Event “Grebeg Suro” Bisa Menjadi Ukuran Keberhasilan Itu
IMNEWS.ID – SEGENAP elemen masyarakat Kabupaten Ponorogo dan pamong wilayah secara struktural di atasnya patut berbangga, karena masyarakat di kabupaten itu mampu meraih sukses karena telah menjadikan kearifan lokal budayanya sebagai cirikhas yang membanggakan diri dan publik secara luas lintas wilayah, bahkan institusi negara ini. Sebab, cirikhas itu sangat mudah dikenali masyarakat luas secara nasional, bahkan bangsa-bangsa di dunia sebagai satu-satunya yang punya keunikan di wilayah geososial-kultural di pulau Jawa, di Nusantara dan di dunia yang tiada duanya.
Untuk mengetahui sukses memasyarakatkan keunikan serta sukses menjadikan kebanggaannya itu, dengan mudah bisa mencermati jalannya event “Grebeg Suro” dalam rangka Hari Jadi Kabupaten Ponorogo. Dalam dua tahun berturut-turut event itu digelar, yaitu tahun 2022 dan 2023 yang baru saja berlalu, iMNews.id menyaksikan dan mencermati gerak ekspresi event itu, meskipun belum sempat menikmati satu persatu rangkaian acaranya dari awal hingga akhir. Tetapi, dengan melihat sekilas apa yang tersaji di sekitar pelaksanaan kirab “Bedhol Pusaka”, cita-rasa sukses dan bangga itu sudah bisa dilihat dan dirasakan.
Penulis mengikuti aktivitas masyarakat bersama pamong wilayah Kabupaten Ponorogo yang menggelar ritual menyambut datangnya Tahun Baru Jawa pada 1 Sura yang dikolaborasikan dengan peringatan Kemerdekaan RI dalam berbagai jenis rangkaian kegiatan, sudah sejak belasan tahun lalu. Meskipun, saat dimulai event ini belasan tahun silam jelas tidak mendadak selengkap dalam dua tahun kepemimpinan Bupati Sugiri Sancoyo dan keberadaan organisasi Pakasa Cabang Ponorogo yang dipimpin KRAA MN Gendut Wreksodiningrat. Secara bertahap, dari tahun ke tahun meningkat kualitas dan jumlahnya, pemimpinnyapun tiap 5 tahun berganti.
Meski ada dinamika sosial dan terutama politik di Kabupaten Ponorogo atau terimbas oleh geososial-politik wilayah lebih luas, tetapi segenap elemen masyarakat kabupaten ini termasuk kompak untuk bersama-sama mencari, menggali, merangkai dan memelihara akar budayanya yang kemudian dijadikan cirikhas dan ikon kebanggaan. Bukan hanya kebanggaan lokal masyarakat Ponorogo, melainkan wilayah Provinsi Jatim, nasional bahkan internasional karena sebagian masyarakat asal Ponorogo yang menjadi warga Malaysia, juga membanggakan segala bentuk identitas Ponorogo.
Sebagai ilustrasi, seandainya proposal usulan kesenian Reog Ponorogo segera mendapat pengakuan dari Unesco sebagai salah satu heritage dunia “intangible”, kebanggaan masyarakat Ponorogo itu menjadi sempurna sudah. Ini berarti akan menyempurnakan kebanggaan warga kabupaten, masyarakat Jatim, bangsa dan negara RI serta bangsa-bangsa di dunia. Karena, kesenian Reog Ponorogo hanya satu-satunya kesenian yang berakar ke dalam masyarakat Ponorogo yang punya landasan latar-belakang sejarah panjang jauh ke belakang yang tidak dimiliki daerah dan provinsi di Nusantara, serta tidak dimiliki negara lain di dunia ini.
