari lingkungan kekuasaan di pemerintahan daerah, Kabupaten Kudus terbilang masih sangat beruntung memiliki seorang tokoh pemimpin masyarakat adat yang memahami banyak hal. KRA Panembahan Didik Gilingwesi selaku Ketua Pakasa Cabang Kudus itu, mau memahami jati diri, perkembangan situasi dan kondisi, peduli, serta mau “berbuat” nyata.

Walau belum genap tiga tahun dipercaya memimpin Pakasa Cabang Kudus, tetapi pemiliki sekaligus pemilik tiga Majlis Taklim Lembah Pedangkungan di Desa Singocandi, Kecamatan Kota itu, sudah memperlihatkan kepeduliannya dan mau mencoba mengatasi kemunduran dan lunturnya Budaya Jawa. Cara-cara yang digunakan juga sesuai panduan tata-nilai yang ada dalam Budaya Jawa.

“Karena sejak remaja saya sering diajak kakek ke kraton, saya melihat suasana kehidupan secara adat dan budaya (Jawa), memang banyak sekali nilai manfaat yang saya rasakan. Suasana kehidupan masyarakat yang saya lihat dan alami di sekitar tempat tinggal keluarga kami, juga masih menjunjung tinggi adat ketimuran yang santun dan beretika tinggi”.

“Tetapi, saya tidak tahu, mengapa setelah 40-an tahun kemudian, kehidupan rata-rata masyarakat Kabupaten Kudus sudah jauh mundur dan luntur nilai-nilai Budaya Jawanya. Contohnya masyarakat di lingkungan kami sekarang ini, sudah tidak mengenal budaya Jawa. Terutama kalangan generasi mudanya. Mengingat suasana 40 tahun lalu itu, saya ingin berbuat sesuatu”.

PAHAM DAN PEDULI : Masyarakat Kabupaten Kudus memang sudah dianggap jauh mundur dan luntur Budaya Jawanya. Tetapi, kabupaten itu punya Pakasa Cabang Kudus yang pimpinannya begitu paham budaya serta peduli untuk merintis kembalinya kecintaan pada budaya itu, melalui kirab budaya yang diinisiasinya. (foto : iMNews.id/Dok)

“Sejak saya mendapat kekancingan paring-dalem gelar sesebutan, waktu itu bersama-sama di Pendapa Kabupaten Klaten, saya mulai sadar terhadap apa yang harus saya lakukan seuai gawa-gawe. Apalagi sesudah saya ditetapkan sebagai ‘Plt’ Ketua Pakasa Cabang Kudus, sekitar 3 tahun lalu, saya sadar untuk menjalankan tugas organisasi Pakasa”.

“Gawa-gawe sebagai abdi-dalem Kraton Mataram Surakarta, adalah tugas pelestarian Budaya Jawa dan menjaga kelangsungan kraton. Apalagi sebagai warga Pakasa, harus menjalankan tugas sesuai makna ‘Setya, Saraya, Rumeksa Budaya’. Saya ikut mendukung upacara adat yang diadakan beberapa Pakasa cabang, adalah dalam rangka itu,” ujar KRA Panembahan Didik.

KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro adalah satu di antara ketua Pakasa cabang yang memiliki kepedulian tinggi terhadap pelestarian budaya Jawa, aktif dan rajin hadir mendukung Pakasa cabang lain yang menggelar upacara adat dalam rangka pelestarian budaya. Tetapi, Pakasa cabangnya belum memiliki event andalan yang bisa jadik agenda kegiatan rutin.

Lahirnya Pakasa Cabang Kudus yang dipimpin KRA Panembahan Didik ini, memang menjadi fenomena menarik di antara semua Pakasa cabang yang ada, fenomena menarik untuk suasana kehidupan masyarakat Kudus yang semakin jauh mundur dan luntur budayanya. Padahal, secara pribadi dan pimpinan Pakasa, kepedulian dan potensi kerja pelestariannya cukup tinggi.

PAKASA TETANGGA : Pemahaman, kemampuan dan kepedulian Pakasa Cabang Kudus untuk merintis kembalinya masyarakat Kabupaten Kudus mencintai budaya Jawa, rupanya masih butuh proses panjang. Sebagai bentuk pembelajaran, kepedulian itu diberikan kepada Pakasa tetangga (Pati dan Jepara) berupa dukungan kirab budaya. (foto : iMNews.id/Dok)

Kabupaten Kudus memang memiliki kompleksitas persoalan delegitimasi dan desakralisasi Budaya Jawa, hampir sama dengan daerah-daerah lain di eks wilayah teritorial Kraton Mataram Surakarta. Tetapi, percepatan prosesnya juga diakibatkan oleh pesatnya perkembangan Kudus sebagai daerah industri dan dagang, yang bahkan sudah maju sejak abad 15 hingga kini.

Kudus punya perbedaan dibanding daerah-daerah lain yang mengalami kemunduran dan kelunturan Budaya Jawanya. Yaitu soal daya tahan spiritual budaya dan religi akulturatif begitu kuat dan lentur, tetapi dikikis oleh faktor perkembangan industri dan dagang. Kekuatan pengarus anasir kiri di tahun 1920-1965, dan juga anasir yang masuk di era reformasi. (Won Poerwono-bersambung/i1).