MEMBERI SAMBUTAN : Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA) didampingi Gusti Timoer saat memberi sambutan pidato tunggal sebagai penutup ritual khol wafat empat tokoh sekaligus, yang digelar “Bebadan Kabinet 2004” di Bangsal Smarakata, Kamis (28/3) petang tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)
Digelar di Bangsal Smarakata, Sekaligus Berbuka Puasa Bersama
SURAKARTA, iMNews.id – Upacara adat “khol” (haul) peringatan wafat empat tokoh “Bebadan Kabinet 2004” sekaligus, diperingati dalam doa wilujengan dan tahlil serta Yassinan di Bangsal Smarakata, Kamis (28/3) petang tadi. Ritual yang dihadiri sekitar 60-an keluarga besar “Bebadan kabinet” dilanjutkan berbuka puasa.
Keempat tokoh “Bebadan Kabinet 2004” yang diperingati “khol” wafatnya itu adalah GKR Galuh Kencana bersama sang suami, KPH Satryo Hadinagoro, KGPH Kusuma Yuda dan GKR Sekar Kencana. Gusti Moeng selaku pimpinan “Bebadan Kabinet 2004” menyebutkan, bulan (kalender Jawa) meninggalnya empat tokoh itu berurutan.
“Maka, upacara khol peringatan wafatnya kami jadikan satu. Kebetulan, dalam kalender Jawa, saat keempat beliau itu wafat berurutan. Khusus Gusti Retno (GKR Retno Dumilah-Red), bulannya beda jauh. Maka nanti akan diperingati sendiri,” ujar Gusti Moeng dalam sambutan tunggalnya di upacara khol itu, petang tadi.
Sambutan Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat itu diberikan sebagai penutupan rangkaian upacara adat khol “bersama” untuk empat tokoh “Bebadan Kabinet 2004” yang telah “gugur” mendahului itu. Sambutan hampir selesai, adzan magrib sudah terdengar, acara berganti berbuka puasa bersama.
Selain menyebutkan alasan dilakukannya upacara adat “khol” untuk ketiga kakak kandungnya dan seorang kakak iparnya itu, anak kesembilan dari 10 bersaudara yang lahir dari garwa-dalem Kangjeng Ratu Ageng Pradapaningrum itu juga mengingatkan kembali perihal nasib Kraton Mataram Surakarta sejak bergabung ke NKRI.
Menurutnya, kenyataan yang dialami kraton setelah ikut mendirikan NKRI justru nyaris tidak pernah menikmati keuntungan dalam hal apapun, seperti jawaban yang pernah dia berikan kepada salah seorang mahasiswa yang mengadakan studi lapangan di kraton, belum lama ini. “Apa untungnya bergabung ke NKRI…?”.
“Jawaban saya, ya hampir tidak ada untungnya. Yang terjadi kraton malah diinjak-injak dan ditekan terus sampai sekarang. Dulu, kalau Sinuhun menyebut ‘Berdiri di Belakang Republik’. Kemudian menyatakan bergabung, tetapi, yang terjadi kok tidak seperti itu. Kraton melu NKRI ora entuk apa-apa, malah entek-entekan.”
“Begitu NKRI berdiri, tahun 1948 Departemen Yogiswara diambil. Para abdi-dalem ulama anggota Yogiswara, satu demi satu menjadi pegawai pemerintah (NKRI). Semua ikut pemerintah, Yogiswara kraton habis. Setelah politik, keagamaan, ekonomi lalu kedaulatan wilayah kraton diminta semua. Tinggal masalah budaya,” tunjuknya tandas.
Selain itu, “Putri Mbalela” yang pernah menerima penghargaan “The Fukuoka Culture Award” dari Jepang di tahun 2012 itu, juga mengingatkan agar kalangan jajaran “Bebadan Kabinet 2004” beserta seluruh elemen terutama Pakasa di semua cabang, agar selalu waspada. Karena, ada “penyusup” di mana-mana.
“Penyusup” yang dimaksud Gusti Moeng, adalah oknum-oknum abdi-dalem yang berpetualang setelah menggunakan kedok sebagai “abdi-dalem” sampai berpangkat tinggi (Pangeran-Red), gagal mencapai misi pribadi yang dituju. Mereka menghasut dan mempengaruhi orang-orang di sekitarnya, bahkan memfitnah agar terjadi perselisihan.
