Wakil Wali Kota : “Kraton Harus Satu Suara, Agar Bisa Ikut Menikmati, Walau Ada Perubahan” (seri 2-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:March 29, 2024
  • Post category:Regional
  • Reading time:8 mins read
You are currently viewing Wakil Wali Kota : “Kraton Harus Satu Suara, Agar Bisa Ikut Menikmati, Walau Ada Perubahan” (seri 2-bersambung)
MONUMEN WIRADAT : Di depan Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa Kraton Mataram Surakarta, terdapat bangunan "Monumen Wiradat" yang dibangun Sinuhun PB X (1893-1939). Kini, di kanan-kirinya penuh warung dan kendaraan parkir yang hampir semuanya untuk kepentingan Pasar Klewer. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sesudah Direvitalisasi, Layanan Parkir Harus Pergi dari Kawasan Alun-alun Lor

IMNEWS.ID – “NUT JAMAN KELAKONE” atau mengikuti perubahan zaman, memang sudah menjadi keniscayaan bagi Kraton Mataram Surakarta. Begitu pula, bagi kraton-kraton yang tersebar di seluruh Tanah Air, yang jumlahnya 250-an saat NKRI lahir pada 17 Agustus 1945. Bahkan, keniscayaan itu berlaku di seluruh dunia.

Keniscayaan harus mengikuti perubahan zaman dan suasana baru dunia sejak 17 Agustus 1945 itu bahkan sudah dirasakan 78 tahun sekarang ini. Banyak suka-duka yang harus diterima kraton dalam dinamika yang begitu labil dan tajam selama 78 tahun itu. Dan bila dihitung-hitung, tentu banyak dukanya dari pada sukanya.

Ketika mencermati proyek revitalisasi bantuan Kemen PUPR melalui APBN 2023 sebesar Rp 1,4 T yang sekarang sedang berjalan, mustahil bisa digunakan untuk menghilangkan rasa duka kraton. Karena yang dibutuhkan adalah rasa keadilan, bukan bantuan yang sangat jauh dari yang semestinya diberikan kepada kraton.

Kata pengantar dan pengarahan Wawali Teguh Prakosa, semakin menegaskan keniscayaan itu, karena berlakunya hukum “Nut Jaman Kelakone” sangat tidak mungkin bisa dihindari, apalagi ada unsur pendorong berupa kekuasaan. Maka, bantuan revitalisasi ini “terpaksa” diterima hanya sekadar menuruti “kemauan penguasa”.

Stigma pemerintah memiliki kewajiban untuk memelihara Kraton Mataram Surakarta dengan segala produk budayanya, telah dikonotasikan sebagai pemberian bantuan proyek revitalisasi tersebut. Kata pengantar dan pengarahan Wawali Teguh Prakosa, sangat jelas melukiskan stigma dan makna tersebut.

“Selama 30 tahun, kraton berjalan sendiri. Untuk keperluan pemeliharaannya, harus mencari dan dilakukan sendiri. Seakan-akan, selama itu tidak ada pemerintah. Tetapi, jangan membandingkan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dana keistimewaannya Rp 1 T, besar sekali, tetapi dibagi untuk semua wilayahnya”.

AKTIVITAS DAGANG : Bursa sandang di Pasar Klewer, aktivitasnya tak hanya di dalam pasar, melainkan sampai di halaman dan teras kompleks Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, yang membuatnya sebagai pangkalan dan menyaru pedagang di atas mobil. Semuanya membuat aset budaya itu lusuh, kusam dan kumuh. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Kita nggak usah memikirkan dana keistimewaan itu. Kita manfaatkan saja bantuan-bantuan dari pemerintah, seperti dari Kemen PUPR ini, untuk memperbaiki kraton, merevitalisasi dan memelihara kraton. Tetapi sekali lagi, kita harus berfikir kebutuhan saat ini, 50 atau 100 tahun yang akan datang,” ujar Wawali.

KPH Edy Wirabhumi selaku Pimpinan Lembaga Hukum Kraton Surakarta (LHKS) yang juga penanggungjawab perencanaan revitalisasi “Bebadan Kabinet 2004”, ketika berbicara di forum rapat koordinasi proyek revitalisasi di Hotel Sunan, Selasa siang (26/3) itu menyampaikan banyak masukan lisan tentang berbagai hal.

Salah satunya, penyelamatan sejumlah bangunan penting yang saat ini kondisinya sudah memprihatinkan, rawan roboh dan membahayakan manusia di sekitarnya, yang lebih urgen dibutuhkan kraton. Dicontohkan, seandainya kawasan Alun-alun Lor direvitalisasi menjadi cantik, bagaimana dengan Pendapa Pagelaran di dekatnya?

Ketika dianalisis contoh perbandingan yang akan terwujud setelah revitalisasi Alun-alun Lor selesai, kawasan alun-alun menjadi cantik tetapi bangunan Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa yang berdiri menjadi “view backgroud” alun-alun atau arah pintu masuk utara, yang terlihat lusuh, kusam dan kumuh.

