Fenomena “Makam Ganda” di Beberapa Lokasi Makam Tokoh Leluhur Dinasti Mataram (Seri 2 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:March 15, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read
You are currently viewing Fenomena “Makam Ganda” di Beberapa Lokasi Makam Tokoh Leluhur Dinasti Mataram (Seri 2 – bersambung)
MAKAM PUTRI SINUHUN : KPP Bambang Kartiko yang memimpin utusan dari "Bebadan Kabinet 2004" Kraton Mataram Surakarta, untuk nyadran di "makam" putri Sinuhun Amangkurat Agung yang bernama RAy Pucang atau RAy Kleting Kuning yang ada di Desa Pucanganom, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, belum lama ini. (foto : iMNews.id/dok)

Makam Atau Petilasannya, Sarana untuk Menghormati dan Memuliakan Para Leluhur

IMNEWS.ID – FENOMENA “makam ganda” sebenarnya tak hanya terjadi untuk makam tokoh leluhur Dinasti Mataram. Tetapi, di kalangan masyarakat biasa juga sangat mungkin terjadi seperti itu. Lahirnya “makam ganda”, bisa jadi karena faktor “keterpaksaan” akibat adanya kebijakan yang datang dari mana saja.

Karena adanya kebijakan dari pemerintah atau keluarga besar dinasti, pemindahan jasad atau makam bisa terjadi di kalangan tokoh leluhur khususnya Dinasti Mataram, atau juga di kalangan masyarakat biasa. Tindakan pemindahan jasad yang didasari sebuah nilai-nilai positif, sudah sering dilakukan di masa lalu.

Khusus untuk para tokoh leluhur Dinasti Mataram, pemindahan jasad tokoh terutama “Raja” dan “Garwa Prameswarinya” (permaisuri-Red), terjadi sepanjang waktu utamanya sejak berakhirnya lembaga “nagari” Mataram Surakarta di tahun 1945, karena di tahun itu Sinuhun PB XII menggabungkan wilayahnya kepada NKRI.

Pemindahan jasad para tokoh leluhur Dinasti Mataram sejak berada di alam NKRI, diduga lebih banyak akibat perkembangan situasi setelah wilayah kedaulatan secara politik “nagari” Mataram Surakarta sudah tidak ada. Tetapi, pemindahan jasad di berbagai lokasi yang jauh Astana Pajimatan Imogiri, bisa banyak pertimbangannya.

Menganalisis pernyataan Gusti Moeng beberapa kali saat ziarah di makam keluarga besar Sinuhun Amangkurat Agung (I) di Astana Pajimatan Tegalarum, Desa Pasarean, kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, tersirat ada alasan yang rasional dari kebijakan kraton memindahkan jasad para leluhurnya ke Astana Pajimatan Imogiri.

Selain itu, analisis terhadap situasi dan kondisi secara umum sejak “nagari” Mataram Surakarta “menyerahkan” kedaulatan politik dan lain-lainnya” kepada NKRI pada 17 Agustus 1945, juga bisa menjadi alasan atau pertimbangan dipindahkannya jasad para tokoh leluhur di Astana Pajimatan Imogiri, Kabupaten Bantul (DIY).

ASTANA TEGALARUM : Gusti Timoer Rumbai dan Gusti Devi tampak sedang “nyekar” nisan makam puteri Sinuhun Amangkurat Agung yang bernama RAy Pucang atau RAy Kleting Kuning, dalam satu kompleks makam di Astana Pajimatan Tegalarum, Desa Pasarean, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, belum lama ini. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam sebuah pidato sambutannya, Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA) pernah menyebutkan, pemindahan jasad Sinuhun PB VI dari tempat pengasingannya di luar Jawa hingga wafat di tahun 1849, baru bisa dilakukan kraton beberapa tahun setelah 1945.

Walau iMNews.id belum mendapat data informasi secara resmi dari kraton, tetapi saat Gusti Moeng memimpin nyadran ke Astana Pajimatan Desa Ngawonggo, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten awal bulan Ruwah, terdapat makam Kangjeng Ratu Beruk yang sudah tinggal landasan nisan/kijingnya sebagai tanda-tanda telah dibongkar.

Pembongkaran makam “garwa prameswari” Sinuhun PB III itu, jelas untuk memindahkan jasad permaisuri “Raja” menjadi satu dengan makam Sinuhun di Astana Pajimatan Imogiri. Walau tidak diberi papan tulisan/penjelasan, secara fisik terlihat, bahwa makam itu sudah kosong dan tinggal “petilasannya” saja.

Pangarsa LDA yang memiliki nama lengkap GKR Wandansari Koes Moertiyah itu menegaskan kepada iMNews.id, makam Kangjeng Ratu Beruk yang menurunkan Sinuhun PB IV itu sudah kosong, karena dijadikan satu di Astana Pajimatan Imogiri. Di Astana Pajimatan Desa Ngawonggo itu, disebutkan tinggal petilasannya saja.