Orang-orang yang dipengaruhi itu, lanjut Gusti Moeng yang bernama lengkap GKR Wandansari Koes Moertiyah dihasut dan difitnah itu, ada di lingkungan berbagai elemen, utamanya Pakasa. Dan sumbernya, dari oknum yang semula bergabung dengan Sinuhun Suryo Partono (PB XIII-Red).
“Jadi, saya mohon elemen-elemen yang ada selalu waspada. Terutama Pakasa. Dan dengan ini saya juga mengingatkan, agar masalah gelar kepangkatan (kekerabatan-Red) tetap menjadi perhatian penjenengan semua. Seperti yang selalu saya sampaikan lewat media (iMNews.id-Red)”.
“Di tempat Sinuhun sana, gelar kepangkatan mudah didapat. Tetapi, pihak yang memberikan bukan lembaga yang punya landasan hukum seperti Lembaga Dewan Adat (LDA). Asal mau membayar banyak, mudah mendapat pangkat tinggi. Tetapi di sini (LDA), diberikan atas dasar kredibilitas pemohon,” tunjuk Gusti Moeng.
Selesai sambutan, acara dilanjutkan mencicipi menu berbuka puasa, dari makanan ringan hingga makanan berat yaitu nasi. Begitu berganti acara berbuka puasa, para abdi-dalem juru-suranata bergeser dari depan meja kenduri wilujengan, merapat ke tempat duduk jajaran “Bebadan Kabinet 2004”.
Termasuk, RT Irawan Wijaya Pujodipuro yang habis bertugas memimpin doa, tahlil, yassinan, dzikir, shalawat Sultanagungan dan syahadat Quresh. Selain Gusti Moeng, tampak Gusti Timoer, Gusti Devi, putra mahkota KGPH Hangabehi, KRMH Bimo Djoyo Adilogo, KRMH Suryo Manikmoyo, KRMH Suryo Kusumo Wibowo dan BRM Judistira.
Dari 10 putra/putri-dalem yang lahir dari Kengjeng Ratu Ageng Pradapaningrum, tiga saudara kandung Gusti Moeng mendahului wafat pada saat “Bebadan Kabinet 2004” diusir keluar kraton dalam “insiden mirip operasi militer”, April 2017. Mereka adalah GKR Galuh Kencana, GKR Sekar Kencana dan GKR Retno Dumilah.
Tetapi, suami GKR Galuh Kencana yaitu KPH Satryo Hadinagoro yang gigih membela “Bebadan Kabinet 2004” sejak 2004 hingga masuk periode “pengusiran” mulai 2017, juga “gugur” menjadi “korban”. Bahkan GPH Nur Cahyaningrat yang lahir dari garwa-dalem lain, juga mendahului karena ikut menjadi “korban”.
Sedangkan KGPH Kusumo Yudo, justru lebih awal menjadi korban “keganasan rivalitas tahta”, jauh sebelum 2017. Karena duah 4 tokoh sekandung wafat, 10 putra/putri Kangjeng Ratu Ageng Pradapaningrum itu tinggal Sinuhun Suryo Partono, KGPH Puger, KGPH Benowo, KGPH Madu Kusumonagoro, Gusti Moeng dan GKR Ayu Koes Indriyah.
Dalam upacara adat “khol” tadi petang, dari 10 putra/putri-dalem itu hanya Gusti Moeng yang hadir. Si bungsu, GKR Ayu Koes Indriyah atau Gusti Ayu, tidak kelihatan. Tetapi lima saudara kandungnya, sejak terpisah oleh “insiden mirip operasi militer 2017”, sebagian besar tidak pernah muncul ke kraton.
Di akhir acara inti upacara adat “khol” itu Gusti Moeng menuturkan, malam ini akan berlangsung lagi tahlil, dzikir dan doa di dalam kraton. Menurutnya, menghadapi dinamika kehidupan bernegara seperti ini diarapkan kalangan keluarga besar masyarakat adat Mataram Surakarta memperbanyak doa.
“Karena, selain kegiatan budaya yang bisa kita lakukan seperti sekarang ini, kita hanya tinggal memiliki doa. Semoga doa-doa kita dikabulkan Allah SWT. Doa untuk kraton dan seisinya. Untuk kembalinya kewibawaan, harkat dan martabat. Jangan lupa, besok Minggu malam, Malem Selikuran,” ucap Gusti Moeng mengingatkan. (won-i1).