Tugas “Maes” Menjalankan Ritual Sakral, yang Punya Hajad Mantu Sedang Menjalani “Laku Prihatin”
SURAKARTA, iMNews.id – Dunia profesi rias pengantin yang berkembang menjadi bisnis modern di bawah bendera “Wedding Organization” (WO), bermula dari profesi “juru paes” yang berbasis budaya Jawa. Tetapi perkembangannnya menjadi “rusak”, karena ada lembaga masyarakat adat “mengklaim” memiliki pedoman sendiri dalam menggelar upacara pengantin adat Jawa.
“Ternyata, buku yang dijadikan pedoman itu berasal dari beberapa naskah manuskrip yang selama ini menjadi Kraton Mataram Surakarta yang dalam menjalankan tatacara upacara adat ‘pikraman’. Tetapi mereka terjemahkan sesuai keinginan masing-masing, lalu diberi judul sendiri. Saya sudah mendengar Mangkunegaran dan Jogja yang mengklaim itu,” ujar KP Budayaningrat.
KP Budayaningrat salah seorang “dwija” dari Sanggar Pasinaon Pambiwara, menegaskan hal itu di depan sekitar 50 perias anggota Harpi Gadung-Melati Cabang Kabupaten Wonosobo. Para anggota organisasi profesi rias itu bertamu sambil “mencari tahu” sumber pengetahuan tentang tatacara upacara adat pernikahan gaya Surakarta, yang diterima di eks kantor Sinuhun PB XI, siang tadi.
Rombongan perias yang sedang “berguru” singkat itu diterima Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA), sekaligus dijelaskan soal pengalamannya “pikraman” dalam tatacara upacara adat penuh. Ia didampingi KP Budayaningrat yang banyak menjawab pertanyaan pada sesi tanya-jawab, dan KP Siswanto Adiningrat yang menjelaskan soal makna struktur bangunan kraton.
Menurut KP Budayaningrat, tatacara upacara adat perkawinan gaya Surakarta khususnya kini dibagi menjadi dua, yaitu yang masih murni dan utuh dijalankan di dalam Kraton Mataram Surakarta hingga ini, dan gaya Surakarta yang sudah ditiru dan dimiliki masyarakat di luar kraton. Yang di luar kraton itu, diizinkan Sinuhun menggunakan “dodot basahan”, karena Harpi yang meminta.
“Jadi, kenapa Sinuhun PB XII mengizinkan busana ‘dodot basahan’ dan beberapa jenis busana lainnya dipakai masyarakat di luar kraton? Karena, di tahun 1990-an itu ada permintaan dari Harpi yang berjanji akan mengembangkan dan melestarikannya. Tetapi, pada perkembangannya, menurut saya tatalaksananya rata-rata sudah rusak. Karena, tidak empan-papan”.
“Pokoknya, hampir semua tatacara upacara perkawinan yang ditiru dari kraton, dirubah sesukanya sendiri dan sesuai seleranya sendiri. Karena, mereka merasa punya uang banyak. Merasa bisa membeli. Salah satunya, menjadikan buku yang disusun dari naskah milik kraton, lalu diartikan sesuai interpretasi sendiri dan diklaim sebagai pedomannya,” tandas KP Budayaningrat.
Gusti Moeng yang mendengarkan KP Budayaningrat saat melayani tanya-jawab dengan rombongan tamunya itu, membenarkan praktik menyimpang yang terjadi di masyarakat. Kedua tuan rumah itu menegaskan beda antara adat yang berlaku di dalam kraton dengan praktik di masyarakat, untuk menjawab pertanyaan Nyonya Teguh Hartati (Ketua Harpi) dan Sri Widiastuti (ketua rombongan).
Dua nara sumber tuan rumah itu banyak mengungkapkan pengetahuan tatacara upacara adat perkawinan yang secara turun-temurun tetap berlaku di kraton. Bahkan diungkapkan pula beberapa sumber naskah manuskrip yang masih tersimpan di Sasana Pustaka, yang antara lain tentang sabda Sinuhun PB II, PB III dan seterusnya yang bisa dijadikan pedoman dan aturan baku.