Meski begitu, Gusti Moeng tetap “nyekar” atau menaburi bunga, dan doa yang dipanjatkan dilakukan di pusara makam Kyai Ageng Pametjut dan Pangeran Djungut, sebagai tokoh sentral di astana pajimatan itu. Hal serupa, juga dilakukan Gusti Moeng saat nyadran di kompleks “makam” Ki Ageng Kebo Kenanga di Kabupaten Boyolali.

Di kompleks makam yang pada zaman Kraton Demak (abad 15) menjadi “wilayah kabupaten” bernama “Pengging”, yang dipimpin Ki Ageng Sri Makurung Handayaningrat sebagai pejabat Bupatinya itu, Gusti Moeng kembali menuturkan kepada iMNews.id, bahwa khusus untuk makam Kebong Kananga, di situ tinggal petilasannya saja.

GARWA PRAMESWARI : Makam garwa prameswari KRAy Kentjana tampak sedang disadran Gusti Timoer Rumbai, Gusti Devi dan rombongan dari kraton, belum lama ini. Jasad para tokoh keluarga besar Sinuhun Amangkurat Agung itu, tetap dipertahankan di situ atas permintaan masyarakat Kabupaten Tegal. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Walau tinggal “petilasannya” saja yang disadran sebelum rombongan dari “Bebadan Kabinet 2004” mengakhiri safari nyadran hari itu di “petilasan” Kangjeng Ratu Beruk, Gusti Moeng tampak tetap “nyekar” sekaligus “mengirim doa” untuk arwah Ki Ageng Kebo Kenanga, walau jasadnya sudah jadi satu di Astana Pajimatan Butuh.

Di kompleks Astana Pajimatan Kyai Ageng Butuh di Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, ada nisan makam paling tinggi dan paling ujung barat yaitu makam Ki Ageng Kebo Kenanga. Sementara, nisan makam Kyai Ageng Butuh atau Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya raja Kraton Pajang itu, agak jauh di bawahnya .

Sebagai ilustrasi, di kompleks makam ini juga terdapat tiga nisan makam tokoh-tokoh lain yang diduga tinggal petilasannya saja, karena jasadnya di wilayah Kabupaten Pati. Kompleks makam yang di Kabupaten Pati-pun, juga tak pernah luput dari perhatian Gusti Moeng atau rombongan kraton yang diutus untuk nyadran atau haul.

Cara-cara Gusti Moeng menyikapi dan mewujudkan pandangannya dalam perbuatan nyata datang ke makam, berdoa dan nyekar dalam rangka ziarah biasa atau nyadran maupun mengikuti ritual religi haul, adalah tindakan nyata yang lahir dari kesadaran penuh sebagai insan yang ingin menghormati dan memuliakan para leluhurnya.

Yang dilakukan Gusti Moeng itu, justru menjadi teladan yang baik bagi publik secara luas untuk menghormati dan memuliakan leluhurnya seperti “piwulang luhur” yang sering kita dengar, yaitu “mikul dhuwur, mendhem jero”. Terlebih, bagi generasi keturunan yang belum sempat membalas jasa dan kebaikan leluhurnya.

Seperti pandangan KRA Subagyo Teguh Wirotaruno (Ketua Pakasa Cabang Tegal), sebagai generasi anak-cucu keturunannya, wajib menghormati dan memuliakan selagu kedua orangtua dan para leluhurnya masih ada. Tetapi, cara-cara itu juga tetap bisa dilakukan sewaktu mereka sudah tiada, sebagai cara mengenang jasa-jasanya.

UNTUK MEMULIAKAN : Untuk mempermudah melakukan penghormatan dan memuliakan para leluhur Dinasti Mataram, banyak jasad para tokohnya dipindahkan agar menjadi satu di Astana Pajimatan Imogiri, Bantul (DIY). Tujuan mulia itu yang selama ini diakui Gusti Moeng. (foto : iMNews.id/dok)

“Jadi, apapun yang kita lakukan sebagai tradisi dalam nyadran, tilik kubur atau bersih kubur maupun khol, itu merupakan kewajiban kita untuk selalu menjunjung tinggi setinggi-tingginya atau ‘mikul dhuwur’ segala kebaikan dan jasa-jasa para leluhur terhadap kita”.

“Yang ditinggikan, kebaikan dan jasa-jasa atau hal-hal yang positif saja. Sedangkan yang buruk atau negatif, harus kita tanam atau pendam dalam-dalam (mendhem jero) agar tidak kelihatan. Jangan hal-hal negatif dan keburukannya diungkit-ungkit. Apalagi sampai tidak mau menziarahi,” tandas KRA Subagyo.

Apa yang diungkapkan Ketua Pakasa Cabang Tegal itu, tentu tidak terbatas di lingkungan masyarakat adat saja. Melainkan, juga berlaku pada masyarakat atau publik secara luas. Karena, pada hakekatnya nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai ketuhanan itu, berlaku bagi semua insan ciptaan Sang Khalik, tanpa kecuali. (Won Poerwono-bersambung/i1).