Padahal, keberadaan Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa jauh lebih banyak frekuensi digunakannya untuk mendukung berbagai kegiatan kraton khususnya upacara adat. Sementara, Alun-alun lor frekuensi penggunaannya akan semakin terbatas, karena pemanfaatannya juga selektif terbatas, tak terkecuali untuk Sekaten Garebeg Mulud.

Meski begitu, Wawali Teguh Prakosa menyebut, kegiatan yang melibatkan orang dalam jumlah banyak, memang tepat menggunakan Pendapa Pagelaran karena tertutup dan tidak perlu takut hujan. Dibanding menggunakan stadion, yang sewanya bisa sampai ratusan juta rupiah karena ada biaya menutup rumput agar tidak rusak.

MASIH BISAKAH? : Ketika Alun-alun Lor selesai direvitalisasi menjadi cantik, masih bisakah ribuan bakul, usaha jasa hiburan tradisional dan aneka produk UMKM menyemarakkan Sekaten Garebeg Mulud? Masih bisakah mereka mengadu nasib di upacara adat menyambut hari besar Maulud Nabi Muhammad SAW ini?. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Khusus soal Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa yang disinggung KPH Edy Wirabhumi, kondisinya secara umum memang perlu segera mendapatkan penanganan serius karena kerusakan dan usia material sejak terakhir direnovasi di pertengahan tahun 1990-an. Karena keterbatasan, pemeliharaan yang dilakukan kraton termasuk ala-kadarnya.

Dan kesan yang bisa ditangkap dari komentar spontan Wawali saat memberi pengarahan, event bersakala nasional di Kota Surakarta memang banyak dan melibatkan orang banyak. Tetapi, fasilitas gedung dan ruang terbuka yang dimiliki Pemkot sangat terbatas, sehingga perlu memanfaatkan aset kraton, Pendapa Pagelaran.

“Termasuk yang di kompleks Pendapa Pagelaran, kegiatan parkir perlu dicarikan tempat. Pemerintah akan bertanggungjawab. Intinya, kalau sudah direvitalisasi, kegaiatan parkir di kawasan Alun-alun Lor terutama di dalam harus stop. Termasuk yang di kompleks Pendapa Pagelaran,” ujar Wawali Teguh Prakosa.

Wawali belum menyebutkan banyak alternatif yang bisa menjadi lokasi pengganti kegiatan karkir berbagai jenis kendaraan, jika lapangan di dalam alun-alun, dalam kopleks Pendapa Pagelaran maupun ruang terbuka lain di lingkungan kawasan dilarang menjadi objek kegiatan parkir umum.

Tetapi kemarin ada satu lokasi yang disebut sebagai penggantinya dan ruangnya masih sangat luas, yaitu kompleks Benteng Vastenburg. Selain itu, ruang parkir bawah tanah di bagian timur kompleks Pasar Klewer, bisa dijadikan pengganti parkir berbagai jenis kendaraan, bahkan kegiatan bongkar-muat.

“Kalau kegiatan bongkar-muat di hari Senin dan Kamis, ruang parkir belakang Pasar Klewer bisa dimanfaatkan untuk itu. Parkir motor bisa diliburkan dalam dua hari tiap seminggu itu. Yang di Benteng Vastenburg dan parkir bawah tanah di bagian timur Pasar Klewer, saya kira bisa menampung,” ujar Wawali.

RUANG PARKIR : Bagian timur Pasar Klewer saat dibangun sekitar 2 tahun lalu, ruang bawah dan di atasnya masih terbuka kesempatan menjadi arena parkir motor. Ini bisa menjadi solusi saat Alun-alun Lor sudah direvitalisasi dan tertutup untuk kegiatan parkir berbagai jenis kendaraan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Hal terakhir yang disinggung Wawali, secara tidak langsung untuk merespon berbagai hal yang diungkapkan Gusti Moeng sebagai masukan di forum rapat koordinasi, Selasa siang itu. Tetapi, kegiatan berdagang di dalam mobil saat memanfaatkan parkir di sejumlah lokasi di sekitar Pasar Klewer, belum disebut cara mengatasinya.

Kegiatan berdagang di atas mobil itu, disebut Gusti Moeng banyak dilakukan di kawasan aset kraton, yaitu di lingkungan seputar Alun-alun Lor dan halaman Pendapa Pagelaran. Selain merubah cara pandang publik terhadap keberadaan Pendapa Pagelaran, Gusti Moeng bertanya apakah cara ini tidak merugikan pedagang Pasar Klewer?

Meski secara spesifik tidak menyebut solusinya, tetapi Wawali menyatakan, dipindahnya semua kegiatan parkir dari kawasan Alun-alun Lor ke Benteng Vastenburg, akan memberi peluang rezeki sarana transportasi lain. Kalau bongkar-muat di Benteng Vastenburg, perlu becak untuk tumpangan orang/barang ke Pasar Klewer p/p. (Won Poerwono-bersambung/i1).