Di antaranya disebut penggalan kalimat dari sabda Sinuhun PB II yang sempat “bergaul” dengan masyarakat Ponogoro saat menyusun rencana besar perpindahan Ibu Kota dari Kartasura ke Surakarta. Karena masyarakat Ponorogo dianggap berjasa dalam proses pindahnya Ibu Kota itu, Sinuhun PB II mengizinkan bisananya ditiru agar menjadi “Ratu Sedalu” dan “Raja Sedina”.
“Tetapi jangan lupa, Sinuhun PB X mengingatkan bahwa hal yang boleh ditiru itu ada batas-batas aturannya. Wewaler atau larangan itu, saya pegang teguh untuk tidak saya langgar. Karena, saya adalah abdi-dalem di sini. Kalangan abdi-dalem lain pasti juga akan mematuhi larangan itu. Sebab, kalau sudah disebut sebagai wewaler, pasti ada haladnya kalau dilanggar”.
“Tetapi, kalau masyarakat di luar mau nekat mengenakannya, apalagi secara serampangan karena merasa bisa membeli dan ‘turah duwit’, silakan saja. Tetapi sekarang, yang ada di dalam kraton ini harus mematuhi paugeran adat. Aturan baku harus dihormati dan dijalankan. Walau di luar kraton, saya tetap patuh aturan itu. Karena saya adalah abdi-dalem,” tegas KP Budayaningrat.
Penegasan Ketua MGMP Bahasa Jawa SMA se-Jateng itu untuk menjawab pertanyaan Ketua Harpi Gadung Melati tentang jenis kain atau “sinjang” yang sebaiknya tidak dikenakan dalam upacara adat pengantin gaya Surakarta? Menurut KP Budayaningrat, “sinjang” yang sebaiknya tidak dikenakan dalam upacara adat pernikahan gaya Surakarta, adalah jenis “Parang Lereng”.
Beberapa pertanyaan itu juga membuatnya menegaskan, bahwa penggunaan berbagai tatacara dalam upacara adat pernikahan Jawa gaya Surakarta itu harus “empan-papan”. Artinya, boleh dan bisa ditiru dengan pemahaman maknanya yang benar serta sesuai dengan situasi dan kondisinya. Busana “dodot basahan” tentu tidak mungkin dipakai kalau tempat upacara sempit dan becek.
Di antara para perias itu juga menanyakan, apakah calon pengantim terutama wanita yang akan dirias perlu berpuasa?. Menurut KP Budayaningrat, sepasang pengantin yang sedang menjalani upacara pernikahan sebagai awal akan memasuki hidup baru, diharuskan berpuasa, bahkan calon pengantin wanita yang akan menjadi seorang ibu.
Setidaknya harus berpuasa selama tiga hari sebelum hari pernikahan, agar aura atau “sembaga” kecanitakannya memancar dari luar dan dalam, sesudah “siraman” dan dirias sampai dikirabkan. Bahkan, perias atau “juru paesnya” juga berpuasa atau menjalani “laku prihatin”. Karena, peristiwa upacara pernikahan dan proses riasnya adalah ritual yang sakral.
“Bila perlu, semua uba-rampe paes juga disertakan saat merias. Dalam proses rias, juru paes harus menjaga otoritas privasinya agar berwibawa dan dihormati. Jangan sampai ada yang mengganggu. Jangan mengenakan celana jean, kaosan atau jaketan sambil merokok. Penampilan seperti itu, menjatuhkan kewibawaannya sendiri. Juru rias harus tampil dengan busana adat lengkap”.
“Yang punya mantu jangan malah merasa ada kesempatan pamer kekayaan. Peristiwa perkawinan adat Jawa gaya Surakarta itu ritual yang sakral. Kedua orangtua yang mantu harus laku prihatin, mendoakan pengantinnya, seperti yang terlihat pada semua tatacara prosesi adat pernikahan itu. Setidaknya ada 7 perbedaan gaya Surakarta di dalam dan di luar kraton,” ujarnya. (won-i1).