Sinuhun Paku Buwana II, “Bapak Pendiri” Kota Surakarta Hadiningrat Pada 20 Februari 1745 (seri 5 – habis)

  • Post author:
  • Post published:February 21, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Sinuhun Paku Buwana II, “Bapak Pendiri” Kota Surakarta Hadiningrat Pada 20 Februari 1745 (seri 5 – habis)
FORUM PENGINGAT : Ritual "wilujengan nagari" Mataram Surakarta yang selalu digelar kraton setiap tanggal 17 Sura/Muharam kalender Jawa/Hijriyah, merupakan forum pengingat yang patut dipahami publik peradaban secara luas. Karena, doa yang dipanjatkan di hari lahir Kota Surakarta itu, juga memohon keselamatan untuk bangsa dan republik ini. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Trah Sunan Kudus dan Keluarga Bupati Lamongan, Andil Besar pada Lahirnya Kota Surakarta

IMNEWS.ID – SUNAN Kudus atau Kandjeng Soesoehoenan Koedoes Djakpar Sodik yang hidup antara tahun 1400-an hingga 1550-an (M), memiliki trah keturunan darah-dalem atau generasi ketujuh yang bernama Raden Adipati Tirtokusumo (ing Kudus-Red). Tokoh inilah yang menurunkan GKR Kencana, yang diambil sebagai prameswari Sinuhun Amangkurat IV (1719-1727), Raja Mataram ke-8.

Perkawinan antara trah darah-dalem Sunan Kudus yang bernama GKR Kencana dengan Raja Mataram ke-8 itu, menurunkan Sinuhun Paku Buwana (PB) II (1727-1749), Raja Mataram ke-9. Keluarga GKR Kencana atau Bupati Kudus Raden Adipati Tirtokusumo (Tirtakusuma-Red), adalah keluarga pengusaha di bidang cor logam dan beberapa jenis industri di Kabupaten Kudus, saat itu.

Sejak lahir hingga menggantikan tahta ayahanda (Sinuhun Amangkurat IV), Sinuhun PB II berada di Ibu Kota “negara” Mataram di Kartasura hingga tahun 1745. Tahtanya dipindah ke Surakarta, dengan boyong kedhaton seisi istana, bersama barisan panjang yang membawa segala kelengkapan keluarga dan pemerintahan pada 14 Sura atau 17 Februari, Rabu Pahing (iMNews.id, 20/2).

MENU SIMBOLIK : Seandainya penguasa Kota Surakarta “ramah” terhadap masyarakat adat, kota ini akan memiliki kekayaan ritual adat sekaligus menu “Jenang Suran” yang sangat simbolik sebagai pengingat kelahiran Kota Surakarta, pada 20 Februari. Penguasa justru membuat jarak dan menjadi awam terhadap peristiwa adat yang terjadi di dalam kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Saat berada di Ibu Kota Kartasura, Sinuhun PB II menikahi Kangjeng Ratu Mas (Emas, Hemas-Red), putri Bupati Lamongan bernama  Purbaya atau Candrakusuma. Bupati Candrakusuma adalah pengusaha kaya-raya di bidang minyak dan gas (migas), serta pengelola beberapa pelabuhan di antaranya Tajung Emas, yang masih adik Sinuhun Amangkurat IV, atau keponakan Sinuhun PB I.

“Jadi, modal Sinuhun PB II untuk membangun Ibu Kota “Negara” (IKN) Mataram di Surakarta, jelas sangat kuat. Tidak main-main. dan tidak perlu mencari investor asing. Modal pengetahuan dan wawasan, juga sangat cukup. Karena sebelumnya Sinuhun sempat melakukan studi banding ke beberapa negara di Eropa dan teluk Persia,” tunjuk Dr Purwadi, menjawab pertanyaan iMNews.id.

Dalam analisis ata dengan kata lain, trah darah-dalem Sunan Kudus atau keluarga Bupati Kudus bernama Raden Adipati Tirtokusumo dan keluarga Bupati Lamongan sebagai trah darah-dalem Dinasti Mataram itu, telah mencurahkan kekuatan dan kemampuannya untuk ikut mewujudkan Ibu Kota baru Surakarta Hadiningrat, termasuk memindahkan Kraton Mataram ke Surakarta.

PENGAWAL RAJA : Pasukan “Bregada Prajurit Singanagara” seperti yang diperagakan KRRA MN Gendut Wreksodiningrat bersama Pakasa Cabang Ponorogo dalam kirab ini, adalah gambaran kesatuan pengawal “Raja” Sinuhun PB II, sejak merebut kembali Kartasura, boyong kedhaton hingga Ibu Kota baru “negara” Mataram Surakarta mulai berfungsi sejak 20 Februari 1745. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ada sejumlah tokoh di balik Sinuhun PB II yang sangat berjasa dan punya andil besar untuk mewujudkan nama Surakarta Hadiningrat sebagai nama Kota sekaligus nama Ibu Kota, sebaga pengganti Ibu Kota lama, Karatasura. Mereka jelas punya andil besar membiayai proses perpindahan, kemudian pembangunan sejumlah bangunan infrastruktur Kraton Mataram Surakarta.