Di antara sederet pihak yang memiliki kebanggaan atas kekayaan heritage Reog Ponorogo, tentu saja Kraton Mataram Surakarta secara sangat khusus, masyarakat Kota Surakarta secara khusus dan secara umum menjadi bagian dari bangsa serta NKRI ini. Mengapa demikian? Karena, kesenian Reog Ponorogo dan masyarakat Kabupaten Ponorogo jelas tidak bisa dipisahkan dari sejarah perjalanan Kraton Mataram Surakarta (1745-1945), Mataram Kartasura (1645-1745), Mataram Islam Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) dan Kraton Demak (1478). Raja Kraton Majapahit Brawijaya V-pun di abad 14, ikut mengukir sejarah masyarakat Ponorogo.
“Kabupaten Ponorogo bahkan menjadi kota yang memiliki pejabat lembaga setingkat kementerian yang memimpin lembaga sejenis Bappenas, sejak Kraton Demak berdiri di tahun 1478. Jadi, Kota Ponorogo adalah kota para intelektual yang menguasai bidang birokrasi dan teknokrasi. Adipati Bathara Katong adalah Bupati Ponorogo I yang dilantik Raja Kraton Demak, Raden Patah, pada 11 Agustus 1496. Ibundanya adalah Kanjeng Ratu Asmarawati (Galuh Tanjungsari), adalah putri raja Kraton Jenggala. Inilah tonggak sejarah penting yang mewarnai cirikhas dan membentuk karakter masyarakat Ponorogo. Selama 200 tahun menjadi bagian dari Mataram Surakarta, jelas sangat kental budaya Jawa yang diterimanya,” papar Dr Purwadi.
Intelektual sebuah kampus di Jogja yang menjadi peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja yang dipimpinnya itu, memiliki kajian mendalam tentang Ponorogo dan hasil penelitiannya diberi judul “Sejarah Ponorogo sebagai Kota Bappenas Kerajaan”. Saat dihubungi iMNews.id belum lama ini, Dr Purwadi melukiskan sebagian hasil kajiannya yang berkait langsung dengan suasana semangat masyarakat Ponorogo dalam satu dekade terakhir, terutama saat tali silaturahmi dengan Kraton Mataram Surakarta kembali terjalin hangat. Termasuk, banyak kegiatan dalam rangka memperkuat identitas dan cirikhas budayanya, sebagai “sumbangsih” kepada NKRI untuk memperkuat kebhinekaan dan ketahanan budaya nasional.
Calon guru besar yang juga anggota Pakasa Cabang Jogja itu menyebut, Adipati Bathara Katong yang bernama kecil Jaka Piturun, telah menikahi gadis bernama Niken Gandini, putri seorang Demang di daerah Wengker yang bernama Surya Ngalam. Demang Surya Ngalam dari Wengker disebut keturunan raja Kraton Panjalu. Sedangkan perjodohannya dengan Niken Gandini, adalah inisiatif Kanjeng Ratu Retna Pembayun, istri Adipati Sri Makurung Handayaningrat sebagai salah seorang anak Raja Brawijaya V dari Kraton Majapahit. Maka, perkawinan sejoli itu disebut-sebut sebagai salah satu upaya “ngumpulake balung pisah”.
Pesta perkawinan dua sejoli itu, disebut menghadirkan Raja Demak Raden Patah bersama rombongan kraton, bahkan seorang tokoh Wali Sanga yang sangat terkenal di Jawa, yaitu Kanjeng Sunan Kalijaga dari Kadilangu, Demak. Bahkan, anak Prabu Rawijaya V lainnya, Kyai Ageng Tarub juga hadir bersama keluarganya yaitu Raden Lembu Peteng (anak) dan sang istri Dewi nawangsih. Para petinggi dari Kraton Majapahit, Jenggala dan Kraton Panjalu menjadi tamu kehormatan di Wengker. Sri Makurung Handayaningrat dan Kanjeng Ratu Retna Pembayun menjadi wakil “besan kakung” (pengantin lelaki). (Won Poerwono-bersambung/i1)