Lahirnya Fenomena di Zaman Modern, Jelas Bukan Hal Urgen Saat Jasad Dipindahkan
IMNEWS.ID – FENOMENA “makam ganda” seorang tokoh penting, apalagi dalam keluarga besar Kraton Mataram mulai dari para leluhur Dinasti Mataram hingga raja-raja Mataram terakhir di Surakarta, kalaulah dianggap ada, bisa dipastikan salah-satunya tinggal petilasan saja (iMNews.id, 16/3).
Anggapan ada fenomena “makam ganda” itu, adalah muncul sebagai efek samping (side effect) dari kebijakan pihak otoritas Kraton Mataram Surakarta terutama sejak berada di alam NKRI. Salah satu tujuannya, untuk menyatukan dalam satu kawasan makam keluarga besar Dinasti Mataram, yaitu di Astana Pajimatan Imogiri.
Memindahkan agar menjadi satu dari hampir semua anggota keluarga besar tokoh-tokoh penting keluarga besar Dinasti Mataram itu, tentu sudah dipertimbangkan masak-masak oleh pihak otoritas kraton. Salah satru pertimbangannya, jelas karena wilayah kraton secara hukum administratif sudah tidak ada.
Karena wilayah “nagari” Mataram Surakarta yang menjadi tempat memakamkan para tokohnya sudah berubah menjadi wilayah NKRI sejak 17 Agustus 1945. Memindahkan jasad para tokoh Dinasti Mataram jadi satu di Astana Pajimatan Imogiri itu, untuk menjamin aspek keamanannya terutama keperluan ziarah sebagai pertimbangan lain.
Berbagai pertimbangan lain untuk tujuan ideal dan positif, tentu menjadi alasan pihak otoritas Kraton Mataram Surakarta memindahkan jasad para tokoh pentingnya. Ini berarti, juga sudah jelas dasar-dasar yang menjadi alasan pemindahannya, yang tidak mungkin memperhitungkan akan lahirnya fenomena “makam ganda”.
Kalaulah kemudian ada informasi nama tokoh leluhur Dinasti Mataram di dua lokasi makam di kabupaten berbeda ada kemiripan, itu menjadi ekses atau akibat samping dari kebijakan pihak otoritas kraton. Karena, upaya menegaskan antara yang benar-benar makam tokoh dan petilasannya saja, mungkin belum menjadi prioritas urgen.
Fenomena “makam ganda”, mungkin kecil terjadi di kalangan masyarakat biasa yang rata-rata memanfaatkan tempat pemakamam umum (TPU) yang ada di lingkungan kampung, desa/kelurahan. Meskipun ada juga yang membuat makam keluarga di lingkungan terdekat.
Walau seperti itu mekanisme yang terjadi di tengah masyarakat biasa, tetapi kegiatan pemindahan jasad makam contohnya sudah banyak terjadi di berbagai daerah, contohnya di Kota Surakarta. Pemindahan itu akibat adanya kebijakan penataan ulang tata ruang kota, berkait dengan dinamika pembangunan dan perkembangan kota itu.
Akibat kebijakan tata ruang kota ini, banyak TPU ditutup dan jasadnya dipindahkan para keluarga ahli waris, tetapi juga banyak yang tidak dipindah, karena tidak diketemukan keluarga ahli warisnya. Salah satu contoh makam yang masih tertinggal, ada di gang kampung Teposanan, Kelurahan Sriwedari, Kecamatan Laweyan.
Pemindahan jasad di kalangan “rakyat jelata” atau masyarakat umum, sepertinya tidak sampai melahirkan fenomena “makam ganda”. Salah satu alasannya, karena yang meninggal itu hanya tokoh bagi lingkungan keluarga masing-masing, bukan tokoh yang berkaliber di tingkat negara dan punya jasa di bidang-bidang kehidupan ini.
Penutupan makam yang diikuti pemindahan jasad keluarga yang dikubur di situ, terjadi sangat masif di Kota Surakarta di era tahun 1980-1990-an. Lebih dari 10 lokasi makam yang ditutup, lahannya dimanfaatkan untuk keperluan lain, misalnya untuk Kampus UNS dan ISI, kantor-kantor pemerintah, swasta dan pemukiman penduduk.
Dengan demikian, fenomena “makam ganda” lebih memungkinkan terjadi di pemakaman khusus terpisah atau satu kompleks keluarga besar makam tokoh leluhur yang pernah berjasa membentuk peradaban, sampai terbentuknya Dinasti Mataram. Para tokoh peradaban itu, banyak berkecimpung di kerajaan, selebihnya di luar itu.
Oleh sebab itu, pada seri tulisan terdahulu ada contoh-contoh makam tokoh leluhur Dinasti Mataram yang tersebar di wilayah sangat luas, sampai di lintas provinsi, terutama di Jateng, Jatim dan DIY. Di antara para tokoh yang ada di dua makam di lokasi kabupaten berbeda itu, ada kemiripan bahkan diduga ganda.
Ada tokoh Kyai Ageng Ngerang dan istrinya, Nyai Ageng Ngerang di Kabupaten Pati yang “petilasannya” ada di Kabupaten Sragen. Kemudian Ki Ageng Kebo Kenanga di Kabupaten Sragen, petilasannya di Kabupaten Boyolali. Kemudian petisalan Kangjeng Ratu Beruk di Kabupaten Klaten, yang jasadnya sudah ada dipindah di Imogiri.
“Plt” Ketua Pakasa Cabang Kudus yang ingin memuliakan makam Pangeran Puger di wilayah kabupaten itu, juga dimungkinkan punya kemiripan nama dengan Pangeran Puger yang sudah bergelar Sinuhun PB I dan jasadnya sudah jadi satu di Astana Pajimatan Imogiri.
“Hampir di tiap zaman sejak zaman Kraton Demak atau bahkan sebelumnya, selalu muncul nama-nama yang mirip atau bahkan sama. Padahal, orangnya berbeda. Tetapi, punya peran penting sebagai tokoh negara di bidang pemerintahan, agama, kapujanggan dan sebagainya,” tunjuk Dr Purwadi, peneliti sejarah dari Lokantara, Jogja.
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara (Lokantara) Pusat di Jogja itu, saat dimintai konfirmasi iMNews.id membenarkan, tidak menutup kemungkinan baru di zaman modern ini ditemukan kemiripan dua nama tokoh di dua daerah berbeda, atau makam tokoh yang sama tetapi yang asli sudah dipindah ke Imogiri.
Sebagai contoh nama Pangeran Puger yang kemudian menjadi Sinuhun PB I di Imogiri dan yang ada di makam di Kabupaten Kudus, itu adalah tokoh yang berbeda. Nama itu banyak digunakan darah keturunannya karena dianggap membanggakan, misalnya BPH Puger dari Kraton Jogja dan KGPH Puger, kakak kandung Gusti Moeng. (Won Poerwono-bersambung/i1).