Masyarakat Kota Surakarta dan pemerintah NKRI yang sejak 17 Agustus tahun 1945 tinggal dan menikmati kehidupan serta aneka ragam peninggalan kejayaan Kraton Mataram di Surakarta, seharusnya berbangga dan punya sikap penghargaan serta penghormatan yang baik terhadap semua yang dinikmati dan dirasakan di alam Kota Surakarta.

Walau kebanyakan sarana infrastruktur yang tertinggal bersama “living heritage” Kraton Mataram Surakarta adalah produk pengetahuan dan teknologi masa lalu, tetapi sudah sangat jelas bisa kelihatan bentuk, konsep dan arah sesuai nilai-nilai intrinsiknya. Produk peradaban Mataram Surakarta itu, di dalamnya juga ada nilai-nilai kearifan karya lintas disiplin.

BAGIAN PENTING : KRA Panembahan Didik Gilingwesi (Plt Ketua Pakasa Cabang Kudus), sebagai salah satu dari trah darah-dalem Sunan Kudus, kini menjadi bagian keluarga besar Kraton Mataram Surakarta. Karena, Bupati Kudus yang juga leluhurnya, adalah bagian penting berdirinya nagari Mataram Surakarta dan Kota Surakarta yang diinisiasi Sinuhun PB II. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karya-karya lintas disiplin seperti kearifan para Pujangga besar, para Sunan dari Wali Sanga dan para raja Mataram dalam proses selama 200 tahun (1745-1945), Kota Surakarta adalah wujud produk totalitas para tokoh yang secara konsisten menjaga kewibawaan, harkat dan martabat. Akumulasi produk intelektual dan kearifan zaman sebelumnya, juga mengalir Surakarta.

Walau Mataram Surakarta selama 200 tahun dan Kota Surakarta merupakan bagian dari proses produk peradaban dan budaya Jawa yang “lir-gumanti” secara turun-menurun, tetapi tak lepas dari segala nilai yang membatasinya sebagai “titah” ciptaan Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Dari wujudnya, tidak melebihi kepasitasnya sebagai “titah”, tetapi di sana ada nilai-nilai lebih.

Nilai-nilai estetika, etika, spiritual, keilmuan, teknologi, kearifan, kemanusiaan dan banyak lagi nilai yang dihasilkan dari para tokoh, yang hampir semuanya punya kemampuan di atas rata-rata manusia (waktu itu). Karya totalitas mereka tak akan bisa ditandingi oleh para “pemimpin karbitan”, yang muncul tiap 5 tahun sekali dan hanya “melik nggendhong lali”.

“MONUMEN KEANGKUHAN” : Kota Surakarta yang punya latar belakang peradaban penuh sentuhan budaya Jawa, memang layak memiliki simbol-simbol budaya dan peradaban yang ikonik. Tetapi, budaya Jawa tidak pernah mengajarkan “keangkuhan” atau kesombongan seperti terlukis dalam keris “ligan” yang terkesan pamer kekuatan dan menantang pada patung monumen ini. (foto : iMNews.id/dok)

Sinuhun Paku Buwana II tidak bisa lagi dipungkiri sebagai “Bapak Pendiri” negara atau nagari Mataram Surakarta, sekaligus “Bapak Pendiri” Ibu Kota Surakarta dan Kota Surakarta Hadiningrat. Nilai-nilai para leluhur pendahulunya, jelas diteladaninya dan ikut memandu mewujudkan sebuah peradaban yang lebih baik dan maju di Mataram Surakarta.

Sedangkan, para leluhur sezaman yang berada di lingkungannya, banyak berjasa dan ikut andil melengkapi kebutuhan kehidupan peradaban. Sehingga Mataram Surakarta dan Kota Surakarta, memiliki ciri-ciri dan kekhasan nilai-nilai filosofi yang ada di balik wujud fisik berbagai sarana dan bangunan infrastruktur yang ada.

Oleh sebab itu, sudah semestinya kehidupan di peradaban modern masa kini dan mendatang berkewajiban menjaga dan merawatnya. Karena, menjaga keluhuran karya produk para tokoh leluhur pendahulunya, adalah investasi bagi keluhuran generasinya sendiri untuk masa mendatang. Jangan menjadi pribadi yang mempermalukan nama Surakarta. (Won Poerwono-habis/i1).